Oleh: Muhammad Yusup*
Belakangan ini atensi publik di dunia maya memiliki implikasi di beberapa kasus hukum, yang dimulai karena viral di media sosial. Fenomena peradilan narasi telah menjadi sarana membangun opini publik terhadap suatu kejadian atau peristiwa hukum. Semua ini mungkin puncak dari kegeraman karena keterlambatan penanganan kasus hukum di Indonesia.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan di benak saya, apakah semua kasus harus terekspose di media sosial dahulu dan mendapat perhatian orang banyak, setelah viral baru mendapat penanganan atau pelayanan? Gerakan di media sosial ini terkadang muncul karena masih banyak orang di Indonesia yang belum berani berbicara dan terbungkam karena tidak memiliki akses dalam memperjuangkan keadilan.
Jika semua kasus harus viral di media sosial terlebih dahulu baru ditindaklanjuti oleh penegak hukum, berarti kita menyerahkan penegakan keadilan kepada peradilan narasi netizen. Bahaya latennya adalah segala suatu yang terkait kasus tertentu bisa sangat terdistorsi dari fakta sesungguhnya.
Hal ini karena apa yang disampaikan, juga yang dianggap sebagai fakta, adalah yang ramai dibicarakan. Masalahnya, sangat absurd ketika seseorang yang tidak memiliki kompetensi membahas sesuatu yang di luar kapasitasnya. Realitasnya, hal itu yang tengah terjadi di Indonesia. Ini efek dari penggunjingan di media sosial.
Beberapa kasus memang tampak ditindaklanjuti dengan baik karena pengawasan partisipatif publik. Masyarakat seakan memiliki banyak energi, bahkan tidak terbatas. Yang disayangkan adalah peradilan narasi, karena informasi yang disampaikan bisa saja tidak utuh. Ada saja upaya “melebihkannya”.
Sebagai bagian dari kemajuan zaman, hal ini adalah lumrah dan patut diaspresiasi sebagai bagian dari berdemokrasi di Indonesia, namun fenomena ini akan membawa efek distrupsi dalam intrumen penegakan keadilan.
Maksud saya, tidak semua korban ingin disoroti publik dalam mencari keadilan, salah satunya karena ketidaksiapan mental dan ancaman. Belum lagi jaminan keamanan bagi para korban.
Kepercayaan publik yang rendah terhadap penegakan hukum di Republik ini karena kelemahan daya literasi hukum serta mutu yang rendah dalam mengakses keadilan. Maksud saya, mutu akses keadilan adalah prioritas penanganan kasus hukum berdasarkan kelas sosial semu di tengah masyarakat kita.
Karena itu, anonim hadir di tengah masyarakat kita melalui Social Justice Warior atau Pejuang Keadilan Sosial (SJW) di platform media sosial yang marak kita gunakan 20 tahun terakhir.
Media sosial yang sebelumnya sebagai sarana berekspresi individual juga memiliki fungsi citizen journalism atau jurnalis warga. Akibatnya, kita merasakan perang gerilya dalam pemberitaan masa kini karena setiap orang bisa terlibat di dalamnya.
Perang atrisi ini akan membentuk pro dan kontra di masyarakat luas yang saling memperebutkan simpati. Tentu saja hal ini tidak salah bila sesuai nurani manusia, namun pro dan kontra akan mengubur kebenaran dari fakta sesungguhnya.
Saya mencoba memahami secara sempit. Mungkin ini yang dimaksud kejutan masa depan atau Future Shock dalam karya Alvin Toffler (1970), di mana kita menyerahkan suatu kasus hukum terhadap peradilan narasi. Ini adalah upaya untuk menjamin mutu akses keadilan dapat dilaksanakan oleh para penegak keadilan dengan tepat, namun tidak untuk upaya dramatisasi hukum, apalagi upaya skenario kriminalisasi subjek hukum tertentu. (*Mahasiswa Fakultas Hukum Unikarta Tenggarong)