Search
Search
Close this search box.

Abyaneh-Qamsar-Qom (3)

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Shahbazi menawarkan dua pilihan tujuan selanjutnya, kota Kashan atau Qamsar? Menurut sopir kami, tidak mungkin mengunjungi keduanya sekaligus hanya dalam waktu setengah hari. Saya bingung. Keduanya ingin saya kunjungi. Kashan terkenal dengan mansion-mansion kuno yang indah dengan arsitektur tamannya, seperti Bagh-e Fin (Fin Garden) atau Tabatabai’s House. Juga ada peninggalan arkeologi (antara lain kuil penyembahan) berusia 7.000 tahun di pinggir kota itu, di Bukit Sialk, yang membuktikan bahwa di era prasejarah pun telah muncul peradaban di kawasan ini. Keeksotisan Kashan mengilhami puisi terkenal dari penyair Sohrab Sepehri, The Sound of Water’s Footsteps: I’m a native of Kashan. I’m a painter. Now and then I build a cage by paint, sell it to you to refresh your heart.

Sementara, Qamsar terkenal sebagai kota bunga Muhammadi (sejenis bunga mawar merah muda yang baunya sangat harum). Di kota ini, bunga Muhammadi disuling menjadi air mawar (rose water) dan minyak wangi (rose oil). Setiap tahun, kain penutup Ka’bah dicuci dengan menggunakan air bunga Muhammadi dari Qamsar. Sadiqeh juga punya kerabat yang tinggal di puncak gunung di Qamsar yang sebelumnya pernah diceritakan keindahan pemandangannya oleh putri-putri keluarga Bavi. Akhirnya saya putuskan untuk memilih berkunjung ke Qamsar.

Shahbazi pun memacu mobilnya menuju Qamsar yang terletak sekitar 25 km dari Kashan. Setelah melewati jalanan lebar beraspal mulus yang sepi selama sekitar dua jam dengan pemandangan gunung di kiri-kanan-depan, kami pun memasuki sebuah lembah yang hijau. Inilah Qamsar. Pepohonan rindang rapi berjajar di sepanjang jalan menyambut kedatangan kami. Hujan rintik-rintik juga memberikan ucapan selamat datang kepada kami. Semakin memasuki kota Qamsar terlihat semakin banyak toko-toko di pinggir jalan yang menjual rose water yang dalam bahasa Persia disebut golab (gol: bunga, ab: air).

Advertisements

Sadiqeh merekomendasikan toko golab bernama “Ka’bah” yang sudah lama menjadi langganannya. Seorang pemuda tampan klimis menyambut kami di toko itu. Dia mempersilakan kami meminum teh. Para pengunjung toko yang ingin minum teh bisa menuangkan sendiri air hangat dari samavar (penghangat air khusus untuk teh) ke dalam gelas-gelas plastik yang sudah disediakan, lalu menuangkan bibit teh dari teko kecil yang ditaruh di atas samavar. Disediakan juga qand, gula yang terbuat dari saripati umbi chekundar, yang bentuknya kotak kecil seperti dadu. Cara meminumnya, gula diemut di mulut, lalu teh panas diseruput. Di mulut akan terjadi perpaduan antara pahitnya teh dengan manisnya qand. Nikmat sekali di tengah hawa sejuk kota Qamsar ini.

Setelah melepas penat dengan meminum teh hangat, kami pun mulai bertanya-tanya kepada si pemuda penjaga toko mengenai proses penyulingan air bunga Muhammadi. Dengan sabar dan gaya yang simpatik, dia menjelaskan bahwa dibutuhkan puluhan kilo bunga Muhammadi untuk menghasilkan satu botol air bunga suling. Bunga-bunga mawar merah muda itu dimasukkan ke dalam tangki khusus dicampur dengan air, lalu dipanaskan sampai keluar uap airnya. Uap air itu ditampung pipa khusus yang menjulur panjang dan menghubung ke sebuah tangki lain yang direndam dalam bak berisi air dingin. Uap panas ketika terendam dalam air dingin tentu akan menetes kembali menjadi air, dan tetesan air itulah yang akan tertampung dalam tangki yang direndam dalam bak air dingin itu. Tiap tahunnya, Iran mengeruk jutaan dolar dari ekspor air sulingan bunga Muhammadi ini dan konon Qamsar adalah sentra produksi rose water terbesar di Timur Tengah. Si pemuda menyatakan bahwa khasiat air bunga Muhammadi itu sangat banyak, antara lain untuk meredakan ketegangan syaraf dan mengobati penyakit jantung. Saya membeli tiga botol air bunga seharga masing-masingnya 12.000 Riyal Iran, oleh-oleh untuk tetangga-tetangga saya di Teheran. Di toko itu juga dijual berbagai air sulingan dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat lainnya, seperti air sulingan daun peppermint yang sangat bermanfaat meredakan penyakit perut dan berbagai daun lain yang saya tidak tahu namanya.

Dari toko itu pula, Sadiqeh menumpang menelepon kerabatnya, yaitu Amu (Paman) Ali yang tinggal di puncak gunung supaya datang menjemput kami. Sambil menunggu Amu Ali, kami makan siang di sebuah restoran. Menu yang kami pilih adalah kebab kubideh, yaitu kebab yang terbuat dari daging cincang dan dicampur yoghurt, telur, merica, kunyit, dan garam lalu setelah didiamkan semalam di lemari es, dipanggang di atas bara. Seperti biasa, orang-orang Iran menyantap makan siang (dan malam) mereka dengan ditemani minuman soda. Kesukaan orang Iran meminum minuman soda membuat industri minuman ini sangat maju di Iran. ZamZam Cola, cola asli buatan Iran, bahkan sudah merambah pasar Timur Tengah bersaing dengan Coca Cola yang semakin banyak dijauhi seiring dengan meningkatnya sentimen anti-Amerika di tengah warga Timur Tengah.

Usai makan siang, kami pergi ke tempat pertemuan yang sudah disepakati Sadiqeh dan Amu Ali. Amu Ali datang membawa sebuah land cruiser dengan bak terbuka. Cocok sekali untuk naik-turun gunung. Suami saya dan bayi kami, Reza, pindah ke land cruiser itu, duduk di samping Amu Ali. Fatimah dan Mauide juga pindah mobil, tapi mereka duduk di bak belakang bersama Hasan, anak lelaki Amu Ali yang berusia 10 tahun. Saya, Kirana, dan Sadiqeh tetap di mobil Shahbazi. Dengan muatan yang lebih ringan, Peugeot 405 itu sanggup naik ke atas gunung. Di sepanjang jalan yang berputar-putar secara spiral untuk mencapai puncak gunung, Fatimah, Mauide, dan Hasan saling bercanda dengan cara “mengerikan”, saling menendang dan mendorong. Saya berkali-kali mengungkapkan kekhawatiran pada Sadiqeh. Berbahaya sekali naik mobil bak terbuka bagi anak-anak itu. Tapi Sadiqeh tenang-tenang saja. Katanya, anak-anak itu memang sudah biasa begitu.

Semakin ke atas, pemandangan semakin menakjubkan. Bila mata memandang ke bawah terlihat lapisan kabut tipis menutupi kaki gunung. Lereng gunung itu dipenuhi pepohonan buah, mulai dari apel, walnut, peach, raspberry, dan entah apa lagi. “Buah apa saja ada di sini,” kata Sadiqeh. Sayangnya semua pepohonan itu masih meranggas. Kata Sadiqeh, masih dibutuhkan waktu sebulan lagi sampai daun-daunnya menghijau dan putik-putik bunganya bermunculan.

Pemilik kebun di lereng gunung ini adalah orang Iran yang tinggal di Amerika. Amu Ali ditugaskan mengurusi kebun itu dan si pemiliknya hanya sesekali saja berkunjung ke sini. Dengan land cruiser-nya, Amu Ali setiap pagi akan menjemput para pekerja kebun dari kaki gunung, lalu mengantar mereka kembali ke kaki gunung di petang hari. Di musim salju, keluarga Amu Ali akan mengungsi ke rumah besar mereka di kota Qamsar karena salju akan turun sangat tebal sehingga tidak mungkin bagi mereka untuk naik-turun gunung.

