Search
Search
Close this search box.

Dari Fiskal ke Pembiayaan Ekonomi Indonesia

Listen to this article

Oleh: Poltak Hotradero*

Pada artikel yang lalu, sudah dijelaskan tentang bagaimana belanja pemerintah perlu dibiayai oleh pendapatan, dan salah satu masalah di Indonesia adalah penerimaan pajak yang rendah.

Walaupun penerimaan pajak meningkat dan melampaui target, besarnya pembiayaan mencapai Rp 868,63 triliun. Angka sebesar inilah yang menjadi utang yang diterbitkan pemerintah untuk membiayai APBN 2021 saja.

Advertisements

Angka pembiayaan ini dibukukan sebagai utang pemerintah. Bila tidak ingin berutang baru maka pilihannya: 1. Belanja dipangkas Rp 868,63 triliun; 2. Penerimaan pajak dinaikkan Rp 868,63 triliun; 3. Mencari penerimaan di luar pajak sampai senilai Rp 868,63 triliun.

Masing-masing pilihan punya konsekuensi ekonomi yang serius. Bila pilihannya adalah pemangkasan belanja sebesar Rp 868,63 triliun, maka pertanyaannya: bagian mana yang akan dipangkas?

Bila gaji PNS dipangkas, dampaknya signifikan, karena gaji PNS juga menjadi pendapatan tidak langsung bagi masyarakat luas. Trickling effect.

Selain bayar gaji PNS, ada juga pos belanja modal. Bila dipangkas, dampaknya juga besar bagi ekonomi, karena belanja modal selain menjadi sumber pendapatan masyarakat juga berfungsi menyediakan infrastruktur, terutama di daerah terpencil.

Tanpa belanja ini, ekonomi timpang. Bisa saja sebagian belanja modal ini dikurangi dengan cara pihak swasta yang melakukan. Sepintas ide bagus, sampai kita menemukan bahwa Indonesia luar biasa luas dan tidak merata persebaran penduduk dan ekonominya.

Swasta ingin membangun infrastruktur di kawasan daya beli tinggi. Sialnya, kebanyakan bagian Indonesia masih berdaya beli rendah, maka risiko bisnisnya menjadi terlalu besar bagi swasta.

Di sisi lain, ada juga infrastruktur yang sulit dihitung manfaat vs risikonya, semisal irigasi dan bendungan. Swasta angkat tangan untuk yang begini-begini.

Ada juga pos pengeluaran pemerintah berupa dana perimbangan transfer ke daerah. Ukurannya cukup besar, yaitu Rp 785 triliun.

Bagaimana kalau yang ini dipotong? Bisa ribut, karena bahkan DKI Jakarta sebagai provinsi terkaya tetap butuh dana ini, apalagi provinsi lain.

Dana perimbangan ke daerah juga punya manfaat menggerakkan ekonomi daerah saat dibelanjakan, dan semakin rendah PDB per kapita suatu daerah, semakin besar dampak ekonomi yang bisa terjadi. Sejuta dibelanjakan di Larantuka lebih berdampak ekonomi dibandingkan sejuta di Jakarta.

Atau bagaimana kalau pos subsidi yang dipotong? Ada subsidi pupuk, subsidi energi, dan subsidi kredit. Kalau subsidi pupuk dihapus yang kena petani sebagai kelompok ekonomi marginal. Kalau energi dihapus yang kena masyarakat lain. Kalau subsidi kredit dihapus, yang kena UMKM.

Maka memotong belanja negara bukan perkara mudah. Ini ibaratnya Anda disuruh memilih mau diamputasi di bagian mana tubuh Anda.

Bahwa kadang terjadi belanjanya ngawur, itu fakta. Sialnya, bahkan ngawur pun tetap menggerakkan ekonomi dalam skala rupiah lebih besar. Itu fakta.

Dalam studi ekonomi mikro, hal ini disebut Marginal Propensity to Consume (MPC). Setiap rupiah menjadi semakin berarti bagi konsumen dengan MPC tinggi. Bila rupiah itu berkurang, maka dampak ekonominya juga sangat besar. Sejuta menghilang di Jakarta vs sejuta di Larantuka.

