Search

GARIS KERIPUT DAN ANGKA-ANGKA YANG MENCAIR

Penulis. (Istimewa)

Oleh Dr. Muhsin Labib, M.A

Di balai-balai beranda yang temaram, dia duduk memandangi bayangan sendiri yang terpantul di layar imagi. Angka ulang tahun itu terpampang di kalender—sekuens matematis yang tiba-tiba terasa asing. “Usia adalah angka”, bisik hati. Tapi angka-angka itu mulai mencair seperti tinta di bawah hujan, menyisakan bercak noda abstrak di atas kertas waktu.

Di luar, daun meranggas. Setiap helai mengingatkan: “Kuantitas adalah aksiden”. Batang pohon yang sama—tahun lalu dahan, kini —tetap menjulang dengan esensi yang tak terhitung. Dia meraba paras lalu menyentuh garis-garis keriput di sudut mata. Ini bukan pengurangan, tapi tanda  muara air dari samudera pengalaman yang meluap.

Advertisements

Pikiran melesat menembus jeda waktu dan memasuki Yunani tua. “Atribut adalah predikat”. Rambut putih, garis wajah, detak jantung—semuanya sekadar kata sifat yang menempel sementara pada subjek. Tapi siapakah subjek ini? Tubuh yang tiap tujuh tahun berganti sel? Nama yang bisa diubah di dokumen resmi (dukcapil)?

Di meja, semburan asap menguap membentuk gugus kabut. “Subjek adalah substansi”. Dia mengamati asap itu—tak berbentuk, tapi nyata. Seperti jiwa yang meresapi setiap sel, namun tak terkurung oleh daging. Di sela-sela derap mitosis dan apoptosis, ia tetap utuh: sutra tak terpotong yang dipintal dari keabadian.

Cahaya temaram berhias gemintang berkedap-kedip. “Esensi utama jiwa”.  Semilir angin malam menyusup lewat celah jendela, memainkan sumbu api yang menari-nari. Api itu—seperti ruh—bergerak tapi tak berpindah, ada tapi tak terpegang. “Tiupan Tuhan”, kata kitab suci. Dia membayangkan napas ilahi itu meresap ke dalam tanah liat Adam, mengubah lumpur tak berarti menjadi simfoni kesadaran.

Di kejauhan, suara azan membumbung mengingatkan: “Eksistensi adalah nafas yang dipinjamkan.”  Setiap tarikan udara melalui hidung—oksigen yang dihirup, karbon dioksida yang dihembuskan—adalah ritual mikro kosmik. Lahir adalah inhalasi pertama. Mati nanti: ekshalasi terakhir. Tapi di antara keduanya, ada jutaan nafas helaan yang menjadi doa tanpa kata.

Genta pendulum menerbitkan detak mengirimgi detik-detik bersenandung mengejar batas. Yang tersisa hanyalah getaran-getaran:

– Getar nadi di pergelangan tangan,

– Getar kupu-kupu di balik kaca jendela,

– Getar galaksi dalam retina yang menatap gemintang.

Di tengah semua getaran itu, dia menemukan paradoks: “Angka adalah kuburan waktu, tapi napas adalah aufklarung. Esensinya bukanlah akumulasi tahun, melainkan dentuman singularitas yang terus terjadi—sel-sel mati menjadi pupuk bagi kesadaran baru, ingatan lama terurai jadi pupuk hikmah.

Jiwa tak berkalender. Eksistensi adalah satu-satunya atribut yang relevan.

Esok, ketika matahari terbit, angka di kalender akan berganti. Tapi napas pertama di pagi hari itu—campuran oksigen, nitrogen, dan kehendak ilahi—tetap sama:

– Satu tarikan dari jutaan tahun evolusi,

– Satu hembusan menuju ketakterhinggaan,

– Satu noktah dalam partitur kosmis yang dinyanyikan tanpa kata.

Traktatus ini adalah tapestri yang merajut klausa filosofis bahwa ulang tahun bukanlah peringatan kedaluwarsa, melainkan ritus pembaruan kontrak dengan keabadian. (*)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
Advertisements
INDEKS BERITA