Search
Search
Close this search box.

Gus Dur, Bapak Tionghoa yang Pandangannya Tetap Relevan dalam Lintas Generasi

Listen to this article

Jakarta, beritaalternatif.com – Pada Kamis (30/12/2021), sejumlah tokoh nasional mengenang 12 tahun kepergian mantan Presiden Indonesia, Abdulrahman Wahid atau Gus Dur.

Alissa Wahid, putri Gus Dur, menyampaikan, 12 tahun lalu, saat ayahnya meninggal dunia, ia merasa dunianya terguncang. Pasalnya, sang ayah adalah pilar kehidupannya.

Dia pun berdoa agar Allah memeluk almarhum dengan penuh cinta, sebagaimana cinta Gus Dur yang dinilainya tak pernah usai untuk semua makhluk ciptaan-Nya.

Advertisements

“Terimakasih telah menjadi sosok pejuang yang menginspirasi kami untuk setia mengupayakan kemaslahatan bersama dan membela mereka yang lemah & dilemahkan. Jalan terjal berliku,” katanya sebagaimana dikutip beritaalternatif.com di akun Twitternya, Jumat (31/12/2021).

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Yahya Cholil Staquf mengatakan, Gus Dur akan terus relevan dan akan terus dibutuhkan karena almarhum menghadirkan perjuangan peradaban.

“Kita masih akan butuh Gus Dur 100 tahun kedepan, ber-NU seharusnya dengan ber Gus Dur yaitu mengikuti keteladanan, gerakan, pemikiran Gus Dur,” ucapnya.

Diketahui, Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil pada 7 September 1940. Kemudian meninggal dunia pada 30 Desember 2009). Gus Dur adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B.J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional.

Masa kepresidenan Gus Dur dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.

Gus Dur adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) NU dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dia lahir pada hari keempat dan bulan kedelapan kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, tetapi kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti dia lahir pada 4 Sya’ban 1359 Hijriah, sama dengan 7 September 1940.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri NU, sementara kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.

Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Gus Dur mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.

Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Prancis, Louise Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Pada tahun 1944, Gus Dur pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Pada akhir perang tahun 1949, dia pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Ia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Dia juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.

Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan dia berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP.

Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, dia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

Pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberi tahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, dia terpaksa mengambil kelas remedial.

Ia menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964. Dia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.

Di Mesir, ia dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat dia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jenderal Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang ditugaskan menulis laporan.

Dia mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberi tahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan pra-sarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. 

Dia pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Dia ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, dia pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.

Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill Kanada. Ia membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah Prisma dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut.

Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Gus Dur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Gus Dur merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Ia juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang dilihatnya.

Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Gus Dur memilih batal belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.

Gus Dur meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah dan surat kabar artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Gus Dur tinggal bersama keluarganya.

Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es.

Pada tahun 1974 Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian dia menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.

Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asy’ari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gus Dur mengajar subjek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas.

Awal Keterlibatan di NU

Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Namun, dia akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga.

Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasihat Agama, ia memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat itu, dia juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, ia berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan empat partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, ia selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jenderal Benny Moerdani.

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasihat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan.

Pada 6 Mei 1982, dia mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusional. Dengan imbauan Gus Dur, Idham membatalkan kemundurannya dan Gus Dur bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.

Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. 

Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.

Kematian Gus Dur

Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga sering kali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya.

Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama.

Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Menurut Salahuddin Wahid, adiknya, Gus Dur wafat akibat sumbatan pada arteri. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. (*)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT