Jakarta, beritaalternatif.com – Harga batu bara melesat pada perdagangan pekan lalu. Harga si batu hitam membukukan kenaikan selama dua pekan beruntun.
Akhir pekan lalu, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup US$ 180,1/ton. Naik 0,56 persen dari posisi hari sebelumnya.
Kenaikan tersebut juga membuat harga batu bara terus naik selama sembilan hari perdagangan beruntun. Dalam sembilan hari itu, harga melejit 24,55 persen.
Secara mingguan, harga batu bara naik 10,32 persen point-to-point. Pekan sebelumnya, harga naik 7,76 persen.
Pemulihan ekonomi usai pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat permintaan batu bara menanjak. International Energy Agency (IEA) memperkirakan pembangkitan listrik dari batu bara tahun ini mencapai 10,35 Terawatt Hours (TWh), naik 9 persen dari 2020.
“Peningkatan permintaan melebihi pasokan yang mampu disediakan sumber energi rendah karbon,” sebut laporan IEA.
Secara keseluruhan, permintaan batu bara naik 6 persen pada 2021. Ini memperhitungkan pembangkit listrik dan kebutuhan industri lainnya seperti semen.
Jika tren ini berlanjut, maka permintaan batu bara bisa menembus rekor tertinggi sepanjang masa pada 2022.
“Sebetulnya, ini adalah sinyal yang mengkhawatirkan karena melenceng dari upaya menuju nol emisi,” tegas Fatih Biroll, Direktur Eksekutif IEA, seperti dikutip dari Reuters.
China dan India menjadi negara dengan peningkatan permintaan batu bara tertinggi. Tahun ini, permintaan batu bara untuk pembangkit listrik di China diperkirakan naik 9 persen, sedangkan India melesat 12 persen.
Harga komoditas batu bara acuan terpantau cerah bergairah pada pekan kemarin. Bahkan kenaikan harga ‘si batu hitam legam’ tersebut lebih baik dari pekan sebelumnya.
Sepanjang pekan kemarin, harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) meroket hingga 10,32 persen ke level US$ 180,1/ton secara point-to-point.
Kenaikan harga gas menjadi latar belakang lonjakan harga minyak. Harga kontrak gas untuk pembangkit listrik di pasar Belanda, yang menjadi acuan Eropa per Jumat (17/12/2021) lalu berada di harga EUR 145 per MWh. Semakin dekat dengan rekor tertinggi sepanjang sejarah yang tercipta pada Oktober lalu.
Kebutuhan gas yang tinggi didorong oleh kenaikan penggunaan listrik untuk penghangat ruangan saat musim dingin. Pada saat yang sama, pasokan gas alam dari Rusia masih terhambat.
Gazprom, perusahaan migas asal Negeri Beruang Merah, masih menunggu izin untuk mengisi pipa Nord Stream yang melalui Ukraina dan Belarusia. Kini pasokan gas di pipa tersebut baru terisi sepertiga dari total kapasitas yang tersedia, 31,4 juta kubik meter dari 89 juta kubik meter.
Pekan sebelumnya, parlemen Uni Eropa meminta penyelidikan terhadap Gazprom. Perusahaan ini dituding menjadi biang keladi kenaikan harga gas di Eropa karena ditengarai ada manipulasi.
Saat pasokan gas terbatas, pembangkit listrik kembali beralih ke batu bara sebagai sumber energi primer. Permintaan batu bara kembali meningkat. Jadi, tidak heran harganya melesat.
Selain dari sentimen kenaikan permintaan pembangkit listrik batu bara di Eropa yang masih terjadi hingga kini, kenaikan harga batu bara dunia pada pekan kemarin juga didorong oleh peningkatan produksi batu bara di China.
Pada November 2021, produksi batu bara China tercatat 370,84 juta ton. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah. Rekor sebelumnya terjadi pada Oktober 2021 dengan produksi 357,09 juta ton.
Dalam 11 bulan pertama 2011, produksi batu bara Negeri Tirai Bambu adalah 3,67 miliar ton. Tumbuh 4,2 persen dari periode yang sama tahun lalu.
China adalah produsen sekaligus konsumen batu bara terbesar di dunia. Jadi, apa yang terjadi China akan sangat mempengaruhi pembentukan harga.
Peningkatan produksi di China menandakan pasokan batu bara semakin memadai. Inilah yang menjadi salah satu pendorong kenaikan harga batu bara dunia pada pekan kemarin. (cnbcindonesia/ln)