BERITAALTERNATIF.COM – George Jordac dalam bukunya berjudul Suara Keadilan, Sosok Agung Ali bin Abi Thalib R.A menjelaskan bahwa seluruh kejadian yang terpaksa dialami oleh Husain menunjukkan bahwa dari sudut pandang moral ia menempati keagungan yang tertinggi dan semua yang dilintasi Yazid menjadi bukti atas fakta bahwa dia berada pada kekejian yang terendah. Tragedi Karbala merupakan bukti yang cukup atasnya. Peristiwa itu berbicara sangat banyak tentang kejahatan Yazid yang sesungguhnya.
Yazid seorang pemabuk. Ia terbiasa mengenakan baju sutra dan bermain genderang.
Husain bin Ali dan Yazid bin Muawiyah adalah dua orang yang datang ke dunia sebagai contoh sempurna bagi kualitas dua keluarga, yaitu keluarga Hasyim dan Umayyah. Husain adalah Hasyim yang sempurna di zamannya sebagaimana Yazid adalah Abdusy-Syam. Apabila kualitas-kualitas khusus dari seseorang dapat menjadi gambaran yang benar tentang lingkungan di mana ia dibesarkan maka tak ada keraguan tentang kenyataan bahwa Husain dan Yazid merupakan model yang benar dari keluarga mereka. Husain mewakili kaum Hasyimi dan Yazid mewakili kaum Umayyah. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Husain contoh dari kebajikan dan keutamaan Hasyimi sedang Yazid bahkan tidak memiliki sedikit pun kualitas-kualitas baik Bani Umayyah.
Husain adalah putra dari putri Nabi Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. Ketika ia lahir, Nabi meletakkannya di pangkuan beliau dan mengucapkan azan di telinganya untuk menanamkan jiwa beliau sendiri ke dalam jiwa cucu beliau, membuatnya menjadi bagian dari wujud beliau sendiri dan memberi kesan kepadanya bahwa ia dilahirkan untuk melaksanakan suatu misi khusus dan tujuan hidup itu sudah ditentukan baginya.
Pada hari ketujuh kelahirannya, Nabi berkata dengan gembira, “Saya telah menamai anak saya ini Husain.”
Anak ini tumbuh hari demi hari dalam kondisi sedemikian rupa sehingga dalam dirinya terdapat jiwa kakeknya, detak jantung ayahnya dan kesan kenabian yang mendalam pada pikirannya. Seluruh kebaikan dan keutamaan para pendahulunya terpadu dalam dirinya. Ketika ia terus tumbuh, sifat-sifat baik dan kebajikan ini menjadi semakin nyata.
Penyaluran sifat-sifat para pendahulu kepada anak-anak mereka merupakan bagian hukum alam yang tidak tersangkal. Sebagaimana anak-anak mewarisi warna kulit, wajah, dan kualitas fisik dan sebagainya dari orang-orang tua mereka, mereka juga mewarisi kebajikan-kebajikan khas para pendahulunya.
Husain berada dalam pengawasan kakeknya sampai usia tujuh tahun. Sepeninggal Nabi, para sahabat beliau terus mengikuti beliau dalam hal mencintai Husain. Suatu sebab khusus atas perlakuan cinta kepadanya adalah kemiripan wajahnya dengan wajah Nabi. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan orang-orang yang pernah melihat Nabi dan Husain.
Nama besar para leluhur serta prestasinya mempunyai hubungan erat dengan perkembangan anak-anak mereka dan membuat masa depannya menjadi cerah. Ketika si anak mendengar prestasi nenek moyangnya sejak dalam usianya yang sangat dini maka gambaran nenek moyangnya tergambar dalam pikirannya, dan karenanya ia memperoleh sifat-sifat para pendahulunya. Seorang anak secara alami mewarisi sifat-sifat pendahulunya, tetapi hidupnya bersama mereka memberikan pengaruh besar kepadanya.
Selain melihat Nabi Muhammad, Husain pun melihat ayahnya yang mengagumkan. Ia melihat ketekunan, ketabahan, keadilan, simpati dan sikap penolongnya kepada orang tertindas dan kemarahannya kepada penindas maupun perlakuannya yang baik dan ramah kepada musuh. Ia mengikuti ayahnya ketika bertempur di perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, dan melihat keberaniannya yang menakjubkan. Ia mempelajari cara-caranya berjuang demi kebaikan, dan mengetahui darinya bagaimana berkorban untuk melindungi para tertindas dan tak berdaya dari tirani.
