Search
Search
Close this search box.

Filsafat Islam Menjawab Tantangan Intelektualisme dan Sosial

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong, Dudi Hari Saputra. (Istimewa)
Listen to this article

Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra*

Di tengah hiruk-pikuk politik, ekonomi, dan benturan budaya di era global ini, sekat-sekat identitas dan sosial semakin menguat. Masyarakat semakin gandrung pada pengerasan identitas yang egois dan hanya berfokus pada diri dan kelompoknya sendiri. Bagaimana menjawab tantangan ini? Adakah solusi yang bisa diterima semua pihak?

Bagaimana pandangan Anda mengenai filsafat?

Advertisements

“Filsafat membuka wawasan saya secara paradigma bahwa Islam tidak hanya aspek ritual atau spiritual, tapi juga intelektual. Bukan dengan pendekatan-pendekatan yang normatif atau tendensi keagamaan, tapi karena epistemologinya dibangun dengan landasan ilmiah.”

“Dari intelektualisme inilah kita temukan landasan spiritual yang objektif. Kita tak memulai dari wacana yang sempit tapi dari wacana yang inklusif. Di mana semua orang bisa mengaksesnya dan dia bisa diterima oleh semua kalangan karena ia bersifat objektif.”

Memang apa manfaat filsafat di masa sekarang ini?

“Sangat penting substansinya. Karena saya melihat ada tendensi pemisahan antara yang profan dan yang sakral. Di satu sisi kita menghadapi liberalisme di mana mereka berprinsip bahwa terpisah antara ranah agama dan ranah sosial dan segala macamnya. Namun di sisi lain kita juga menghadapi ekstremisme yang menganggap bahwa agama adalah segala-galanya sehingga anti dengan ilmu pengetahuan, kebebasan, dan progresifitas. Dan anti dengan gerakan-gerakan yang mereka anggap di luar agama.”

“Nah ini, menurut saya filsafat mampu menjembatani ini. Terutama dalam buku Falsafatuna itu di sisi lain ia memiliki prinsip yang dipegang teguh nilai-nilai tetapnya seperti tauhid dan kenabian. Tapi di sisi lain juga membuka ruang dan pembaharuan dalam perspektif kita memandang agama. Yaitu agama berbicara tentang pengetahuan, teknologi, bicara aspek sosial, amal, pembangunan bangsa dan negara.”

Tapi ada banyak anggapan bahwa filsafat itu eksklusif dan tak berhubungan dengan ranah praktis. Menurut Anda?

“Menurut saya pertama harus saya jelaskan, dan luruskan dulu bahwa ada pandangan yang apriori ketika filsafat itu dianggap eksklusif, dianggap tak berkaitan dengan ranah praktis dan segala macamnya. Mungkin orang tak belajar sejarah bahwa seluruh teori-teori sosial sekarang berangkat dari filsafat. Itu fakta sejarah. Siapa yang bisa menyangkal Aristoteles, Plato itu mampu mengeluarkan teori-teori sosial yang sampai sekarang masih dipakai karena mereka menggunakan dasar filsafat.”

“Kalau saya bicara tentang ilmu hubungan internasional dengan berbagai paradigma pendekatannya, semuanya menggunakan paradigma filsafat. Saya berbicara materialisme, liberalisme, sosialisme, marxisme, itu semua pendekatannya filsafat. Jadi kalau ada yang menganggap filsafat itu tidak penting, mereka belum belajar filsafat atau belum berfilsafat. Sehingga mereka anti.”

Bisakah Anda beri contoh kegunaan praktis filsafat dalam bidang Anda?

“Oh, sangat bermanfaat. Di ranah kami di hubungan internasional itu sekarang ada problem misalnya, apakah western perspektif itu atau western paradigm mampu menjawab problem-problem secara universal? Ternyata mereka pun mengalami kesulitan dalam menjawab masalah-masalah di negara post kolonial, di negara Islam, di negara Timur, di mana negara-negara ini memiliki perspektifnya sendiri dalam memandang dunia.”

“Sehingga memang ada kebutuhan-kebutuhan yang mendesak bahwa ada pendekatan-pendekatan alternatif selain pendekatan Barat yang menghegemoni ini. Dan kebutuhan akan pendekatan alternatif ini, harus mampu dijawab oleh intelektual Muslim sebagai tantangan epistemologi. Bahwa ada kebutuhan mendesak saat ini, yaitu kebutuhan ilmu pengetahuan. Dan Islam—lebih tepatnya orang Islam—menurut saya harus masuk ke ranah itu dan menjawabnya karena di situlah Islam mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan dunia.”

“Marxisme kenapa banyak diterima di dunia? Meskipun memiliki latar belakang agama, suku dan budaya yang berbeda? Karena marxisme bicara hal yang sangat objektif. Tentang hal-hal melawan penindasan, menciptakan kesejahteraan dan pemerataan, mengkritisi struktur yang tidak adil, dan lain-lain.”

