beritaalternatif.com – Kondisi obyek wisata religi dan umum di Tenggarong tak jauh berbeda. Haidir mencontohkan Waduk Panji yang “telah mati suri”, yang suasananya bahkan tidak berbeda dengan kolam peninggalan perusahaan tambang batu bara.
“Harusnya ada sesuatu yang lebih dari kolam tambang. Ada kreasi seni, secara manual membuat topi ulap doyo, gasing, dan lain-lain yang khas Kukar. Tapi harus dipadukan dengan sesuatu yang modern,” sarannya.
Dia menjelaskan, pengelolaan pariwisata yang baik di Tenggarong akan memunculkan daya tarik bagi para pengunjung dari berbagai daerah di Kaltim.
Sejatinya, sektor pariwisata juga dapat dikembangkan di kecamatan lain di Kukar. Namun, infrastruktur di Tenggarong jauh lebih memadai, sehingga sangat layak bagi pemerintah daerah mengembangkan sektor pariwisata.
Ia menyayangkan bila obyek-obyek wisata tersebut tidak dikelola dengan baik. Padahal, pemerintah daerah telah menggelontorkan dana yang relatif besar untuk membangun dan mengelola sejumlah obyek wisata di Tenggarong.
“Kalau tidak dimaksimalkan, maka buang uang saja. Harus ada penataan dari pemerintah sehingga ada output yang bisa diperoleh dari situ,” usulnya.
Haidir juga menyinggung Museum Mulawarman yang belum dikelola secara maksimal. Bila pemerintah daerah ingin meningkatkan jumlah pengunjung di museum tersebut, maka diperlukan informasi yang menjelaskan detail fasilitas-fasilitas di Museum Mulawarman.
“Jadi, di Museum Mulawarman itu perlu dibuatkan peta. Biar orang mudah ketika mau berkunjung ke sana. Walaupun museumnya enggak luas, tapi orang tetap butuh itu,” katanya.
Dengan begitu, ketika ada warga yang hendak berdagang di areal obyek wisata tersebut, mereka bisa menyetor retribusi untuk menambah pendapatan Kukar.
Penjualan tiket pun bisa menjadi sumber pendapatan daerah. Saat para pengunjung memasuki areal Museum Mulawarman, mereka mesti membeli tiket. Sehingga pembelian tiket tidak hanya untuk memasuki museum tersebut.
Setelah memasuki areal museum, pengunjung diberikan kebebasan untuk berbelanja, berziarah, dan menikmati semua fasilitas yang tersedia di Museum Mulawarman.
Pengelola juga perlu menyediakan barang-barang bersejarah, serta kerajinan lokal seperti ulap doyo, kopiah, rompi jampok, manik-manik, mandau, pakaian berbulu merak, dan kayu pasak bumi.
Ia menyebutkan, kuliner-kuliner khas Kutai, Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Papua, dan lainnya juga perlu disuguhkan di obyek-obyek wisata di Tenggarong.
“Sehingga tempat-tempat wisata itu semarak. Orang kan ngejar semaraknya. Ngejar suasananya. Kalau enggak ada suasana yang tercipta, gersang, kumuh, dan lain sebagainya, tempat wisata itu enggak akan bisa berkembang,” tegasnya.
Dibutuhkan Dana Besar
Dalam mengembangkan pariwisata, lanjut Haidir, pemerintah daerah memang akan mengeluarkan dana yang relatif besar. Namun, bila dikelola dengan baik, maka obyek wisata akan membawa multiplayer effect bagi perekonomian daerah.
Bila orang-orang berkunjung ke Tenggarong, maka efeknya akan sangat besar bagi perekonomian. Setidaknya mereka akan membeli makanan, rokok, atau kebutuhan lain. Sehingga hal ini akan menambah pendapatan masyarakat Tenggarong.
Hotel dan tempat penginapan juga akan diisi oleh para wisatawan. Jasa transportasi di Tenggarong pun akan digunakan orang-orang yang datang dari luar daerah.
“Bahkan toilet umum pun bisa memberikan pemasukan untuk daerah,” ucapnya.
Dengan begitu, pendapatan dari sektor pariwisata dapat dikelola lebih lanjut untuk mengembangkan obyek-obyek wisata di Tenggarong.
“Banyak sekali tempat wisata yang bisa ditata dan dikelola dengan baik di Tenggarong,” katanya.
Ia menyebutkan, kebiasaan pengunjung di Pulau Kumala yang menggantung gembok di jembatan itu pun bisa terus dilakukan untuk menarik para pengunjung di pulau tersebut.
“Tidak usaha dikaitkan dengan persoalan fikih dan sebagainya. Itu kan hanya kegenitan pikiran kita saja yang tidak bisa memahami bahwa realitas kehidupan kita ini beragam,” jelasnya.
Dalam rangka mengembangkan Pulau Kumala, pengelola bisa menampilkan musik tingkilan, kesenian gantar, dan belian yang dibungkus dengan seni.
Bila dikemas dengan kesenian, maka akan menarik banyak pengunjung. Negara-negara Islam pun mengemas budaya lokal mereka dengan kesenian.
“Sehingga tidak ada anggapan itu melanggar hukum agama Islam,” ujarnya.
Saat ini, kesenian daerah seperti tingkilan dan belian “mati suri”. Belian hanya ditampilkan sebagai mitologi yang bersifat ideologis, sehingga menghilangkan aspek kesenian di dalamnya.
Jika diarahkan pada aspek kesenian, belian akan mengubah pandangan masyarakat yang bersifat mitologis terhadap belian.
“Mereka pun akhirnya akan mengoreksi cara pandangnya terhadap kesenian belian itu,” ucapnya.
Haidir juga menyarankan agar pemerintah mengembangkan agrowisata di Pulau Kumala. Pengelolanya dapat menanam buah-buahan lokal seperti durian, ketapi, dan dopar.
“Kalau seribu pohon saja, saya yakin bisa ditanam di Pulau Kumala,” jelasnya.
Pemkab Kukar melalui Dinas Pariwisata bertugas untuk menganggarkan anggaran untuk pengembangan pariwisata di Tenggarong.
Anggaran itu antara lain dibutuhkan untuk memperbaiki atau menambah fasilitas pendukung obyek wisata dan pembentukan tim kerja yang akan mengembangkan pariwisata.
Manajemen terhadap obyek wisata diserahkan kepada Pemkab Kukar. Kemudian, organisasi masyarakat, organisasi pemuda, dan aparat kecamatan atau kelurahan dapat dilibatkan untuk mengelola pariwisata di Tenggarong.
Mereka dapat mendaftarkan diri kepada Dinas Pariwisata Kukar. Lalu, pemerintah menyeleksi mereka yang layak mengelola obyek wisata tersebut.
“Mana yang paling unggul, itu yang ditetapkan sebagai pengelola pariwisata di Tenggarong,” jelas Haidir.
Dampak Pariwisata terhadap Perekonomian
Sektor pariwisata dapat mengerek pertumbuhan ekonomi apabila dikelola dengan baik. Tak sedikit provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki sumber pendapatan utama dari sektor tersebut.
Haidir mencontohkan Bali dan Berau. Pendapatan dua daerah tersebut relatif besar dari sektor pariwisata karena pemerintah melakukan promosi, menata obyek wisata, dan menambah obyek-obyeknya sehingga dapat menarik banyak pengunjung.
Semakin banyak orang yang berkunjung, sektor pariwisata akan semakin banyak mendatangkan keuntungan. Sektor ini juga memiliki multiplayer effect.
Ketika banyak orang yang berkunjung ke Tenggarong, perdagangan akan tumbuh dan produk-produk yang dijual pedagang akan dibeli oleh para wisatawan.
“Rata-rata orang yang berwisata itu pasti orang yang memiliki kelebihan uang. Dia punya kelebihan dana untuk menikmati rekreasi,” jelasnya.
Pemerintah daerah bisa meraup pendapatan dari wisatawan saat memasuki obyek wisata. Sementara masyarakat menerima imbas positif dari kunjungan tersebut.
Wisatawan akan membeli makanan, barang-barang lokal, dan membayar ongkos taksi atau ojek. “Itu jadi pendapatan yang bisa mempengaruhi ekonomi masyarakat Tenggarong,” ucapnya.
Hal ini bisa didapatkan apabila Pemkab Kukar mampu mengelola sektor pariwisata sehingga dapat menarik banyak pengunjung.
Obyek wisata yang menarik dapat dibentuk melalui dua cara: pengelolaan langsung obyek wisata dan promosi yang masif sehingga membuat orang-orang lokal dan luar daerah hingga mancanegara mau berkunjung ke Tenggarong.
“Kalau kita bangun bagus-bagus tanpa promosi, itu percuma. Kalaupun orang tahu, itu akan lambat. Tapi dengan promosi, barang buruk pun bisa menjadi bagus,” katanya.
Jika pariwisata sudah diminati oleh banyak pengunjung, maka pendapatan dari sektor tersebut akan mengalahkan pertambangan. Pasalnya, bila bahan-bahan tambang sudah habis, sektor ini tidak akan bisa lagi diandalkan untuk menambah pendapatan daerah.
Sementara sektor pariwisata, jika dijaga, dikelola, diperbarui, dan dipromosikan dengan baik, maka sektor ini akan terus memberikan dampak positif bagi daerah.
“Semakin bagus pengelolaannya dan semakin tinggi promosinya, maka dia akan terus punya daya tarik,” ujarnya.
Ia mencontohkan masyarakat di sekitar makam Bung Karno di Kota Blitar, Jawa Timur. Mereka mendapatkan kemakmuran dari para pengunjung yang hilir mudik di makam tersebut.
Begitu juga dengan masyarakat Bali. Kesejahteraan masyarakat meningkat karena sektor pariwisata. Mereka menerima pendapatan dari pekerjaan sebagai penerjemah bahasa, pemandu, dan pedagang.
Warga di sekitar Borobudur pun mendapatkan kesejahteraan karena banyak pengunjung di obyek wisata tersebut.
“Ini semua tergantung pemerintah daerah menyiapkan obyek wisata itu sebaik mungkin dan bagaimana memasarkannya secara baik,” sebutnya.
Promosi sektor pariwisata di era digital tergolong mudah. Media sosial dapat menjangkau penggunanya di seluruh dunia.
Hal ini berbeda dengan sebelum era digital. Pemerintah daerah harus bekerja keras untuk memperkenalkan obyek wisata di Kukar. Dalam beberapa kesempatan, mereka juga harus mengikuti berbagai kegiatan promosi pariwisata di negara-negara lain.
“Sekarang tinggal buat videonya dan share ke media sosial, seluruh dunia akan menontonnya,” jelas Haidir. (*)
Penulis: Ufqil Mubin