Oleh: Ismail Amin*
Banyak yang awalnya tidak percaya, rezim Assad telah tumbang dan kekuasaan ayah-anak (Hafez Assad dan Bashar Assad) selama 54 tahun sejak Februari 1971 harus berakhir. Wajar saja, sejak 2011 lewat perang saudara yang dipaksakan, rezim Assad tetap bisa bertahan.
Bahkan Assad kembali memenangkan pilpres yang keempat kalinya pada tahun 2021 dengan kemenangan mutlak 95,1%. Loh kok kali ini, tidak lebih dari dua pekan sejak Hayat Tahrir al-Syam (dulu Jabhat al-Nusra) menyerang Aleppo dengan dukungan Israel dan Turki, Assad sudah jatuh dan Damaskus sepenuhnya berhasil dikuasai?
Ada beberapa faktor yang berakumulasi telah melemahkan rezim Assad. Berikut ini di antaranya:
Pertama, kegagalan Assad mengonsolidasi kekuatan militernya pasca konflik. Harus diingat, konflik 2011 terjadi karena ketidakpuasan sejumlah perwira tinggi Suriah yang kemudian membentuk Free Syrian Army. Banyak perwira dan tentara angkatan darat Suriah yang membelot dan melancarkan pemberontakan. Pemberontakan ini didukung kekuatan asing (utamanya Turki dan Qatar), baik bantuan persenjataan maupun pasukan milisi.
Assad berhasil meredam pemberontakan atas bantuan Rusia dan Iran. Namun pasca konflik, Assad tidak memiliki banyak kemampuan untuk membangun kembali angkatan bersenjatanya. Pasukan militer dibiarkan terlalu lama tanpa kesatuan komando. Rekrutmen tentara baru yang terlalu longgar sehingga rawan infiltrasi spionase dan pengkhianatan.
Kedua, hasil-hasil negoisasi yang kandas direalisasikan. Juga perlu dicatat, konflik mereda bukan karena sepenuhnya Assad berhasil mengendalikan situasi, melainkan peran Rusia dan Iran yang terus mendorong terjadinya perdamaian di Suriah melalui serangkaian negoisasi.
Di antaranya Negoisasi Astana (juga dikenal sebagai Proses Astana) yang dimulai pada tahun 2017 di Astana, Kazakhstan. Negoisasi lainnya adalah Negoisasi Sochi, yang secara resminya disebut Kongres Dialog Nasional Suriah. Pertemuan perdamaian ini digelar di Sochi, Rusia pada Januari 2018. Berbeda dengan Negoisasi Astana yang lebih fokus pada aspek militer dan keamanan, Negoisasi Sochi bertujuan memulai dialog nasional yang lebih inklusif antara berbagai kelompok Suriah untuk merumuskan konstitusi baru.
Sayang, banyak hasil dari negosiasi Astana dan Sochi dibiarkan begitu saja dan tidak ada tindak lanjut khusus dari pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi, termasuk pemerintah Suriah sendiri. Dalam negosiasi tersebut, diharapkan akan ada serangkaian perubahan dan penyesuaian terhadap konstitusi Suriah dan akan lebih inklusif, tetapi masalah ini diabaikan oleh pemerintah Suriah.
Ketiga, keruntuhan ekonomi. Sanksi internasional, terutama Sanksi Caesar telah menghancurkan ekonomi Suriah. Apa itu Sanksi Caesar? Sanksi Caesar adalah Undang-Undang (UU) Amerika Serikat yang menargetkan pemerintah Suriah dan pendukungnya terkait perang saudara di Suriah. UU ini secara resmi bernama Caesar Syria Civilian Protection Act of 2019.
Sanksi ini memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi Suriah, yang sudah hancur akibat perang. Inflasi meningkat tajam, mata uang Suriah terus terdepresiasi dan akses ke bantuan internasional makin sulit. Hal ini telah memperburuk kondisi kemanusiaan di Suriah dan menyebabkan penderitaan bagi banyak warga sipil. Buruknya ekonomi menyebabkan ketidakpuasan massal di antara rakyat. Keruntuhan ekonomi juga menjadi penyebab keretakan dalam di dalam kekuatan keamanan dan militer, yang akhirnya melemahkan fondasi kekuasaan Assad.
Keempat, pemerintah Suriah abai terhadap sel-sel tidur kelompok teroris. Perlu diketahui, semua kekuatan teroris pemberontak tidak keluar dari posisi mereka setelah kekalahan di Idlib, tetapi masih ada di antara mereka yang secara diam-diam tetap ada di daerah lain di Suriah dan menunggu timing untuk balas dendam.
Di wilayah Ghouta Timur dan Barat di Damaskus, yang awalnya dikuasai oleh kelompok Jaisy al-Islam yang dipimpin oleh Zahran Alloush, kelompok militan ini masih bercokol. Juga perlu dicatat bahwa beberapa kali proposal diajukan kepada pemerintah Suriah agar pasukan militer dan intelijen diganti, tetapi tidak ada perhatian yang diberikan.
Kelima, pengkhianatan Erdogan. Dalam sebulan terakhir, Iran telah memberikan peringatan kepada Assad secara terbuka lima kali dan berkali-kali secara tidak terbuka mengenai prediksi peristiwa yang akan terjadi dan menawarkan langkah taktis yang harus dilakukannya.
Inteligen Iran telah mendeteksi akan adanya kemungkinan serangan yang dimobilisasi Turki, tetapi Assad masih berharap pada Erdogan. Erdogan berjanji pada Assad. Selama Perang Gaza masih berlangsung, Turki tidak akan melakukan serangan apa pun pada Suriah.
Keenam, pengkhianatan pimpinan militer Suriah. Secara praktis, tentara Suriah adalah angkatan tempur yang telah lelah berperang. Selama 13 tahun mereka berperang tanpa henti. Menghadapi pasukan pemberontak dan menghadapi invasi Israel.
Pengkhianatan pimpinan militer Suriah sebenarnya sudah tercium sejak penasehat-penasehat militer Iran di Suriah sedemikian mudah terdeteksi keberadaannya oleh Israel. Satu-satu mereka dihabisi. Yang terakhir Brigadir Jenderal IRGC Kioumars Pourhashemi pekan lalu di Aleppo.
Karena itu, Iran meminta izin ke Assad untuk diberikan wewenang intervensi sepenuhnya atas militer untuk menjaga wilayah Suriah. Sayang, Assad menolak, dan memilih masih percaya sama jenderal-jenderalnya.
Kemajuan pesat oposisi bersenjata dan mundurnya tentara Suriah menunjukkan adanya persetujuan dan kesepakatan besar dari kekuatan asing serta kerja sama dari kekuatan-kekuatan berpengaruh di pemerintahan dan tentara Suriah. Pengumuman akan jatuhnya kekuasaan Assad diumumkan sendiri langsung oleh Panglima Militer Suriah.
Lantas siapa yang diuntungkan dengan kejatuhan Assad? Meski berpesta dan bergembira ria atas tumbangnya kekuasaan Assad, rakyat Suriah bukanlah pihak yang paling diuntungkan. Israellah yang disebut mendapatkan “buah runtuh” dengan kejatuhan Assad.
Secara konsisten selama 54 tahun rezim Assad menyatakan dukungan untuk pembebasan Palestina. Suriah secara historis telah menjad tuan rumah bagi banyak faksi Palestina, terutama Hamas dan Jihad Islam. Suriah secara strategis berfungsi sebagai saluran Iran untuk memasok senjata dan sumber daya lainnya bagi gerakan perlawanan Lebanon dan Palestina.
Kelompok pemberontak Suriah yang menjatuhkan Assad bukanlah kelompok yang membela Gaza. Tidak ada satu pun peluru pernah mereka targetkan ke Tel Aviv. Mereka hanya fokus menguasai Suriah atas suruhan majikannya. Rakyat Suriah sebentar atau lama akan seperti rakyat Libya, yang dengan suara bergetar penuh nostalgia mencari di mana Kolonel Qadafi. (*Cendekiawan Muslim)