Oleh: Ufqil Mubin*
Dunia sedang mengalami perubahan besar-besaran dari berbagai segi. Baik dari aspek teknologi, sains, maupun geopolitik. Dari segi teknologi, masyarakat dunia tengah dipertontonkan dengan perlombaan antara China dan Amerika Serikat (AS). Kedua negara adidaya tersebut tak hanya memperlihatkan keunggulan masing-masing atas peningkatan teknologi, tetapi juga berusaha meneguhkan kedudukan mereka dalam kancah perpolitikan global.
Sementara dari segi sains, penemuan-penemuan mutakhir di berbagai bidang, kesehatan, industri, telekomunikasi, dan bidang-bidang lainnya, semakin meningkatkan spirit para ilmuwan untuk menyingkap berbagai “pekerjaan rumah” mereka dalam mengungkap berbagai fenomena alam semesta.
Pertalian serta perkawinan antara teknologi dan sains membuat negara-negara yang fokus dalam mengawinkan keduanya semakin kokoh dalam menancapkan pengaruh mereka terhadap berbagai negara yang tengah berkembang, dan tertinggal jauh dari segi sains dan teknologi—celakanya negara kita, Indonesia, berada dalam kelompok negara ini.
Usaha mengawinkan sains dan teknologi inilah yang membuat Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, mengembangkan “mainannya” yang dinamakannya metaverse. Pria yang berasal dari AS ini ingin meretas batas-batas realitas fisik dengan menciptakan realitas virtual yang menghubungkan setiap orang tanpa harus bertemu secara langsung.
Sedangkan Elon Musk, arsitek produksi Tesla, lewat SpaceX yang dipimpinnya, dalam lima tahun hingga sepuluh tahun ke depan bermimpi membawa manusia ke planet Mars. Angannya, ia ingin membuat kota di Mars. Lalu, membawa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia untuk bermukim di planet merah tersebut.
Sementara itu, Yaman tengah berusaha keras mempertahankan diri dan mengusir Arab Saudi beserta sekutunya yang telah tujuh tahun menyerang dan membunuh anak-anak tak berdosa di negara yang berlokasi di Jazirah Arab itu. Mohammed bin Salman (MBS), Putra Mahkota Arab Saudi, pernah sesumbar bahwa ia beserta sekutunya tak membutuhkan waktu lama untuk menghancurkan pasukan Yaman, yang menyebut diri mereka sebagai Ansarullah. Namun, kenyataannya, perang tujuh tahun semakin membuat Saudi terdesak. Sementara Ansarullah kian kokoh dan mampu “membebaskan” berbagai wilayah yang sebelumnya dikuasai sekutu Saudi.
Lalu, kita beralih ke Negeri Persia: Republik Islam Iran. Negara yang hingga kini tengah berjuang keras mempertahankan haknya dalam mengembangkan nuklir untuk kepentingan dalam negeri mereka. Namun, negara-negara Barat yang didalangi AS serta didukung Israel menuding Iran berusaha mengembangkan teknologi nuklir untuk menghancurkan “musuh-musuhnya”.
Di tengah embargo ekonomi, Iran justru terus berkembang pesat dalam berbagai bidang. Iran pun meningkatkan pengayaan uranium untuk digunakan sebagai pembangkit listrik agar dapat meminimalkan penggunaan energi fosil di sektor tersebut. Selain itu, Iran juga memanfaatkannya untuk kepentingan medis.
Perundingan demi perundingan dilakukan negara-negara Barat yang dipimpin AS dan Israel untuk “memadamkan” spirit Iran dalam meningkatkan pengayaan uranium. AS yang sebelumnya keluar dari perjanjian nuklir Iran di masa kepemimpinan Donald Trump, kini berupaya kembali pada perjanjian tersebut. Meski begitu, AS masih “setengah hati” menerima tawaran Iran agar Paman Sam menghentikan embargo dan sanksi ekonomi terhadap negerinya Salman Al Farisi itu.
Iran memiliki dalih yang kuat untuk mempertahankan hak-haknya dalam memanfaatkan uranium tersebut. Karena itu, Iran mendapatkan dukungan dari China. Meski begitu, sejatinya Iran juga berjanji untuk kembali pada Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang disepakatinya pada 14 Juli 2015 di Wina, namun dengan beberapa syarat, di antaranya AS didesak untuk mencabut seluruh sanksi ekonomi dan embargo terhadap Iran.
Di lain sisi, bangsa kita, Indonesia, tengah meributkan kalimat yang dilontarkan Ferdinand Hutahaean, “Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela.”
Dua kelompok di Indonesia, antara pembela dan pembenci Ferdinand, beberapa hari terakhir saling perang tagar di Twitter. Satu kelompok mendorong kepolisian menahan dan memenjarakan mantan politisi Partai Demokrat tersebut. Sedangkan pendukungnya memandang Ferdinand tak bersalah, dengan dalih kalimat yang digunakannya tak mencerminkan pelecehan terhadap agama tertentu.
Akhirnya, hari ini kepolisian menahan pria berdarah Batak tersebut. Ia terancam hukuman sepuluh tahun penjara karena diduga melanggar Pasal 14 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pemilik akun Twitter Daemoen, yang acap membedah berbagai isu-isu nasional dan global, mengatakan, penahanan Ferdinand memperlihatkan bahwa Indonesia terjebak dalam micromanaging isu-isu agama. Sebuah kondisi yang dinilainya dipupuk lewat propaganda kaum intoleran. Kata Daemoen, mereka yang benar-benar memaksakan kepercayaan ideologinya pada pihak lain justru tak ditindak oleh aparat kepolisian.
Ia pun menyebutkan, propaganda kaum intoleran Indonesia tergolong hebat. Jika pihak lain mengkritik mereka, maka kelompok ini akan berteriak keras penistaan agama, pelanggaran HAM, dan lain sebagainya. Namun, bila mereka menghantam pihak lain dengan kekerasan, hal itu disebutnya sebagai kebebasan beragama.
“Di saat negara-negara lain saling bersaing untuk menciptakan teknologi baru yang membuat usang cara-cara yang digunakan saat ini, untuk menjadi negara paling maju, Indonesia terhambat, kaki tangan diikat oleh isu-isu pertentangan agama,” sesal Daemoen.
Barang kali benar apa yang dikatakan Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia, Prof. Salim Said. Negara kita tak kunjung mengalami kemajuan karena negeri kita tidak memiliki “satu pun negara yang ditakutinya”. Akibatnya, kita menciptakan musuh sendiri sehingga kita membangun ketakutan terhadap diri sendiri. Kita saling memusuhi antar-sesama anak bangsa. Sebagian besar manusia Indonesia tak mampu menciptakan rekonsiliasi karena kerap memupuk kebencian dan permusuhan antar-sesama warga negara.
“Indonesia? Tuhan pun tidak ditakuti. Jadi, kalau Anda mau tanya kenapa enggak maju kita, Tuhan pun enggak ditakuti. Coba lihat orang yang masuk KPK. Semuanya disumpah di bawah kitab suci atau berpegang pada Bibel. Sesudah itu dia langgar. Nah, dia tidak takut sama Tuhan,” ucap Prof. Salim. (*Pemimpin Redaksi Berita Alternatif)