Kukar, beritaalternatif.com – Jurnalis senior di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Andriansyah menilai pertumbuhan ekonomi kabupaten tersebut cenderung turun dari tahun ke tahun.
Ia membandingkan perekonomian Kukar pada periode 2010-2013 dengan 2014-2021. Pada periode 2010-2013, perekonomian daerah tersebut tergolong meningkat ditandai dengan konsumsi masyarakat dan APBD yang relatif tinggi: setiap tahun mencapai Rp 9 triliun.
Memasuki tahun 2014, perekonomian Kukar berangsur turun. Tandanya, Dana Bagi Hasil (DBH) tak bisa ditansfer, kurang salur Rp 500 miliar, utang menumpuk, dan belanja pemerintah dibatasi. Saat itu, APBD Kukar turun menjadi Rp 7 triliun.
Kemudian pada periode 2015-2020, roda ekonomi Kukar yang bergantung pada belanja APBD kian turun drastis. Pada 2018 hingga 2019, APBD Kukar masih berkisar Rp 3 triliun.
“Tahun 2020 dan 2021 turun lagi. Saya melihat tren penurunan perekonomian Kukar itu, ketika mengandalkan APBD, dia mengalami penurunan DBH sekitar Rp 400 miliar sampai Rp 500 miliar,” ungkap Rian, Jumat (25/6/2021).
Kata dia, ketika Pemkab Kukar hanya mengandalkan APBD untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka perekonomiannya tidak akan stabil.
Sementara di sektor swasta, perekonomian masih mengandalkan pertambangan. Setiap tahun kontribusi sektor tersebut akan terus mengalami penurunan, baik dari segi produksi maupun harga hasil tambang seperti batu bara.
“Karena kita bertahun-tahun bereuforia mengandalkan batu bara, ketika kontribusinya turun, memang betul-betul ada kejutan. Waktu Kukar ramai batu bara, karyawan banyak. Gaji mereka misalnya Rp 5 miliar setiap bulan, maka akan berputar di situ. Itu punya efek yang luar biasa,” jelasnya.
Rian menegaskan, sektor batu bara sejatinya tak bisa diandalkan. Buktinya, meski harga barang tak bergerak secara signifikan, daya beli masyarakat cenderung stagnan.
Dari segi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pemkab Kukar masih mengandalkan PAD tetap seperti pendapatan dari rumah sakit dan penyertaan modal di Bankaltimtara. PAD di sektor ini tak bisa digunakan secara rutin, namun harus berdasarkan perjanjian.
Sedangkan PAD murni Kukar hanya Rp 100 miliar setiap tahun. PAD ini bersumber dari pajak restoran, hotel, galian C, retribusi, dan reklame. Untuk meningkatkannya, pemerintah perlu mendorong orang-orang untuk bertahan lama di Kukar.
“Ketika berlama-lama di Tenggarong, dia akan belanja di sini. Dulu, saya ketika datang ke Tenggarong tahun 2001, saya bawa uang Rp 150 ribu. Itu buat makan selama di Kukar. Jadi, orang yang datang ke Kukar itu harus bawa uang. Bukan dengan cara kondisional seperti event tertentu saja,” jelasnya.
Kedatangan orang-orang karena kegiatan tertentu dalam batas waktu tertentu diakui Rian akan berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Misalnya, mereka akan berbelanja di warung-warung atau pasar swalayan. Namun, pengaruhnya tak bertahan lama.
Rian mengatakan, pemerintah memiliki tantangan untuk membuat para pengunjung bertahan dalam waktu yang lama. Ia mencontohkan pemikiran mantan Bupati Kukar, Rita Widyasari, yang mendorong kantor-kantor perusahaan batu bara bertempat di Kukar.
Pengaruhnya, para karyawan akan bertahan di Kukar. Kemudian membelanjakan uang mereka, sehingga pasar-pasar akan lebih ramai dan hidup. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap PAD Kukar.
“Tapi kan selama ini orang-orang yang berkunjung ke Kukar itu kan nginap di Samarinda. Hotel Grand Fatma dan Hotel Lesong Batu sepi,” ucapnya.
Ia mendorong pemerintah mengajak pihak swasta melakukan investasi di Kukar agar terbentuk sektor industri yang menghasilkan berbagai produk. Keberadaan sektor ini akan membawa efek positif terhadap sektor-sektor lain di Kukar.
“Sektor ini yang harusnya didorong pemerintah. Multiplier effect-nya cukup panjang. Jadi, yang punya dampak besar kayaknya hanya industri,” katanya.
Selain itu, ia menyarankan pemerintah menjadikan Kota Tenggarong sebagai pusat pendidikan. Keberadaan Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) Tenggarong yang telah memiliki akreditasi B dapat mendorong ibu kota kabupaten tersebut menjadi pusat pendidikan.
“Kalau Tenggarong didorong jadi kota pariwisata, itu agak berat sih. Karena obyek-obyek wisata di Tenggarong cuma itu saja. Misalnya Museum Kayu. Itu kan enggak variatif. Tidak ada inovasi,” ucapnya.
Sementara sektor pertanian, menurut Rian, akan tumbuh bila pemerintah mendorongnya. Namun, tidak akan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Kukar.
Kukar terkenal dari segi pertanian karena tergolong swasembada beras, ikan, dan ayam. Sedangkan produk pertanian lain seperti cabai tidak mampu bersaing dengan Sulawesi.
“Hampir sebagian besar produk pertanian di Kukar ini masih didatangkan dari Sulawesi. Jadi, kalau mau bersaing di sektor pertanian, Sulawesi itu sulit dikejar,” kata Rian. (ln)