Rumah di puncak gunung itu hanya terdiri dua ruangan, tapi, khas orang Iran, dengan dapur dan kamar mandi yang cling. Listrik, gas, dan telepon juga tersedia di rumah itu. Entah bagaimana cara membuat jaringannya, padahal rumah itu adalah satu-satunya rumah di atas gunung ini. Di ruang tengah tersedia sebuah meja dengan tumpukan selimut di atasnya. Sadiqeh langsung berseru gembira, “Oh, kursi! Aku selalu ingin duduk di bawah kursi ini, tapi selama ini kami kemari hanya pada musim panas. Ayo, sekarang hidupkan pemanasnya!”

Saya menatap tidak mengerti. Suami saya tertawa, “Oh, kursi tuh yang ini rupanya. Selama ini saya hanya tahu kata itu di buku pelajaran bahasa Persia.”

Amu Ali ikut tertawa, “Jadi, sekarang kamu tahu bagaimana bentuk kursi, ya?”

“Ayo, kita duduk di bawah kursi,” ajak Sadiqeh. Saya pun mendekatinya dan menirunya, duduk di sekitar meja rendah itu. Istri Amu Ali membuka tumpukan selimut dan menyelimuti meja, termasuk juga kaki-kaki kami yang menyelonjor ke bawah meja. Terasa hawa hangat mulai menyelimuti kaki saya.

Sadiqeh tertawa, “Tahu, dari mana asal hawa hangat ini? Di bawah meja ini ada pemanas listrik.”

Saya mengintip ke balik selimut, memang ada pemanas listrik kecil. Karena diselimuti oleh selimut tebal, panas dari pemanas kecil itu menyebar dengan rata dan cukup untuk menghangatkan siapa saja yang berlindung di seputar kursi. Kursi adalah istilah bagi meja dan selimut yang berfungsi sebagai penghangat tubuh ini. Hasan dan Mauide saling bertengkar berdesak-desakan mengambil tempat di seputar kursi. Tapi hanya sebentar, lalu mereka lari lagi keluar, bersama putri saya Kirana, untuk mengeksplorasi perkebunan buah di seputar rumah. Derai salju tiba-tiba turun, tapi tidak menghalangi anak-anak itu untuk terus berlari berkejar-kejaran di lereng gunung. Semakin lama, salju turun semakin deras dan anak-anak berlarian kembali ke dalam rumah dan lagi-lagi, bertengkar berebutan mencari kehangatan di balik kursi.

Setelah beristirahat serta menikmati teh hangat dan kue-kue kering, kami pun bergantian shalat di kamar depan yang dingin sekali. Sama sekali tidak ada pemanas di kamar itu sehingga saya shalat dengan badan agak gemetar kedinginan, kemudian kami bersiap-siap kembali ke Qom. Amu Ali kembali mengantar kami turun gunung, sebagian dari kami menumpang land cruiser, sebagian naik mobil Shahbazi. Tapi, land cruiser Amu Ali malah menuju ke arah atas, Shahbazi mengikuti saja. Ternyata kami diajak ke tempat yang lebih tinggi lagi untuk melihat gudang penyimpanan buah dan kolam renang besar yang ada di sana. Pemandangan dari tempat itu juga indah sekali, agaknya inilah tempat tertinggi dari gunung plus perkebunan ini. Di bawah terlihat lapisan kabut menutupi lembah gunung yang sudah mulai tampak kehitaman karena hawa yang mulai gelap. Tiba-tiba, salju turun lagi sehingga kami semua buru-buru berlindung ke dalam mobil. Kedua mobil pun mulai turun perlahan menuruni gunung.

Di sebuah tempat di lereng gunung itu, iringan mobil terpaksa berhenti untuk memberi jalan kepada serombongan domba yang sedang digembala. Fatimah, Mauide, dan Hasan langsung menghambur turun dari mobil untuk mendekati domba-domba itu. Tak jauh dari tempat itu ternyata ada sebuah peternakan domba. Kami memerhatikan para penggembala yang berusaha menggiring anak-anak domba yang sangat mungil dan lucu ke satu bagian kandang, dan induk-induk mereka ke bagian kandang yang lain. Anak-anak domba itu sedemikian lucunya sampai-sampai Hasan melompat ke dalam kandang untuk memeluk salah satu anak domba. Fatimah juga meraih satu anak domba dan menggendongnya. Kirana dan Reza juga ikut mengelus-elus anak domba itu. Pengalaman itu kelihatan sangat mengesankan untuk anak-anak.

Saya sendiri sempat menangkap sebuah pemandangan menarik. Sebuah iringan domba yang lain datang melewati kami. Penggembalanya seorang lelaki usia 20 tahunan. Sambil menggembala, dia berbicara dengan… handphone-nya! Saya tertawa karena pemandangan itu kontras sekali: gembala di pegunungan dan handphone. Saat itu, handphone masih jadi barang mahal di Iran, baik dari sisi pesawat maupun biaya berlangganan ke operator telepon seluler. Saya berusaha memotretnya, namun sayang, ketika kamera siap dipakai, lelaki itu sudah memasukkan kembali ponselnya ke saku.

Setelah beberapa menit bermain-main dengan anak domba, kami pun kembali melanjutkan perjalanan turun gunung. Di depan sebuah nanvai, mobil Amu Ali berhenti sehingga Shahbazi juga menghentikan mobilnya.

“Ah, Amu Ali mau membelikan nan (roti) buat kita. Ini memang kebiasaan kami. Setiap kali ada tamu yang akan meninggalkan rumah kami, kami harus membekalinya sesuatu. Kalau saja sekarang musim panen, pasti kita sudah dibekali buah oleh Amu Ali,” kata Sadiqeh. Sekarang saya baru mengerti, mengapa selama ini setiap kali kami berkunjung ke rumah Sadiqeh, sebelum pulang pasti kami dibekali berbagai macam benda, kadang makanan, kadang baju baru, atau boneka untuk Kirana.

Hanya sebentar, Sadiqeh sudah kembali membawa setumpuk besar roti bundar yang harum. Dua-tiga lembar diberikannya kepada kami di dalam mobil, sisanya ditaruh di bagasi. Dalam sekejap, lembaran nan itu habis kami lahap. Enak sekali. Selanjutnya kami saling mengucapkan selamat berpisah kepada Amu Ali. Dengan ramah dia mempersilakan kami datang di musim panas. “Pemandangannya jauh lebih indah,” katanya. Saya berdoa dalam hati mudah-mudahan saja kelak kami punya kesempatan melihat kebun buah di lereng gunung itu dalam keadaan berdaun dan berbuah lebat. Perjalanan kembali menuju kota Qom ditempuh dalam kegelapan malam. Dua jam kemudian kami sampai juga di kota Qom dan tidur nyenyak malam itu di rumah keluarga Bavi.

The Holy Shrines

Keesokan harinya, kami pergi berbelanja suvenir untuk dibawa pulang ke Indonesia. Di kota Qom ada pusat pertokoan, termasuk juga toko-toko suvenir yang terletak di seputar The Holy Shrine, Haram Sayyidah Ma’shumah. Harga barang-barang suvenir di pasar ini cukup miring apalagi bila dibeli dalam jumlah banyak. Itulah sebabnya saya memilih berbelanja di sini. Saya memborong hiasan dinding berupa kaligrafi Ayat Kursi dari sulaman benang emas, tasbih, Alquran mini yang bisa digantung di kaca mobil, sajadah, minyak wangi, dan jilbab. Tak jauh dari pasar suvenir di seputar Haram, ada pasar tradisional yang menjual lauk pauk dan sayuran bernama Pasar Guzarkhan, namun lebih sering disebut Pasar Irak karena penjualnya adalah para imigran Irak. Celotehan bahasa Arab amiyah akan terdengar riuh rendah di lorong-lorongnya yang sempit. Di salah satu lorong ada tempat tinggal keluarga Al Hakim, pejuang revolusi Irak yang melarikan diri ke Iran karena dikejar-kejar Saddam. Setelah Saddam tumbang, kepala keluarga itu, Ayatullah Sayyid Baqir Al Hakim, kembali ke Irak. Namun tak lama kemudian beliau gugur akibat ledakan bom usai shalat Jumat di Haram Imam Ali di kota Najaf.

