Search
Search
Close this search box.

Edi Damansyah masih Bisa Mencalonkan Diri sebagai Bupati di Pilkada 2024?

Bupati Kukar, Edi Damansyah. (Kaltim Today)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Amir Ilyas dalam buku yang disusunnya yang berjudul Periodesasi Jabatan Kepala Daerah: Pejabat Definitif, Pejabat Sementara, Plt, Pj, dan Pjs menguraikan bahwa Bupati Kukar Edi Damansyah masih bisa mencalonkan diri sebagai bupati di Pilkada 2024.

Dalam pengantar buku tersebut, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu menguraikan enam alasan di balik kesimpulannya: Pertama, Putusan MK Nomor 2/PPU-XXI/2023 sama sekali tidak membuat norma baru yang membatasi Bupati Edi untuk kembali mendaftar sebagai calon bupati pada Pilkada 2024 sebagai orang yang pernah menjabat Pelaksana Tugas Bupati Kukar.

Menurut dia, putusan tersebut hanya menyatakan tidak membedakan antara masa jabatan bagi yang menjabat secara Definitif maupun Penjabat Sementara. Bupati Edi hanya menduduki jabatan sebagai Pelaksana Tugas kepala daerah. Ia tidak pernah menduduki jabatan sebagai Penjabat Sementara.

Advertisements

Secara teori, sambung dia, Pelaksana Tugas dan Penjabat Sementara adalah dua terminologi jabatan yang berbeda. Penjabat Sementara adalah seseorang yang ditunjuk untuk menduduki jabatan kepala daerah disebabkan kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani cuti kampanye.

“Sedangkan Pelaksana Tugas adalah seseorang Wakil Bupati yang menduduki jabatan Bupati sementara ketika Bupati Definitifnya sedang berhalangan sementara,” jelasnya dalam buku tersebut sebagaimana dikutip beritaalternatif.com pada Rabu (30/8/2023).

Kedua, masa menjabat Bupati Edi sebagai Pelaksana Tugas Bupati kurang dari dua setengah tahun (10 bulan 3 hari). Demikian pula masa menjabatnya sebagai Bupati Definitif pada periode 2016 sampai dengan 2021 juga kurang dari dua setengah tahun (2 tahun 9 hari).

Sehingga kalau ingin dimaknai, sambung dia, pertimbangan Putusan MK Nomor 2/PPU-XXI/2023, yakni MK tidak membedakan masa menjabat (dua setengah tahun atau lebih sebagai satu periode) antara Pejabat Definitif dengan Pejabat Sementara.

“Maka dua keadaan dari Drs. Edi Damansyah, M.Si, baik saat menjabat sebagai Pelaksana Tugas dan Bupati definitif (2016 sd 2021) belum dapat terhitung sebagai satu periode,” terangnya.

Ketiga, Pasal 34 ayat (1) huruf o yang juga dituangkan dalam Pertimbangan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 menegaskan awal untuk mulai menghitung satu periode masa jabatan kepala daerah sejak tanggal pelantikan.

Bupati Edi dalam kasus tersebut, lanjut Amir, menjabat sebagai Pelaksana Tugas Bupati. Berdasarkan Permendagri Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, Pelaksana Tugas Bupati adalah jenis pejabat yang tidak melalui pelantikan.

“Dengan berdasarkan Permendagri Nomor 35 Tahun 2013 hanya Kepala Daerah Definitif, Wakil Kepala Daerah Definitif, dan Penjabat Kepala Daerah yang dilantik sebelum menduduki jabatannya,” tulis Amir.

Keempat, terdapat fakta hukum serupa dengan kasus Bupati Edi dalam statusnya sebagai warga negara yang pernah menjabat sebagai Pelaksana Tugas Bupati, yakni kasus Hamim Pou, Bupati Bone Bolango, yang pernah dipersoalkan melalui pengujian materil dan permohonan sengketa hasil Pilkada.

“Oleh MK tidak membatasi hak konstitusional Hamim Pou, dan tidak menggugurkannya dalam sengketa hasil Pilkada. Keadaan tersebut seharusnya diperlakukan sama bagi Drs. Edi Damansyah, M.Si,” jelasnya.

Kelima, baik putusan MK Nomor 8/PUU-VI/2008 maupun Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 memiliki keadaan hukum yang serupa, sehingga MK membentuk norma baru terkait dengan batas masa menjabat untuk dapat dihitung satu periode, yakni dua setengah tahun atau lebih.

Jika ditelisik lebih jauh, kata Amir, norma ini bersumber dari Pemohon dan Pihak Terkait yang secara keseluruhan mempersoalkan masa menjabat sebagai “Pejabat Definitif.”

Menurut dia, Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kembali dikutip oleh MK dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 semakin memberi penegasan atau penguatan bahwa pemberlakuan atas nama menjabat dua setengah tahun tersebut hanya dapat diberlakukan bagi Kepala Daerah Definitif saja, bukan untuk terminologi jabatan lainnya.

Keenam, tidak rasional adanya menyamakan antara Pejabat Definitif dengan Pejabat Sementara, sebab dari segi hak-hak, tugas dan kewenangan, masa menjabat, cara menduduki jabatan, dan asal-usulnya berbeda satu sama lain.

Pada intinya, sebut Amir, Pelaksana Tugas Kepala Daerah melaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah dalam serba terbatas. Selain sifat kewenangannya yang mandatoir, juga tidak dibenarkan membuat keputusan yang sifatnya strategis. Hak-hak protokoler, keuangan, gaji, dan tunjangannya pun tetap dalam kapasitasnya sebagai wakil kepala daerah.

“Dengan pendekatan teoritis, yuridis (undang-undang), dan Putusan MK an sich, Drs. Edi Damansyah, M.Si masih memiliki hak untuk ditetapkan sebagai Calon Bupati Kutai Kartanegara pada Pilkada 2024 mendatang dalam hubungannya dengan Pasal 7 ayat (2) huruf u UU No. 10/2016,” tegasnya.

Bupati Edi Tak Bisa Lagi Jadi Calon Bupati Kukar

Pendapat berbeda pernah disampaikan pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, pada 2 Maret 2023.

Ia menegaskan bahwa peluang Bupati Edi untuk kembali mencalonkan diri sebagai calon bupati di Pilkada Kukar 2024 sudah tertutup.

Dasarnya, dia menguraikan poin pokok putusan majelis hakim MK yang termuat di halaman 50.

Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK di halaman 50 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan “masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.

“Jadi, baik status Plt maupun definitif Edi, dihitung sebagai satu tarikan nafas masa jabatan. Dengan demikian, berdasarkan putusan MK itu, Edi seharusnya dihitung sudah 2 periode,” tegas pria yang karib disapa Castro itu.

Ia mengungkapkan bahwa hal ini bukan kali pertama bagi MK memutuskan perkara yang sama. Pada tahun 2009 dan 2012, Majelis juga memutuskan perkara serupa.

Karena itu, tak heran apabila MK memutuskan untuk menolak gugatan Bupati Edi. “Artinya, MK konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya,” ujar dia.

Castro menjelaskan, kepala daerah yang telah menjabat setengah atau lebih dari masa jabatannya dihitung satu periode.

Penghitungan masa jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah, sambung dia, dihitung sejak ia menjabat sebagai Pelaksana Tugas, Penjabat, Pejabat, maupun Definitif. “Artinya, kapan pun dia menjabat itu dihitung sebagai masa periodenya,” tegas Castro.

Ia menyamakannya dengan pekerja, baik sebagai pekerja yang berstatus kontrak maupun pegawai tetap, masa kerjanya akan dihitung sejak dia ditetapkan sebagai pekerja.

Seorang kepala daerah pun demikian. Sejak dia menjabat sebagai kepala daerah, hal itu dihitung sebagai bagian dari periode kepemimpinannya.

“Terlepas dia Plt ataupun Pjs, dia tetap menjabat. Dihitung sebagai bagian dari periodenya dia sebagai bupati,” terangnya.

Castro menegaskan, siapa pun kepala daerah yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan, maka ia dihitung sebagai satu periode jabatan.

“Kalau Pak Edi itu menggantikan Bu Rita lebih dari setengah periode itu, jadi dia dihitung satu periode. Jadi, Pak Edi enggak bisa maju lagi,” terangnya. Ia melanjutkan, ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang diterapkan sejak tahun 2009.

Setelah keluarnya putusan MK yang menolak gugatan Bupati Kukar, menurut dia, tak ada lagi langkah hukum lanjutan yang bisa diambil oleh tim hukum Bupati Edi agar dapat mencalonkan diri sebagai bupati Kukar.

“Putusan MK itu kan final dan mengikat. Kalau dia disebut final dan mengikat, berarti tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan,” jelasnya.

Hanya saja, kata Castro, tim hukum Bupati Edi dapat menguji pasal serupa dengan UUD 1945, yang pasalnya berbeda dengan yang diuji sebelumnya.

“Tetapi, dengan catatan pasal yang diujikan berbeda,” katanya.

Dia juga menanggapi keinginan tim hukum Bupati Edi yang ingin melakukan judisial review terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf n, yang bertujuan tak memberikan batasan periode bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah untuk menjabat di jabatan yang sama.

“Enggak ada masalah. Tapi, kan itu sudah pernah diuji. Kalau sudah pernah diuji, dia bisa mengajukan gugatan baru judisial review di MK, tapi tidak boleh dengan batu ujian yang sama. Harus beda batu ujinya,” terang dia.

Selain itu, Castro menegaskan bahwa pembatasan periode dalam Pasal 7 ayat (2) tidak multi-tafsir. Sementara, syarat pengujian mesti dilakukan terhadap pasal yang multi-tafsir.

Pembatasan masa kekuasaan, tegas Castro, sudah terang di Indonesia. Hal ini pun merupakan amanat Reformasi.

“Dia harusnya belajar dong soal demokrasi bagaimana pembatasan kekuasaan. Dua periode itu kan marwah dan mandatori dari amanah Reformasi,” tegasnya.

Castro pun meminta Bupati Edi legawa terhadap putusan MK tersebut. Selain itu, sambung dia, putusan itu diharapkannya dapat membuka celah regenerasi kepemimpinan di Kukar.

“Jauh lebih baik Edi fokus menyelesaikan sisa masa jabatannya untuk kepentingan rakyat Kukar, dibanding terus berpolemik. Justru jadinya kontra produktif,” pungkasnya. (fb)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA