BERITAALTERNATIF.COM – Pada 26 Februari 2023, Edi Damansyah dan Rendi Solihin genap dua tahun memimpin Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Pengamat ekonomi dan politik Haidir pun melayangkan sejumlah catatan terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kukar selama dua tahun terakhir.
Menurut dia, pengelolaan APBD Kukar sejak 2020 tak berkembang signifikan ke arah perbaikan berarti selama kepemimpinan Edi-Rendi dibandingkan periode sebelumnya.
Haidir menguraikan salah satu persoalan pengelolaan APBD Kukar pada periode ini: Sisa Lebih Perhitungan Anggaran atau Silpa, yang cukup besar selama Edi-Rendi memimpin Kukar.
“Setiap tahun anggaran itu terjadi Silpa yang besar dalam pengelolaan APBD,” ungkap Haidir kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.
Menurut dia, hal ini menunjukkan bahwa Pemkab Kukar tak mampu memaksimalkan pelaksanaan APBD Kukar. Pasalnya, Silpa muncul salah satunya karena ketidaktepatan pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan APBD.
Dalam proses perencanaan, sambung Haidir, terjadi tarik-menarik kepentingan antara eksekutif dan legislatif. Di satu sisi, eksekutif berusaha mempertahankan program-programnya. Di lain sisi, legislatif juga memperjuangkan pokok-pokok pikirannya yang dituangkan dalam program-program dan aspirasi anggota legislatif.
Tarik-menarik kepentingan tersebut menyebabkan perencanaan akan memakan waktu yang lebih panjang dan akhirnya pengesahan APBD pun molor. Hal ini mengakibatkan ketersediaan waktu semakin pendek untuk pelaksanaan APBD.
“Ini salah satu penyebab yang kita tengarai menjadi kelemahan dari periode ini. Sebagaimana kasus ini juga terjadi di periode sebelumnya pada APBD Kukar,” jelas Haidir.
Bahkan kasus demikian diakuinya terjadi pula di sejumlah daerah lain di Indonesia. “Artinya, Kukar belum bisa keluar dari masalah ini,” katanya.
Dia membantah tingginya Silpa selama kepemimpinan Edi-Rendi terjadi karena efisiensi pengelolaan APBD Kukar. Menurutnya, efisiensi melekat kepada kegiatan yang sudah terlaksana yang menyisakan kelebihan dana, bukan dana sisa pada APBD karena ada program-program yang tidak terlaksana.
Haidir menjelaskan bahwa efisiensi sejatinya dapat memberikan ruang penganggaran bagi program-program lain selama tahun berjalan.
“Anggap saja misalnya kita memiliki seribu program. Dengan seribu program itu dibutuhkan dana sekitar Rp 5 triliun. Ketika terjadi efisiensi, maka kita bisa saja membuat program tambahan lain di luar seribu program sebelumnya dalam masa berjalan itu,” terangnya.
Selain persoalan waktu pengesahan yang lambat, Silpa APBD Kukar selama dua tahun terakhir karena pemerintah daerah tak memiliki kemampuan memadai dalam menyerap anggaran.
Ia menekankan bahwa Silpa juga terjadi disebabkan lemahnya kinerja aparatur Pemkab Kukar. “Sehingga menyebabkan APBD tidak terserap maksimal. Karena lambatnya progres, sehingga waktu yang diberikan itu tidak cukup,” katanya.
Politisasi Anggaran dan Fenomena Kejar WTP
Haidir juga menguraikan bahwa Silpa APBD muncul karena politisasi anggaran untuk membiayai kepentingan politik. Dalam kasus tertentu, pengusaha tak mendapatkan keuntungan memadai saat mengerjakan proyek yang berasal dari APBD karena beban fee proyek yang diminta oknum untuk membiayai politik.
Indikasi utamanya, kata dia, bisa saja terjadi karena pemotongan-pemotongan atau komitmen fee dari oknum tertentu. Namun, ia menegaskan, kasus demikian hanya berupa asumsi umum yang mungkin saja tidak terjadi selama kepemimpinan Edi-Rendi. “Saya tidak berani mengatakan itu terjadi di Kukar, karena pernyataan itu butuh bukti,” tegasnya.
Pemotongan yang cukup besar membuat pengusaha, yang menjadi mitra pemerintah, jika dipaksakan untuk tetap dikerjakan akan menimbulkan masalah dengan proyek kualitas rendah. Hal ini pun membuat sebagian pengusaha enggan mengerjakan proyek daerah karena menghindari risiko yang timbul di kemudian hari.
Meskipun pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran untuk proyek-proyek daerah, para pengusaha tidak berkenan mengikuti proses lelang.
“Ini kan menjadi penghambat. Sehingga ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlaksana,” jelasnya.
Dia mencontohkan pada tahun 2021. Ia menemukan anggaran APBD Murni yang tidak terserap lebih dari Rp 400 miliar. Anggaran ini pun dilaporkan sebagai Silpa.