“Bayangkan saja, jika humanisme yang muncul dari manusia mampu bicara secara universal, kenapa Islam yang dianggap berasal dari Tuhan yang universal malah dianggap tak mampu bicara tentang itu? Itu kan jadi pertanyaan besar. Kok yang dianggap rahmatan lil ‘alamin pada faktanya sekarang malah tersekat. Bayangin kata Kuntowijoyo, Islam tanpa masjid. Dalam artian kita melihat Islam tak hanya di masjid, tapi juga di pengetahuan. Islam sebagai fenomena peradaban, kemajuan, progresifitas, dan segala macamnya.”

Dengan visi yang besar seperti itu, apa yang mesti kita lakukan untuk mencapainya?

“Ya, memang harus kita sadari bahwa pergerakan berdasarkan intelektualisme, kesadaran dan pengetahuan itu membutuhkan proses yang panjang, tak singkat. Karena ini berangkat dari keinginan membangun kesadaran mandiri dan otentik, bukan karena struktur yang dipaksakan. Bukan karena institusionalisme di mana kita memaksa orang untuk tunduk dan taat. Tapi orang ikut dan bergerak karena kesadarannya.”

“Dan alternatifnya kita memang harus hilangkan sekat-sekat, bahwa kerja intelektual itu hanya di ruang-ruang kuliah. Itu jadi elitis. Maka harus ada gerakan-gerakan intelektual yang turun di masyarakat yang formal dan non formal di mana para intelektual di kampus-kampus harus membuka ruang untuk masyarakat. Jika yang tercerahkan hanya di kampus sedangkan masyarakat tidak menerima, belum siap dengan konsep mereka, maka akan terjadi pertentangan baru.”

“Maka para cendekia ini harus bersentuhan dengan masyarakat secara langsung. Dengan cara apa? Banyak pola yang bisa kita lakukan. Pertama misalnya pendidikan-pendidikan gratis, penyuluhan, dan aktivitas-aktivitas sosial pada masyarakat yang berlandaskan pengetahuan dan epistemologi.”

“Karena bagaimana mungkin kita bisa melakukan gerakan perubahan pada masyarakat sedangkan kita sendiri berada di ruang kelas yang tidak bersentuhaan dengan masyarakat langsung, yang kita tidak tahu problem masyarakat apa? Kita membutuhkan kalau kata Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, atau dalam istilah Ali Syariati, rausyan fikr, yaitu insan-insan tercerahkan yang memiliki visi-misi sosial, intelektual, spiritual, yang langsung terjun ke masyarakat.”

Sebagai seorang pengajar yang tentu berhadapan dengan mahasiswa, menurut Anda di mana posisi dan peran mahasiswa dan pemuda dalam mewujudkan hal ini?

“Untuk menyentuh mahasiswa memang ini pekerjaan yang berat. Karena kita menghadapi hedonisme, ekstremisme dan pragmatisme mahasiswa. Makanya peranan guru dan cendekiawan itu sangat penting. Misalnya, kenapa mahasiswa cenderung ke ekstremisme, ke pemikiran-pemikiran sempit dalam beragama? Karena dosen-dosennya tak mampu memberikan pencerahan-pencerahan secara spiritual dan intelektual. Dan ketika mereka masuk ke dalam kampus mereka mengalami spiritualitas yang sangat kering. Sehingga ketika mereka keluar mereka mudah disusupi oleh paham-paham radikal ekstremis dan segala macamnya.”

“Dan di sisi lain dosen juga kualitasnya tidak merata. Kenapa misalnya dosen-dosen cerdas terkonsentrasi di Pulau Jawa, di universtias-universitas besar. Tak ada penyebaran dosen-dosen ke daerah-daerah sehingga ketimpangan pengetahuan terjadi? Salah satu hal mendasar menurut saya, harus ada dosen cerdas. Jangan cuma berkumpul di Jakarta, kembali ke daerahnya. Orang Jakarta tak butuh itu lagi; mereka sudah memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Karena itu, saya protes apabila kuliah-kuliah filsafat menumpuk di Jakarta. Kenapa itu tidak dibawa ke daerah, padahal itu hal yang sangat urgen?”

Baik. Sebagai penutup, apa pesan Anda kepada generasi muda yang merupakan wajah masa depan kita?

“Menurut saya generasi muda sekarang, mereka harus mengenal diri mereka (man arofa nafsahu). Mereka harus selesai dengan diri mereka sendiri dulu. Bekali diri dengan pendidikan yang jelas, epistemologi yang kuat, sehingga tak asal serap ilmu pengetahuan. Juga bekali dengan landasan logika sehingga mereka bisa berpikir dengan benar.”

“Dan juga penting kuatkan landasan spiritual yang lembut, tasawufisme. Jadi melihat agama bukan cuma aspek ritual dan politik, tapi juga aspek cinta. Jadi anasir-anasir kekerasan tidak masuk ke mahasiswa. (*Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA