BERITAALTERNATIF.COM – Sosok sederhana dan seorang mantan Hakim Agung RI, Artidjo Alkostar wafat pada 28 Februari 2021, pukul 14:00 WIB di Jakarta. Pria Kelahiran Situbondo, 22 Mei 1948 ini merupakan sosok yang pernah ditakuti oleh para koruptor dengan “tangan dinginnya” dalam memutuskan perkara pidana korupsi.
Artidjo dikenal sering kali memberikan beban tambahan hukuman tanpa ampun bagi para koruptor dalam suatu perkara hukum di tingkat kasasi.
Dalam perjalanannya, Artidjo telah turut an dil dalam memulihkan citra peradilan yang muram di Indonesia. Di tengah realitas hukum yang umumnya dipersepsi publik “runcing ke bawah, tumpul ke atas”.
Hal ini jelas berbeda jika berada di tangan Artidjo; ia sangat profesional dan berintegritas dalam menangani berbagai persoalan hukum. Ia selalu menempatkan diri untuk menegakkan hukum seadil-adilnya.
Dia mengawali karier hukumnya sebagai “pengacara jalanan” di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja pada 1970-an. Artidjo sosok advokat yang memberikan bantuan hukum kepada masyarakat secara cuma-cuma dan tidak pernah mengedepankan kepentingan finansial, karena yang penting baginya adalah keadilan hukum.
Dalam persaksian koleganya, beberapa kali ia tidak mengambil hasil dari jasanya sebagai lawyer. Ia dikenal sebagai lawyer yang tidak pernah bernegosiasi harga jasa terhadap kliennya.
Kemudian pada tahun 2000, ia berkarier sebagai Hakim Agung. Artidjo merupakan anak kampung yang telah memberikan banyak kontribusi besar dalam dunia peradilan di Indonesia. Kurang lebih hampir 20.000 kasus yang dia tangani selama menjabat sebagai hakim, dan hal ini membuat banyak terdakwa ciut dalam berbagai ketok palunya (pemutusan hukum).
Realitas ini menunjukkan bahwa ternyata masih ada orang yang anti untuk disuap. Dalam hal ini bahkan terdapat novel biografi Artidjo Alkostar yang fenomenal yakni Sogok Aku, Kau Kutangkap yang ditulis oleh Haidar Musyafa (Penerbit Imania, 2017).
Tidak ada rasa takut dalam dirinya selama menjadi hakim, baik dalam berbagai ancaman maupun upaya penolakan terhadap berbagai cobaan “suap hukum” kepadanya.
Sebagai trah Madura, ia selalu mengedepankan idealisme ala Madura yang konon tidak takut terhadap ancaman apa pun. Karena di Madura ada filosofi lokal, lebih bhagus pote tolang etembheng pote mata (“lebih baik putih tulang daripada putih mata”)—dimaknai sebagai visi bahwa orang Madura itu lebih baik mati daripada harga dirinya yang diinjak-injak.
Dalam hal ini harga diri Artidjo sebagai praktisi hukum. Bahkan bagi sebagian orang Madura, mundur dari membela harga diri adalah bentuk lain dari kekafiran.
Penggembala Keadilan
Artidjo di masa kecilnya pernah menggembala kambing. Hal ini pun ditegaskan olehnya ketika purna-tugas sebagai Hakim Agung pada 2018 lalu, bahwa ia nanti akan kembali pulang kampung dan sambil lalu beternak kambing.
Namun, pada perjalanan hidupnya selama ini harus diakui telah ia hibahkan untuk “menggembala keadilan” bagi masyarakat Indonesia. Pada prinsipnya, ia sangat paham akan dampak keji dari korupsi kepada masyarakat.
Maka berdasarkan landasan yuridisnya, ia memberikan hukuman yang seadil-adilnya dan setimpal sesuai dengan bobot pelanggaran hukum.
Artidjo tidak pernah canggung dalam memutuskan suatu perkara, dan tidak pernah takut melihat background politik terdakwanya. Ia juga sering menyoroti kasus korupsi bukan hanya di ranah masyarakat dan birokrasi, tubuh parlemen sebagai pembuat undang-undang sebagai landasan legitimatif keputusan hukum tidak lepas dari sorotannya.
Hal ini ditegaskan Artidjo bahwa korupsi di parlemen merupakan korupsi politik yang sifat bahayanya lebih dahsyat dari korupsi yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan politik.
Begitu pula dampak sosial-ekonominya, sehingga memerlukan upaya penegakan hukum khusus dalam penanggulangannya.
Baginya, korupsi itu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime); koruptor itu mencuri harta negara dan memiskinkan rakyat. Apalagi penyakit korupsi telah menjadi kanker bagi tubuh suatu negara.
Secara historis, korupsi politik telah banyak meruntuhkan negara menuju kehancuran dan menenggelamkan bangsa ke lembah kenistaan dan menyeret pelakunya ke sudut kehinaan. Uang hasil korupsi tidak akan pernah membawa keberkahan di dalamnya.
Korupsi politik yang terjadi di parlemen merupakan salah satu bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat dengan cara memperjualbelikan kekuasaan elektoral demi keuntungan pribadi atau kelompok (Artidjo Alkostar, 2008).
Untuk itu, dalam perjalanannya ia selalu profesional, berintegritas, dan penuh dedikasi dalam menangani setiap masalah hukum yang ada di Mahkamah Agung.
Ia merupakan pioner dalam ranah hukum yang sukar dicari padanannya. Dedikasi dan kesederhanaan selalu menyertai setiap langkahnya.
Bagi Artidjo, keadilan adalah perasaan batin dari kebenaran dan dalam prinsipnya kebenaran harus terus diperjuangkan dan ditegakkan.
Karena sejatinya masalah keadilan adalah masalah sepanjang masa (kehidupan manusia). Keadilan tidak akan pernah tercapai tanpa adanya komitmen untuk menumpas segala permainan kepentingan dan budaya korupsi.
Sebagaimana filosofi hukum fiat justitia ruat caelum menurut Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM), yang artinya hukum itu harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh.
Artidjo tutup usia di umur 72 tahun, sehari sebelum tanggal 1 Maret yang diperingati sebagai hari Kehakiman Nasional. Artidjo sang hakim “penggembala keadilan” atau perawat keadilan di Republik Indonesia telah memberikan legacy untuk terus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan amanat sila kelima Pancasila. (*)
Sumber: Artikel detiknews berjudul Artidjo Alkostar Sang Penggembala Keadilan