BERITAALTERNATIF.COM – Dugaan penggelembungan suara yang menyeret nama para calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong La Ode Ali Imran menyangsikan bila PDI Perjuangan Kukar secara mandiri terlibat dalam dugaan kecurangan Pemilu tersebut.
“Bagaimana caranya mereka melakukan penggelembungan suara?” tanya dia saat diwawancarai awak media ini pada Selasa (20/2/2024) siang.
Keraguan La Ode didasarkan pada dalih bahwa di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) terhadap panitia penyelenggara Pemilu seperti KPPS dan PTPS, serta saksi-saksi partai politik dan calon anggota legislatif.
“Kalau partainya langsung atau Calegnya langsung yang menggelembungkan suara, kesempatan yang mana dia bisa lakukan? Segmen yang mana dia bisa lakukan? Enggak masuk akal. Enggak mungkin,” tegasnya.
Penggelembungan suara di Pemilu, sambung dia, hanya mungkin terjadi apabila calon anggota legislatif melakukan kerja sama dengan penyelenggara Pemilu.
“Memungkin saja. Kan itu manusia semua yang punya kemungkinan atau potensi untuk melakukan pelanggaran atau menyimpang dari tugas-tugasnya,” tegas La Ode.
Ia menyebut penyelenggara dan peserta Pemilu memiliki ruang dan kesempatan untuk menggelembungkan suara dalam kontestasi demokrasi.
Penggelembungan suara dalam jumlah masif sebagaimana disebut politisi Golkar Denny Ruslan, sambung La Ode, hanya dapat dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.
Dia menjelaskan tahapan penghitungan hingga rekapitulasi suara. Setelah C1 diinput dan ditandatangani oleh penyelenggara dan saksi-saksi, salinannya kemudian diserahkan kepada pengawas Pemilu.
“Yang aslinya dimasukkan dalam kotak suara, kemudian disegel. Setelah disegel, baru diantar ke PPS di kelurahan. Itu pun di kelurahan enggak boleh dibuka. Kalau dilakukan pembukaan untuk mengubah C1, itu ancamannya pidana Pemilu,” terangnya.
Setelah itu, dalam waktu singkat C1 harus dibawa ke kecamatan. Data tersebut kemudian direkapitulasi dengan melibatkan penyelenggara, peserta Pemilu, pengawas, serta saksi-saksi partai dan calon anggota legislatif.
Dalam proses demikian, dia mempertanyakan kembali ruang yang dapat digunakan oleh peserta Pemilu dalam melakukan penggelembungan suara.
“Pada saat kapan partai punya kesempatan untuk melakukan perubahan C1? Karena tahapan itu cukup terbuka. Banyak orang yang menyaksikan. Banyak orang yang bisa melihat, dan bukan cuman PPK, PPS, tapi ada pengawas TPS beserta dengan saksi-saksi partai politik atau peserta Pemilu, bahkan sampai ada aparat kepolisian di situ,” ujarnya.
“Artinya, kalau kita melihat tahapan yang demikian, maka hanya pada posisi ketika penyelenggaranya tidak independen atau penyelenggaranya berkongsi dengan partai politik atau peserta Pemilu, baru itu bisa dimainkan. Tapi, selama mereka bisa menjaga independensinya, maka tidak mungkin itu bisa terjadi penggelembungan suara,” sambungnya.
Ia menengarai kesalahan penulisan dan penjumlahan suara di tingkat TPS dapat terjadi sehingga suara partai politik ataupun calon anggota legislatif tak sesuai dengan data sebenarnya.
“Human error bisa terjadi karena ngantuk atau salah penjumlahan, sehingga lain lagi yang ditulis. Atau salah hitung, hasilnya lain juga yang ditulis. Bisa jadi begitu. Itu memungkinkan terjadi,” ujarnya.
Fenomena demikian lumrah terjadi dalam proses penghitungan suara yang memakan waktu selama berhari-hari. Para penyelenggara Pemilu bisa menghabiskan waktu sehari penuh untuk menghitung suara. Hal ini belum termasuk proses koreksi dan rekapitulasi di berbagai tingkat.
“Orang dari pagi ketemu pagi bekerja di hari pencoblosan. Jadi, energi mereka terkuras di sana, sehingga bisa memungkinkan terjadinya human error,” katanya.
La Ode menegaskan bahwa kesalahan dalam penghitungan suara masih dapat dikoreksi dalam pleno PPK. Kotak suara yang disegel pun masih dapat dibuka dan dikoreksi bersama penyelenggara dan saksi-saksi peserta Pemilu.
“Dan masih memungkinkan hitung ulang ketika misalnya terdapat cukup alasan untuk pembukaan kotak dan penghitungan suara ulang. Artinya, ketika misalnya ada yang menyatakan bahwa tidak sesuai Form C1 dengan yang sesungguhnya, silakan nanti dijadikan informasi atau bahan pada saat pleno PPK,” imbuhnya.
Pidana Penggelembungan Suara
Penggelembungan suara, kata La Ode, bisa juga terjadi karena faktor kesengajaan yang melibatkan penyelenggara dan peserta Pemilu.
“Maka masuk delik pidananya kalau ada unsur kesengajaan di situ,” katanya.
Dia menyebutkan bahwa penggelembungan suara dapat dilakukan setelah didesain dan direncanakan secara matang, bahkan atas permintaan peserta kepada penyelenggara Pemilu.
Ia menyebut proses pembuktian pidana Pemilu membutuhkan berbagai langkah, apalagi dugaan penggelembungan suara tersebut melibatkan penyelenggara dan peserta Pemilu.
“Bagaimana kita sampai pada hasil yang dikategorikan menggelembung itu? Prosesnya seperti apa? Apakah ini bisa kita buktikan? Bisa dalam bentuk pertemuan antara KPPS dan Caleg di suatu tempat membicarakan untuk menaikkan suara atau bisa lewat pembuktian lain,” jelasnya.
Proses pembuktian ini dinilainya sangat penting untuk menjustifikasi kecurangan Pemilu dalam bentuk penggelembungan suara.
Dalam kasus dugaan penggelembungan suara yang menyeret nama calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan, La Ode menegaskan, publik belum mendapatkan informasi utuh terkait proses penggelembungan suara tersebut.
“Faktornya apa? Penyebabnya apa? Kalau kita katakan penggelembungan suara itu karena perilaku peserta Pemilu, apa buktinya? Apakah ada bukti deal-dealan antara petugas TPS dengan salah satu Caleg? Buktinya dalam bentuk apa? Apakah ada terlihat transaksi Caleg memberikan uang untuk supaya dibantu, digelembungkan suaranya, atau seperti apa?” tanyanya.
“Itu yang harus kita kejar. Sehingga kita bisa kejar unsur pidananya. Pelakunya siapa yang bisa kita kejar? Pengurus TPS atau penyelenggara di tingkat TPS sampai pada Caleg yang bersangkutan atau partai politik yang bersangkutan,” lanjutnya.
Bawaslu Tak Boleh Pasif
La Ode juga menyoroti peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kukar dalam mengungkap dugaan kasus penggelembungan suara tersebut.
Bawaslu Kukar, tegas dia, diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu.
Ia menyebut Bawaslu Kukar dapat mengambil inisiatif untuk membongkar dan memverifikasi informasi dugaan pelanggaran Pemilu tersebut.
“Bawaslu enggak boleh berdiam diri. Bawaslu bisa melakukan pendalaman informasi. Bagaimana caranya? Dengan mengonfirmasi kepada petugas-petugasnya di bawah,” tegasnya.
La Ode mengungkapkan bahwa Bawaslu Kukar mempunyai perangkat di tingkat kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, hingga TPS.
“Kalau memang ada peristiwa seperti yang dituduhkan oleh salah satu politisi Golkar, seharusnya bisa muncul di Form A. Alat kerjanya pengawas Pemilu itu Form A. Setiap peristiwa itu dituangkan dalam Form A,” ucapnya.
Apabila Bawaslu Kukar memiliki Form A, kata dia, lembaga tersebut tak perlu lagi menunggu laporan dari Partai Golkar untuk mengungkap kebenaran kasus tersebut. “Tapi bisa bersumber dari temuan,” katanya.
Setelah dugaan penggelembungan suara ini menuai sorotan publik, ia menilai Bawaslu Kukar tergolong pasif dalam menyelesaikan masalah tersebut. “Memang Bawaslu pasif dalam kasus ini,” tegasnya.
La Ode pun menyarankan Bawaslu Kukar menindaklanjuti kasus tersebut. Lembaga ini dapat menjadikan informasi yang tersebar dari media massa sebagai informasi awal untuk menggali dugaan kasus penggelembungan suara di Pemilu 2024.
“Kemudian mereka tindaklanjuti dalam bentuk penelusuran. Jadi, Bawaslu tidak bisa diam diri. Bawaslu itu diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penelusuran,” imbuhnya.
KPU Punya Peran Penting
La Ode juga mendorong KPU Kukar mengambil langkah untuk mengungkap dugaan penggelembungan suara tersebut. Sebagai lembaga teknis dalam Pemilu, dia mendorong KPU aktif dalam menggali kasus ini.
“KPU tidak boleh mendiamkan hal ini. Kenapa? Karena ini akan berbahaya terhadap tingkat kepercayaan publik kepada penyelenggara Pemilu. Gara-gara isu ini, trust publik bisa menurun terhadap kualitas demokrasi kita,” katanya.
KPU Kukar, kata dia, dapat menelusuri kasus ini dengan menanyakan dugaan penggelembungan suara di sejumlah TPS di Kukar kepada para penyelenggara di tingkat kelurahan/desa maupun TPS.
“Karena yang dituduh ini kan jajarannya KPU di bawah. Setidaknya KPU memperoleh data yang riil dan fakta yang nyata,” sarannya.
Bermodal langkah tersebut, ia menyarankan KPU Kukar memberikan keterangan kepada publik terkait duduk permasalahan penggelembungan suara yang diduga melibatkan para calon anggota legislatif PDI Perjuangan Kukar.
“Setelah mereka melakukan pemeriksaan, ternyata ada yang salah dengan jajarannya di bawah. Setelah itu, tinggal konferensi pers dan undang media untuk menanggapi dan mengklarifikasi informasi yang disampaikan politisi Golkar supaya orang tidak hilang kepercayaannya terhadap KPU,” imbuhnya.
Namun, kata dia, bila kasus ini disebabkan kesalahan penjumlahan atau penulisan angka di tingkat TPS, maka KPU Kukar dapat menggunakan kesempatan rekapitulasi di tingkat PPK untuk melakukan perbaikan.
“Sehingga kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU beserta jajarannya, tetap terjaga,” ucapnya. (fb)