Oleh: Ibrahim Amini*
Satu metode yang sangat baik dalam proses pengasuhan yang baik adalah apresiasi dan dorongan ketika seorang anak melakukan kebajikan. Ini memiliki pengaruh yang bermanfaat (menyehatkan) bagi akal si anak. Ini juga akan memberikan kepadanya alasan untuk tetap melakukan yang lebih baik di masa datang.
(Dia merasa) setiap orang sedang mencintai dirinya. Dengan caranya sendiri, dia akan berpikir untuk membangun dan mengembangkan kepribadiannya. Dia ingin agar orang-orang mengakui dan mengapresiasi kepribadiannya.
Jika memperoleh apresiasi dari orang lain, dia akan berjuang untuk meraih kemajuan yang lebih jauh. Akan tetapi, jika dia tidak didorong, semangatnya akan berkurang. Beberapa saran untuk memperoleh hasil yang baik disajikan di bawah ini:
Perbuatan anak boleh diapresiasi, tetapi jangan terlalu sering. Sebab, jika penghargaan itu terlalu banyak, ia akan kehilangan nilainya di mata anak. Dia akan menempatkan apresiasi Anda sebagai sesuatu yang rutin.
Penghargaan yang diberikan kepada anak haruslah pada tempat dan waktu yang khusus, sehingga dia menyadari mengapa dan untuk apa dia beroleh pujian. Dengan demikian, dia akan mencoba untuk melakukan yang lebih baik dan mendapat penghargaan pada kesempatan yang lain.
Inilah alasannya mengapa apresiasi yang diulang-ulang dan tak perlu tidak dianjurkan. Sebagai contoh, jika seorang anak beroleh tepukan berulang-ulang di punggungnya bahwa dia adalah individu yang baik dan sopan, penghargaan ini akan kehilangan nilai pentingnya bagi si anak. Si anak tidak akan mampu memahami alasan di balik apresiasi itu.
Adalah juga penting bahwa yang diapresiasi adalah perbuatan dan pekerjaan baik si anak, bukan pribadinya. Dengan demikian, dia akan memahami bahwa dia dipuji atas apa yang dilakukannya, bukan dirinya. Nilai setiap orang adalah disebabkan apa yang dicapainya.
Saat memuji seorang anak, jangan pernah membandingkannya dengan anak-anak yang lain. Sebagai contoh, seorang ayah tidak sepantasnya mengatakan kepada anaknya, “Engkau adalah seorang anak yang baik dan jujur, tidak seperti Hasan yang seorang pendusta.”
Sikap seperti ini akan membuat anak membentuk opini yang buruk tentang anak lain. Ketika membanding-bandingkan anak-anak, orang tua sebenarnya sedang melakukan kesalahan dalam mengasuh anak yang baik.
Pujian dan penghargaan terhadap anak harus dalam batas tertentu. Akibat buruk dari hal ini adalah membuat anak menjadi angkuh dan sombong.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Banyak orang membangun kesombongan disebabkan oleh tumpukan pujian terhadap mereka.”
“Jangan berlebih-lebihan dalam memuji orang lain.”
Memberi Hadiah yang Mendidik
Satu metode yang sangat baik untuk pendidikan dan pengajaran yang efektif adalah pemberian hadiah. Hadiah bukanlah metode yang buruk dalam memberikan dorongan jika bersifat spontan dan bukan untuk memenuhi janji awal bahwa jika si anak meraih hal tertentu, maka dia akan mendapatkan sebuah hadiah khusus.
Jika janji telah dibuat sebelumnya kepada sang anak, ini akan memberikan dampak yang negatif terhadapnya. Si anak akan mulai mengharapkan hadiah untuk setiap hal baik yang dilakukannya. Ini akan menjadi semacam kesenangan dan si anak tidak akan berjuang untuk melakukan hal yang lebih baik, jika pemberian-pemberian itu dihentikan untuk yang akan datang.
Seseorang harus memiliki kebiasaan dalam mengerjakan perbuatan baik. Dia harus melakukan semua itu untuk ridha Allah dan melayani umat manusia serta tidak dengan pandangan untuk mencari keuntungan material.
Jika anak terbiasa memperoleh hadiah untuk setiap alasan yang kecil, dia mungkin akan menjadi berpikiran sempit dan egois. Dia tidak akan berpikir bahwa merupakan tugasnya untuk melakukan sesuatu bagi orang lain, kecuali kalau dia memperoleh sesuatu dari apa yang dilakukannya. Sejauh mungkin, dia akan menghindar dari melakukan sesuatu bagi orang lain. Sikap seperti ini merupakan sifat yang buruk dalam diri seseorang maupun masyarakat.
Oleh karena itu, pemberian hadiah atas perbuatan baik yang dilakukan anak-anak harus jarang dan bersifat selektif, sehingga penerimaan hadiah semacam itu tidak menjadi sebuah sifat kedua bagi mereka. Ketika seorang anak telah terbiasa melakukan tugas berdasarkan inisiatifnya, kurangilah frekuensi pemberian hadiah itu. Doronglah dia untuk melakukan tugas tersebut.
Banyak orang tua memberikan hadiah kepada anak-anak yang memperoleh peringkat yang lebih tinggi setelah menempuh ujian. Dengan cara ini mereka mendorong anak-anak untuk berusaha lebih keras di dalam studinya. Mungkin cara ini efektif dalam tingkatan tertentu.
Akan tetapi, terdapat sebuah kerusakan besar di dalamnya. Itu akan merusak rasa bertanggung jawab si anak. Si anak akan berusaha keras dalam studinya hanya disebabkan dia ingin mendapatkan hadiah dengan meraih peringkat yang lebih tinggi. Kalau tidak, dia tidak akan bersusah-payah melakukan upaya yang keras. Untuk apa pun yang dilakukannya, dia mengharapkan sebuah hadiah sebagai upah atasnya.
Seseorang menulis, “Saya diterima di tingkat empat sekolah agama. Saya sangat buruk dalam membaca Alquran. Akan tetapi, teman-teman sekelas saya sangat baik dalam bacaannya. Saat pertama kali saya menghadiri kelas, sang guru bertanya kepada saya dengan penuh kasih sayang, ‘Dapatkah engkau membaca Alquran?’ Saya menjawab dengan gugup, ‘Tidak, Pak.’ Ia menimpali, ‘Jangan khawatir, saya akan mengajarimu. Saya tahu engkau akan menjadi salah seorang murid yang baik di kelas ini. Apa pun kebingungan yang kau hadapi, jangan ragu-ragu untuk bertanya kepada saya.’ Kata-kata penuh kasih sayang dari sang guru itu telah mendorong saya; saya mulai berusaha dengan kebulatan tekat. Di akhir tahun, saya unggul dalam membaca Alquran. Saya mencapai sebuah tingkat kecakapan tertentu, sehingga apabila sang guru berhalangan hadir, saya diminta untuk memimpin kelas. Saya juga mendapatkan tanggung jawab untuk membaca ayat-ayat Alquran di pertemuan pagi, sebelum program kelas berlangsung.”
Seorang gadis menulis di catatan hariannya, “Ayahku adalah orang yang berpikiran maju. Suatu hari, ketika ibuku pergi, beliau mengundang beberapa orang guruku untuk makan bersama. Beliau membawa bahan-bahan untuk dimasak dan memberikannya kepadaku. Aku pun mulai bekerja di dapur dengan penuh semangat. Di siang hari, Ayah datang bersama teman-temannya. Ketika aku menuangkan makanan di meja makanan, aku melihat bahwa makanan itu belum dimasak secara sempurna. Ayam baru setengah matang dan nasinya pun terlalu lembek karena terlalu banyak air. Semua itu terjadi karena aku belum sepenuhnya belajar tentang seni dalam memasak. Aku benar-benar cemas. Aku menyangka bahwa aku akan mendapat teguran dari Ayah. Akan tetapi, berlawanan dengan semua sangkaanku, Ayah memujiku di depan teman-temannya. Beliau berkata, ‘Makanan ini dimasak oleh anak kesayanganku ini. Alangkah lezatnya!’ Para tamu pun membenarkan itu dan memuji upayaku. Kemudian, Ayah menepuk punggungku. Kata-kata dorongan itu telah menyemangatiku untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari seni memasak. Hari ini, aku adalah orang yang sangat mahir dalam menyiapkan sajian makanan yang baik.” (*Tokoh Pendidikan Islam)