Ada pula Dana Alokasi Khusus (DAK), yang berasal dari pemerintah pusat, sekitar Rp 400 miliar yang tidak terserap. Selain itu, terdapat bantuan keuangan dari Pemprov Kaltim sebesar Rp 50 miliar. “Semuanya menjadi Silpa,” ungkapnya.
Anggaran yang berasal dari DAK, sambung dia, secara otomatis akan kembali kepada pemerintah pusat. Begitu juga dengan bantuan keuangan, yang kemudian dikembalikan kepada Pemprov Kaltim apabila tidak dijalankan oleh Pemkab Kukar. “Kita jadinya rugi,” ujar dia.
Haidir juga menilai Pemkab Kukar terjebak dalam mengejar predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam pengelolaan anggaran. Dalam upaya memenuhi predikat WTP, Pemkab akhirnya tidak berani progresif dalam menjalankan program karena takut keluar dari frame administrasi yang disyaratkan untuk memenuhi predikat WTP. Akibatnya, anggaran tidak dapat terserap maksimal. Fenomena seperti ini pun dinilainya muncul di periode-periode pemerintah daerah sebelumnya.
Padahal, sambung dia, meskipun Pemkab Kukar mendapatkan predikat WTP, hal ini tidak berimbas pada penyerapan anggaran serta kesejahteraan masyarakat.
“Kita bayangkan kadang-kadang sampai Rp 1,3 triliun Silpa. Ini terjadi di periode sebelumnya. Di transisi pemerintah sekarang juga Silpanya lebih dari Rp 1 triliun,” ungkapnya.
Kata dia, sejatinya jika Silpa tersebut dimaksimalkan untuk pembangunan jalan, maka pemerintah daerah dapat membangun jalan sepanjang lebih dari seribu kilometer.
“Kan sayang. Sementara kita menemukan banyak kritik masyarakat di media sosial yang membagikan foto atau video beberapa jalan-jalan yang bukan saja berlubang, tapi jadi kubangan karena tidak terpelihara dengan baik,” sesalnya.
Haidir juga menemukan fakta bahwa sebagian aspirasi lawan politik Edi-Rendi terkesan sengaja tak dijalankan oleh pemerintah daerah.
Bahkan, ungkap dia, di DPRD Kukar muncul istilah aspirasi pendukung dan bukan pendukung Edi-Rendi. Hal ini dinilainya sebagai imbas masih kentalnya suhu politik di Pilkada 2020.
Politisi di legislatif yang dianggap sebagai orang yang tak mendukung Edi-Rendi di Pilkada Kukar, ungkap dia, kerap menghadapi kenyataan bahwa anggaran yang mereka aspirasikan tak terealisasi.
“Cenderung di-pending; tidak ditayang. Itu sering menjadi keluhan-keluhan anggota DPRD,” bebernya.
Belakangan ini, beber dia, partai-partai pendukung Edi-Rendi juga menghadapi masalah serupa. Karenanya, para pendukung mereka pun mulai menarik diri satu per satu.
“Itu menjadi persoalan juga yang bisa mengganggu kinerja pemerintah daerah,” katanya.
Minim Kreasi untuk Peningkatan PAD
Haidir menilai pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Edi-Rendi masih tersandera oleh kegiatan-kegiatan rutin yang berimbas pada rendahnya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Selama dua periode ini, dari laporan pertanggungjawaban, juga di batang tubuh APBD itu, pendapatan kita masih sangat kecil. Sekitar Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar saja setiap tahun,” ungkapnya.
“Ini menunjukkan apa? Tidak ada perkembangan signifikan terhadap PAD. Kenapa? Karena angka itu di periode sebelumnya kurang lebih sebesar itu juga,” jelasnya.
Dia berpendapat, APBD Kukar masih ditopang oleh sebagian besar dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Akibatnya, besaran APBD Kukar kerap naik dan turun atau fluktuatif. Saat harga batu bara, minyak dan gas mengalami peningkatan, maka pendapatan Kukar akan ikut meningkat.
“Tapi ketika turun, misalnya di dunia terjadi penurunan harga batu bara dan migas lainnya, itu akan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan dari perimbangan kita yang juga ikut turun,” bebernya.
Kondisi demikian membuat pemerintah daerah tak bisa merencanakan anggaran yang stabil. Pemkab Kukar pun harus mengadaptasi berbagai kondisi yang terjadi di dalam dan luar negeri.
“Padahal kita butuh banyak pembiayaan-pembiayaan kegiatan yang konstan. Misalnya saja air, listrik, lampu, dan sebagainya. Di luar itu, ada ADD dan perawatan aset, yang juga butuh biaya tetap,” terangnya.
Dengan demikian, kata dia, pemerintah daerah pun melakukan revisi APBD Kukar berkali-kali. Revisi anggaran juga membuat sejumlah OPD hanya menerima dana wajib atau operasional seperti anggaran untuk pembayaran gaji, air, dan listrik.