Oke. Kalau belanja negara enggak bisa dipotong karena dampak ekonominya terlalu besar (terutama di daerah dan golongan masyarakat berpenghasilan rendah), opsi berikutnya: menaikkan pendapatan pajak ekstra Rp 868,63 triliun.

Jadi, total penerimaan pajak Rp 1.546 triliun + Rp 868 triliun = Rp 2.414 triliun. Besarkah penerimaan pajak Rp 2.414 triliun ini? Kalau dibandingkan dengan ekonomi Indonesia tahun 2021 yang besarnya Rp 16.970 triliun, maka kita akan menemukan angka tax ratio 14,2%!

Artinya: andai tax ratio Indonesia bisa naik dari 9,11% ke 14,2%, maka pembiayaan beres! Masalahnya: kita tidak bisa begitu saja menaikkan penerimaan pajak 56% dalam sekejap.

Kenapa? Karena bagian terbesar penerimaan pajak di Indonesia adalah dari pajak yang dibayarkan perusahaan dari laba usaha.

Laba harus naik dulu luar biasa (56%), baru pajak bisa mengikuti. Mungkinkah seluruh perusahaan di Indonesia labanya naik 56% secara serentak dan sekaligus? Rasanya mustahil, bahkan di saat ekonomi sedang tumbuh sangat baik. Margin laba tiap bisnis dan perusahaan berbeda-beda, tergantung sektornya, dan semuanya saling berkait.

Yang juga masalah: Laba = Pendapatan Perusahaan dikurangi Pengeluaran Perusahaan. Di banyak perusahaan di Indonesia, pengeluaran terbesar adalah pembayaran gaji pegawai. Bisa enggak gaji karyawan tetap, tapi laba perusahaan naik supaya setoran pajak bisa naik? Wah, bisa revolusi.

Jadi, berapa kenaikan laba perusahaan yang tergolong wajar? Tidak akan terlalu jauh dari angka pertumbuhan ekonomi. Jadi, sekitar 5%-an. Akan ada yang tumbuhnya jauh di atas 5%, tapi tidak akan berlipat-lipat dari itu. Ada juga yang di bawah 5% atau merugi.

“Tapi kan ada pajak penghasilan yang disetorkan orang pribadi dari penghasilan tahunan. Pajak pribadi kan konsisten enggak seperti penerimaan pajak perusahaan yang bisa nol saat perusahaan merugi”.

Betul sekali. Pendapatan pajak dari penghasilan pribadi lebih konstan. Masalahnya: pajak penghasilan individu pelaporan dan pembayarannya masih sangat-sangat rendah. Dari 45 juta wajib pajak pribadi yang terdaftar, hanya 19 juta yang membayar. Bandingkan dengan jumlah penduduk dewasa bekerja Indonesia 131,06 juta.

Sama seperti strategi peningkatan penerimaan pajak badan usaha, peningkatan penerimaan pajak pribadi perlu usaha dan waktu panjang untuk bisa ditingkatkan. Enggak bisa kagetan, karena berdampak ekonomi juga, selain proses administrasi yang lebih ruwet ketimbang perusahaan.

Menjaring perusahaan sebagai pembayar pajak relatif lebih mudah karena perusahaan tidak berpindah-pindah, duitnya jelas ada di bank, ada laporan keuangan regulernya, punya staf khusus yang mengurusi dan nominal pembayarannya sangat besar—dari ratusan juta sampai triliunan.

Bandingkan dengan setoran pajak pribadi yang meliputi puluhan juta orang, tinggalnya tersebar dan bisa berpindah, harta dan pendapatannya berbeda-beda, dan sering kesulitan mengisi SPT setiap tahun karena harus mengisi sendiri. Setoran pun cuma skala jutaan. “Receh tapi ruwet”.

Maka kalau kantor pajak kemudian membuat langkah NPWP disamakan dengan NIK, tidak lain untuk bisa memudahkan administrasi pajak pendapatan individu dan memperbaiki basis penerimaan pajak Indonesia. Tujuan akhirnya? Membiayai belanja pembangunan. (*Lulusan S2 Keuangan, Ekonomi dan Manajemen dari University of Bristol, United Kingdom)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA