BERITAALTERNATIF.COM – KH. Ahmad Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus adalah seorang kiai yang berasal dari Rembang, Jawa Tengah. Beliau dilahirkan pada 10 Agustus 1944 di lingkungan keluarga santri.
Ayah beliau bernama KH. Bisri Mustofa dan Ibu beliau bernama Marafah Cholil. Gus Mus dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang patriotis, intelek, progresif sekaligus penuh kasih sayang.
Kakeknya bernama KH. Zaenal Mustafa merupakan seorang saudagar ternama yang dikenal sangat menyayangi ulama.
Ayah Gus Mus, yaitu KH. Bisri Mustafa, sangat memperhatikan pendidikan untuk anak-anaknya, salah satunya pendidikan Gus Mus. Meskipun ayahnya memiliki sifat yang otoriter, tetapi beliau selalu mendukung apa saja yang sekiranya bisa membuat berkembang keilmuan anaknya sesuai dengan minatnya masing-masing.
KH. Bisri Mustafa pada tahun 1955 telah mendirikan pondok pesantren yang beliau beri nama Raudlatut Thalibin.
Setelah kakaknya, yaitu KH. Cholil Bisri, meninggal dunia, beliau sendirilah yang memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin sampai sekarang dengan dibantu putra KH. Cholil Bisri. Pondok ini terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang.
Gus Mus dididik oleh ayahnya dengan sangat keras, apalagi jika menyangkut soal agama. Pendidikan pertama yang telah beliau dapatkan langsung dari ayahnya yaitu pendidikan tentang prinsip-prinsip agama Islam.
Secara pendidikan yang beliau dapatkan dengan jalan ilmu yang terstruktur atau dalam bangku sekolah, bisa dibilang kacau. Setelah tamat sekolah dasar pada tahun 1956, ia melanjutkan ke jenjang sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, beliau keluar, lalu masuk pesantren Lirboyo, Kediri, selama dua tahun.
Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta di bawah asuhan KH. Ali Maksum. Gus Mus di Krapyak kurang lebih selama hampir tiga tahun.
Lalu dia kembali ke Rembang untuk mengaji langsung di pesantren asuhan ayahnya sendiri. Kemudian pada tahun 1964, ia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat pada tahun 1970. Gus Mus satu angkatan dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Di luar kegiatan rutinitas sebagai kiai yang mengajar para santri-santri di pesantren dan berdakwah di masyarakat, Gus Mus juga merupakan tokoh budayawan, pelukis dan penulis. Melalui melukis dan menulis, dia berdakwah mengajak orang-orang untuk selalu berbuat baik. Gus Mus telah menulis belasan buku fiksi dan non fiksi.
Membaca sajak saat berdakwah, bukan hal baru di kalangan pesantren. Tetapi, membaca sajak sebagaimana dilakukan Gus Mus dengan sajak-sajak mbeling atau ‘puisi balsem’, memang suatu hal yang baru.
Sajak-sajak Gus Mus menjadi medium baginya untuk mengomunikasikan berbagai situasi sosial yang aktual dengan para santri/asudiens-nya.
Hal ini telah membangkitkan keingintahuan santri dan para audiens, terbukalah dialog, sehingga terbuka harapan akan meningkatnya pemahaman yang lebih luas tentang diri sendiri, sesama, situasi lingkungan dan agama.
Gus Mus sejak remaja mempunyai kebiasaan menulis sajak dan saling berlomba dengan kakaknya sendiri yaitu KH. M Cholil Bisri untuk bisa dipublikasikan di media.
Tulisanya sudah banyak dimuat di media-media termasuk media Kompas. Ia sempat menghindari bayang-bayang nama ayahnya ketika mengirim tulisan diberi nama M. Ustov Abi Sri, tidak menggunakan namanya yang asli.
Gus Dur pula telah membuat Gus Mus menjadi terkenal lewat puisi-puisinya. Pada tahun 1987, ketika Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara Malam Palestina. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah.
Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Gus Mus, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca puisi karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya.
Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair dan telah menjadikan Gus Mus bintang baru dalam kepenyairan Indonesia. Ia juga satu-satunya penyair Indonesia yang menguasai sastra Arab.
Kini puisi-puisinya terpampang di ruangan kampus Universitas Hambrug (Jerman). Tulisan Gus Mus juga tersebar di beberapa majalah antara lain di Intisari, Horison, Kompas, Tempo, Detak, Editor, Forum, Humor, DR, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Jawa Pos, Bali Pos, Duta masyarakat (Baru), Pelita, Panji Masyarakat, Ulumul Qur’an, Ummat, Amanah, Aula, Mayara. Pada majalah Cahaya Sufi (Jakarta), MataAir (Jakarta), MataAir (Yogyakarta), Almihrab (Semarang) Gus Mus duduk sebagai Penasehat.
Ketika Gus Mus belajar di Mesir, Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membuat majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Gus Mus dimintai untuk mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Gus Mus bisa melukis, maka, ia diminta membuat lukisan, sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Gus Mus hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku.
Dedikasi Gus Mus di dunia puisi disambut oleh seniman-seniman lain. Sebuah group band anak muda pernah menciptakan lagu untuk puisi Gus Mus.
Bersama Idris Sardi, Gus Mus menyuarakan keprihatinannya tentang persatuan bangsa dalam pagelaran karya musik dan puisi bertajuk “Satu Rasa Menyentuhkan Kasih Sayang” di Gedung Kesenian Jakarta, 22 Maret 2006 (Kompas, 23 Maret 2006: 15).
Tahun 2008, Gus Mus berkenan menulis lirik lagu di antaranya berisi parodi tentang bagaimana manusia mempertaruhkan ‘kaki’, ‘kepala’, bahkan ‘dada’ demi sekedar ‘kesenangan (kekuasaan) mempermainkan bola’—untuk lagu Sawung Jabo (belum dipublikasikan).
Karena dedikasinya di bidang sastra, Gus Mus banyak menerima undangan dari berbagai negara. Bersama Sutardji Colzoum bachri, Taufiq Ismail, Abdul hadi WM, Leon Agusta, Gus Mus menghadiri perhelatan puisi di Baghdad (Iraq, 1989).
Masyarakat dan mahasiswa Indonesia menunggu dan menyambutnya di Mesir, Jerman, Belanda, Perancis, Jepang, Spanyol, Kuwait, Saudi Arabia (2000).
Fakultas Sastra Universitas Hamburg, mengundang Gus Mus untuk sebuah seminar dan pembacaan puisi (2000). Universitas Malaya (Malaysia) mengundangnya untuk seminar Seni dan Islam.
Sebagai cerpenis, Gus Mus menerima penghargaan “Anugerah Sastra Asia” dari Majelis Sastra (Mastera,Malaysia, 2005).
Kepedulian Gus Mus yang tercurah media massa melahirkan konsep ‘Mata Air’. Konsep ini mewadahi mimpinya tentang media alternatif yang berupaya memberikan informasi yang lebih jernih, yang pada awalnya merupakan respons atas keprihatinannya terhadap kebebasan pers yang sangat tidak terkendali (setelah Orde Baru tumbang, 1998).
Meski belum sepenuhnya hadir seperti yang diharapkan Gus Mus, konsep ‘Mata Air’ ini akhirnya terwujud dengan diluncurkannya situs Mata Air, gubuk maya Gus Mus di www.gusmus.net (2005), kemudian disusul penerbitan perdana majalah Mata Air Jakarta (2007) dan Mata Air Yogyakarta (2007). ‘Mata Air’ mempunyai motto: “Menyembah Yang Maha Esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama”.
Masyarakat juga menikmati inovasi lain sebagai buah dari tradisi menulis keluarga Gus Mus ini. Pada pernikahan keempat putrinya, untuk masing-masing Gus Mus menerbitkan sebuah buku yang dibagikan sebagai cindera mata bagi para tetamu.
Tiga di antaranya Kado pengantin (kumpulan nasihat untuk pengantin yang ditulis tokoh kiai dan cendekiawan, 1997), Bingkisan Pengantin (antologi puisi tokoh penyair, 2002), Cerita-Cerita Pengantin (kumpulan cerpen yang ditulis para tokoh cerpenis, 2004).
Gus Mus telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu, Gus Mus juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990). (*)
Sumber: Artikel Dawuhguru.com berjudul Biografi Lengkap KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) Beserta Ajarannya