“Itu kan beberapa kali terjadi. Akhirnya kan harus ada rasionalisasi. Itu juga problem di daerah kita,” katanya.
Sejumlah Masukan
Haidir melihat pemerintah daerah telah melakukan percepatan proses pembahasan dan pengesahan APBD Kukar Murni tahun 2023. Upaya ini diharapkan mampu menekan angka Silpa APBD Tahun 2023. Tapi patut diwaspadai berikutnya ada pada progres APBD Perubahan, karena selama ini APBD Perubahan juga menyumbang angka yang besar terhadap terjadinya Silpa.
“Tapi nanti yang sering terjadi atau sering menyebabkan Silpa yang begitu besar itu di APBD Perubahan. Artinya, tinggal di Perubahan yang harus didorong keselarasan pandangan eksekutif dan legislatif, tepat waktu pengesahan dan penyerapan maksimal anggaran,” sarannya.
Dia menyarankan pemerintah daerah mengesahkan APBD Perubahan paling lambat pada bulan Juli. Sehingga Pemkab Kukar memiliki waktu yang cukup panjang untuk menjalankan program-program di APBD Perubahan.
Haidir juga mendorong pemerintah daerah memberikan waktu yang cukup panjang bagi para pelaksana anggaran untuk menyiapkan berbagai administrasi kegiatan daerah.
Khusus penyiapan administrasi, ia menilai selama ini masih banyak ditemukan kasus penyiapan administrasi proyek yang terbengkalai karena ketidaksiapan aparatur daerah.
“Pekerjaan akhirnya tidak terlaksana. Kemudian kepentingan-kepentingan politik akhirnya bermain dalam situasi tersebut, membuka ruang negosiasi, kompromi dan deal kepentingan sesaat,” katanya.
Dia mendorong Pemkab Kukar melakukan perbaikan-perbaikan atas berbagai kekurangan tersebut. Pemerintah daerah, sambung dia, harus menempatkan pelaksanaan anggaran sebagai kewajiban setiap aparatur daerah, sehingga tidak disertai “komitmen tertentu di bawah meja” untuk melaksanakannya.
Dalam ketentuan yang berlaku, kata Haidir, program yang telah direncanakan di APBD wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah. “Anggaran yang sudah diketuk wajib dilaksanakan,” tegasnya.
Selain itu, ia menyarankan Pemkab Kukar tak memberikan beban tambahan kepada para pengusaha yang bermitra dengan pemerintah. Setiap pengusaha yang mencari proyek lewat APBD, lanjut dia, harus diberikan kesempatan untuk bersaing secara bebas sesuai aturan yang berlaku tanpa dibebani biaya tambahan yang tidak termasuk dalam komitmen kerja sama.
Di luar itu, Haidir menekankan, Pemkab Kukar tak perlu lagi membawa persaingan politik di Pilkada lalu dalam pelaksanaan berbagai program daerah yang dicanangkan di APBD Kukar.
“Kalau perlu tidak ada lagi istilah ini partai pendukung dan partai oposisi. Mana program aspirasi yang enggak bagus, silakan diganti dengan program yang bagus, baik itu dari partai oposisi maupun partai pendukung. Yang kita dorong adalah kinerja. Bukan memenuhi cita rasa politik dalam proses itu,” imbuhnya.
Dari segi pendapatan, ia menyarankan Pemkab Kukar menggali berbagai peluang untuk meningkatkan PAD, di antaranya memaksimalkan pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam, pelaksanaan program yang berorientasi pada peningkatan PAD, serta perbaikan infrastruktur jalan.
Pemkab Kukar, lanjut dia, juga dapat memaksimalkan kinerja Perusda dan BUMDes untuk meningkatkan PAD. “Itu yang harus diperhatikan dan dibiayai. Program itu didorong ke sana daripada selama ini kita tersandera oleh berbagai hal yang tidak penting,” ucapnya.
Dengan memperhatikan berbagai hal tersebut, Haidir berharap Pemkab Kukar dapat menjalankan program daerah sesuai rencana jangka panjang, rencana jangka menengah, dan rencana jangka pendek.
“Jangan lagi ujung-ujungnya Silpa lagi yang lebih dari Rp 1 triliun. Kan itu angka-angka fantastis yang disia-siakan. Andai itu dikelola dengan baik, dijadikan program-program untuk meningkatkan PAD, maka akan memberikan profit yang besar bagi daerah,” pungkasnya.
Pernyataan Haidir ini telah dibantah oleh Bupati Kukar Edi Damansyah dalam artikel Berita Alternatif yang berjudul Bantah Pernyataan Haidir soal Pengelolaan APBD, Bupati Kukar: Silpa Muncul karena Keterlambatan Transfer. (*)
Penulis: Ufqil Mubin