Haram adalah istilah dalam bahasa Persia yang bermakna holy shrine, atau mausoleum, atau makam yang sudah dibangun dan diperindah. Setiap hari, Haram Sayyidah Ma’shumah selalu dipenuhi oleh para peziarah atau orang-orang yang sekadar duduk di dalamnya untuk berlindung dari panas terik kota Qom (atau hawa dingin menggigit di musim dingin) atau para pelajar yang duduk di sana untuk menghafal pelajaran mereka. Shalat berjamaah lima waktu juga diselenggarakan di sini, tapi, shalat zuhur dan asar dilakukan beriringan. Segera setelah azan zuhur berkumandang, shalat zuhur berjamaah diselenggarakan. Usai shalat zuhur, kembali terdengar azan dan orang-orang menunaikan shalat asar. Demikian pula dengan shalat magrib dan isya. Berbagai pengajian dan majelis ilmu juga digelar di kompleks ini.

Bila kita memasuki haram dan masuk ke ruangan tempat makam Sayyidah Ma’shumah berada (yang dipagari oleh zarih, pagar besi berwarna emas dan beratapkan hiasan cermin—yaitu cermin dipotong kecil-kecil lalu disusun dalam pola tertentu dengan sangat rapi dan indah), suara tangis dan ratapan akan segera tertangkap telinga. Orang-orang membaca doa sambil menangis tersedu-sedu, ada juga yang hanya diam menatap makam dengan bersimbah air mata. Saya butuh waktu agak lama untuk memahami kebiasaan orang-orang Iran menangis tersedu-sedu di Haram Sayyidah Ma’shumah. Saya terlahir di keluarga Muhammadiyah yang meyakini bahwa orang yang sudah meninggal akan terputus hubungannya dengan dunia. Tapi di sini, orang-orang Iran sedemikian yakinnya bahwa Sayyidah Ma’shumah bisa mendengar doa-doa mereka dan akan menyampaikannya langsung kepada Allah. Dengan kata lain, Sayyidah Ma’shumah yang salehah dan suci itu memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, sehingga bisa berperan sebagai wali atau perantara antara manusia biasa dengan Allah Swt.

Dalam sejarah Iran kontemporer, Qom merupakan tempat munculnya benih-benih revolusi Islam. Para ulama pemimpin revolusi, antara lain Imam Khomeini, hampir pasti pernah menuntut ilmu agama di Qom. Spirit perjuangan Qom konon juga bersumber dari Haram Sayyidah Ma’shumah. Fathimah Ma’shumah adalah adik perempuan Imam Ali Ar-Ridho. Sayyidah Ma’shumah melakukan perjalanan panjang dari Madinah menuju Mashad untuk menemui kakaknya itu. Di tengah perjalanan, saat sampai di kota Qom, masih seribu kilometer menjelang Mashad, dia jatuh sakit dan wafat. Jenazahnya dimakamkan di Qom dan secara bertahap, makamnya dijadikan mausoleum. Di kompleks haram itulah para ulama Iran sering berceramah membangkitkan kesadaran rakyat agar bangkit melawan penguasa tiran. Menjelang tumbangnya Rezim Pahlevi, tak terhitung lagi ulama dan massa yang mengikuti ceramah-ceramah mereka yang dipenjara atau dibunuh penguasa.

Kini, Haram Sayyidah Ma’shumah sudah cukup megah, dengan kubah emas dan kompleks yang luas. Haram ini telah menjadi salah satu pusat peziarahan Iran yang dikunjungi para peziarah dari dalam dan luar negeri. Kota Qom juga dikenal sebagai kota ilmu agama karena di sini banyak berdiri sekolah-sekolah agama (hauzah ilmiyah), tempat puluhan ribu pelajar domestik dan mancanegara menimba ilmu agama dan filsafat. Di kota ini juga berdiri sebuah kompleks perpustakaan besar, yaitu perpustakaan Mar’ashi Najafi yang dibangun di atas lahan sekitar 2 hektare. Di dalamnya tersimpan lebih dari tiga juta judul buku, di antaranya buku-buku yang sudah sangat kuno, serta ratusan ribu manuskrip kuno (teks-teks keilmuan agama yang ditulis tangan oleh ulama-ulama zaman dulu). (*)

Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Journey to Iran

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA