Oleh: Muqsith An Naafi*
Keadilan merupakan suatu kondisi yang di mana bersifat adil terhadap suatu hal perbuatan maupun perlakuan terhadap hal tertentu. Perwujudan keadilan sendiri telah banyak mengalami perdebatan sejak berkembangnya teori-teori filsafat manusia.
Keadilan menjadi barang yang cukup langka saat ini di Indonesia karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang dibenarkan namun secara etika, moral, agama dan juga peraturan yang berlaku tidaklah benar. Tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di berbagai negara di dunia pun masih banyak warga negaranya yang belum mendapat keadilan secara utuh. Seperti halnya kejahatan genosida yang terjadi kepada etnik Uighur di China dan etnik Rohingnya di Myanmar.
Adapun macam-macam bentuk keadilan yang ada di Indonesia namun yang sangat banyak terjadi menurut pendapat Aristoteles, yaitu: pertama, keadilan komutatif adalah perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang sudah dilakukan.
Kedua, keadilan distributif adalah perlakuan kepada seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang sudah dilakukan. Ketiga, keadilan kodrat alam adalah perlakuan kepada seseorang yang sesuai dengan hukum alam.
Keempat, keadilan konvensional adalah keadilan yang ditetapkan lewat sebuah kekuasaan khusus. Kelima, keadilan perbaikan adalah keadilan yang dilakukan kepada orang yang mencemarkan nama baik orang lain.
Tanggal 17 Juli 2022 merupakan Hari Peringatan Keadilan Internasional atau World Day for International Justice. Ini merupakan momentum untuk menyuarakan pentingnya penegakan keadilan, dan komitmen pemerintah atas penegakan keadilan yang menyeluruh.
Peringatan tersebut diangkat dari Statuta Roma yang merupakan perjanjian internasional, ditandatangani oleh konferensi diplomatik internasional di Roma, Italia pada 17 Juli 1998. Statuta Roma tersebut fokus terhadap peradilan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Kehadiran statuta tersebut dapat memberikan suatu dampak yang sangat besar dalam upaya penegakan dan penindakan kejahatan yang lebih optimal, sehingga dapat memberikan keadilan hakiki, dan memberikan jaminan kepastian hukum serta sebagai pilihan terakhir dalam upaya dalam pengadilan (litigasi).
Sejatinya, setiap Warga Negara Indonesia (WNI) bahkan warga dunia penting mengetahui sejarah Hari Keadilan Internasional, sebagai bentuk manifestasi “jasmerah” yang berarti, jangan sekali-kali melupakan sejarah, sehingga secara tidak langsung akan merasakan hakikat serta perjuangan untuk penegakan keadilan tersebut.
Pada saat ini, Statuta Roma telah diratifikasi oleh 123 negara dan Indonesia tidak termasuk ke dalamnya. Sebagian besar pihak kerap menggaungkan urgensi ratifikasi konvensi tersebut, namun dalam prosesnya kerap kali terganjal karena kepentingan politik, hukum, dan ketakutan. Terlepas dari permasalahan ratifikasi tersebut, sejatinya Indonesia menilai keadilan ialah hak mutlak yang harus dijamin dan dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia, sesuai pada sila ke-lima pancasila.
Pada faktanya, yang terjadi saat ini keadilan di Indonesia masih sangat sukar untuk didapatkan oleh warga negara Indonesia. Seperti halnya pelaku dari kasus-kasus pencurian atau kejahatan lainnya yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dapat berkeliaran bebas menghirup udara segar dan juga karena kasus-kasus tersebut dianggap sering terjadi dan menjadi hal yang umum terjadi di masyarakat, karenanya untuk penindakannya pun terbilang cukup lambat dan terkesan dikesampingkan oleh aparat penegak hukum, padahal bagi setiap orang yang merasakan kejahatan tersebut sangatlah merugikan.
Dalam peringatan tersebut, terdapat nilai keadilan yang harus ditegakkan, dan ditanamkan di setiap diri manusia. Penting bagi kita mengetahui makna tersebut, karena pada hakikatnya setiap individu ingin menerima perlakuan yang sesuai dan adil. Sehingga setiap individu juga harus menanamkan nilai keadilan tersebut jika ingin menerima perilaku yang sama di mana pun kita berada.
Tantangan dalam penegakan keadilan khususnya di dalam peradilan maupun di luar peradilan yaitu, tindak penyuapan dan masyarakat yang tidak menjunjung tinggi nilai keadilan, serta merasa superior, sehingga menimbulkan istilah hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
Melihat banyak fenomena saat ini, tentu kita tidak menutup mata untuk melihat bahwa keadilan belum tegak secara maksimal bagi setiap orang. Namun, kita harus melihat permasalahan dari berbagai sisi, dan memahami setiap manusia pada dasarnya baik, namun jika melakukan kejahatan maka tindakannya tetap harus diadili, sehingga siapa pun tidak memandang pangkat dan jabatan. Semua kalangan dapat menerima hukuman yang sama di mata hukum (equality before the law). (Staf Kebijakan Publik KAMMI)