Ibunda Husein tercinta adalah wanita yang sangat baik dan lembut hati. Karena kelembutan hatinya ini, dia selalu berduka melihat kesukaran yang menimpa ayahnya, Nabi, dan para sahabat beliau, akibat perbuatan kaum Quraisy. Ia merasa amat-amat sedih pada hari Perang Uhud ketika banyak orang Muslim terbunuh oleh kaum musyrik Quraisy dan mayatnya dipotong-potong. Ia sangat sedih melihat ayahnya menangisi Hamzah, paman beliau.
Diriwayatkan bahwa sepeninggal Nabi, pada suatu hari Anas bin Malik mengunjungi Fathimah dan meminta agar dia mengatasi rasa dukanya demi kesehatannya sendiri. Sebagai jawabannya ia hanya berkata, “Wahai Anas! Bagaimana Anda tahan mempercayakan tubuh suci Nabi kepada kuburan?”
Lalu, ia menangis tersedu-sedu dan Anas pun menangis. Anas pulang dengan hati yang tercabik-cabik oleh kesedihan Fathimah.
Husain biasa melihat kesedihan adik perempuannya Zainab yang terlanda kesedihan dan ia amat sedih atasnya.
Husain melihat ibu dan adiknya lalu membayangkan penderitaan dan kesukaran yang disediakan waktu bagi dia sendiri, saudaranya dan keturunan mereka. Ia merasa bahwa ia dan adiknya segera akan menangisi kematian ibu mereka, lalu berkabung atas sakitnya ayah mereka, dan anak cucunya akan menghadapi kesukaran-kesukaran besar.
Beberapa hari kemudian ia mendengar ibunya menasihati Zainab, “Jangan biarkan Hasan dan Husein, peliharalah mereka dengan sungguh-sungguh. Sepeninggal saya, berperanlah sebagai ibu bagi mereka.”
Ibu Husain menghembuskan nafas terakhir tiga bulan setelah wafatnya Nabi. Husain berdiri di sampingnya dan mengucapkan selamat berpisah kepadanya. Sekali-sekali ia melihat adiknya terpanah kesedihan. Lalu ia melihat ayah dan kakaknya yang menangis dengan sedih atas wafatnya Fathimah.
Husain melewatkan masa kanak-kanaknya dalam suasana duka cita dan sedih. Ketika ia tumbuh, ia melihat orang-orang yang menentang ayahnya, menghalangi jalan ayah yang sangat ia kagumi. Sikap Ummul Mukminin Aisyah serta para pendukungnya makin menyedihkannya. Ia melihat pengkhianatan yang dilakukan Muawiyah, Amr bin Ash dan kaki tangannya terhadap ayahnya. Hal ini semakin menambah kesedihannya, dan ia melihat bahwa apabila kejahatan ini tidak ditekan dengan keberanian dan kekuatan yang diusahakan ayahnya maka kehidupan tidak akan berarti apa-apa.
Hari yang paling menyedihkan adalah ketika tangan seorang penjahat dan pendosa melukai dahi ayah yang amat masyhur ini ketika ia sedang salat di masjid Kufah. Luka itu menyebabkan Imam Ali menghembuskan nafas terakhir dua hari kemudian. Maka tersingkirlah penghalang jalan bagi para penindas dan tiran untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Beberapa waktu kemudian kakaknya syahid karena diracun. Dan kesedihan dan keheranan ketika ia melihat Bani Umayyah dan para pendukungnya memanah keranda mayat kakaknya. Ia juga mendengar bahwa Muawiyah memerintah khatib mencerca ayahnya dan kakaknya dari mimbar. Sebenarnya ia sendiri mendengar Muawiyah melakukannya. Singkatnya, penyebab-penyebab kesedihan selalu muncul silih berganti. Itulah peristiwa-peristiwa yang mencapai puncaknya pada tragedi Karbala—tempat terjadinya kejahatan yang paling keji yang dilakukan atas kerja sama tentara Yazid yang nista dan para perwiranya yang keji. Mereka melakukan kekejaman perampasan terhadap Husain, sekelompok kecil sahabat dan anggota keluarganya yang membuat orang gemetar membayangkannya.
Begitulah Husain dibesarkan dari sisi pandang warisan dan pendidikan, dan inilah yang menyebabkan ia mengalami kesedihan sejak masa kelahirannya. Ketika ia melihat penderitaan kakek, ayah dan ibunya, kesedihan dan rasa duka terpatri pada sifat dasarnya.
Karena sifat-sifat yang diwarisi dan didapat Husain inilah maka ia sering mengatakan, “Kesabaran adalah tangga, ketulusan adalah kejantanan, kesombongan adalah ketololan dan kelemahan, pergaulan dengan orang jahat membuat orang menjadi ragu dan goyah.”
“Berusahalah mendapatkan yang pantas bagi Anda. Hidup bersama para penindas adalah hina dan nista. Kebenaran adalah kehormatan dan kebatilan adalah ketakberdayaan.”
Siapakah Yazid?
Yazid mewarisi seluruh sifat buruk keluarga Umayyah. Watak, keyakinan, cara berpikir dan caranya memandang berbagai hal sama dengan Bani Umayyah pada umumnya. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa semua sifat buruk keluarganya telah berkumpul dalam dirinya, sementara ia sama sekali tidak memiliki sifat baik para pendahulunya. Selain kejahatan yang ia warisi dari nenek moyangnya, dia pun mempunyai kecenderungan jahat dan sifat setan lainnya pula. Sebenarnya dia tidak memiliki kualitas lahiriah ayahnya yang dianggap sebagai kelebihannya walaupun hanya berupa alat untuk memperkuat kekuasaannya. Tidak ada orang di antara Bani Umayyah yang gila pesta pora seperti Yazid. Perilaku inilah yang membawa kematiannya. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari sambil menunggang kuda ia berusaha melewati kecepatan seekor monyet. Dalam perlombaan itu ia jatuh dari kuda dan mati. Orang-orang di zamannya menggambarkan Yazid dengan amat persis dan singkat, “Dia pemabuk. Dia biasa memakai baju sutra dan bermain gendang.”
Bila Husain menjadi model kebajikan dan kebaikan akhlak maka Yazid adalah contoh terburuk dari keburukan nenek moyangnya. Bila Husein bersifat simpatik kepada orang lain sebagaimana orang murah hati, Yazid tidak memiliki perasaan kemanusiaan dan betul-betul nista.
Yazid dibesarkan dalam keluarga yang menganggap Islam sebagai gerakan politik. Menurut Bani Umayyah kenabian Muhammad hanyalah suatu dalih untuk memperoleh kekuasaan dan wewenang, dan Islam berarti pengalihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke tangan Bani Hasyim. Ia menganggap rakyatnya sebagai tentara yang kewajibannya ialah menaati penguasa. Di matanya tujuan dari keberadaan warga negaranya ialah membayar pajak bumi dan pajak lainnya serta menambah kekayaan perbendaharaan yang akan dihabiskan menurut kehendak penguasa.
Karena Yazid dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga seperti itu maka tak aneh bahwa ia pun mengambil jalan yang ditempuh para pendahulunya dan anggota keluarganya yang lain di masa jahiliah dan setelah kedatangan Islam. Lagi pula ia tumbuh di rumah seorang ayah yang menghambur-hamburkan banyak uang baitul mal sesuka hatinya. Ketika kekayaan dan kebodohan bersatu, maka hasilnya tidak akan lain dari pesta pora dan pemborosan.
Karena itulah maka setiap orang bodoh yang memiliki kekayaan seperti Yazid menjadi pemabuk dan asyik hidup berpesta pora dan bermain dengan anjing. Segera setelah naik takhta ia mulai menghambur-hamburkan uang, menjalani kehidupan pesta pora dan mengumbar hawa nafsu. Ia memberi uang banyak kepada teman-teman, budak laki-laki dan perempuan, penyanyi, dan lain-lain. Ia memiliki banyak anjing yang selalu tidur di sampingnya, yang dipakaikan perhiasan emas dan perak, diberi berpakaian sutera, sedangkan orang-orang miskin yang dipaksa membayar pajak menderita kelaparan dan kesusahan. Dia hanya memerintah selama tiga setengah tahun, tetapi dalam waktu singkat itu ia mengumpulkan dalam dirinya semua kenistaan, keganjilan dan kekurangajaran yang merupakan produk politik Bani Umayyah.
Selain pesta pora dan kefoya-foyaan yang diwarisi dari nenek moyangnya, ia juga melakukan kejahatan yang amat keji lainnya. Pada tahun pertama pemerintahannya, ia membunuh Imam Husain dan para sahabatnya dan menawan anggota keluarganya. Pada tahun kedua pemerintahannya, ia menjarah Madinah tanpa sedikit pun mempedulikan kesucian kota itu. Ia membolehkan tentaranya bertindak semaunya terhadap penduduk kota selama tiga hari. Sebagai akibatnya, sebelas ribu orang mati termasuk tujuh ratus sahabat Nabi Muhammad dari kalangan Muhajirin maupun Anshar dan memperkosa lebih dari seribu perawan.
Sesuai dengan watak alami Imam Husain, ia harus berjuang melawan kezaliman dan penindasan mengikuti teladan kakek dan ayahnya. Ia biasa berkata, “Hidup dengan penindas adalah suatu kehinaan dan aib.” Sebaliknya Yazid selalu memberi kehormatan kepada orang-orang jahat dan kejam dan menghadiahkan kepada mereka hadiah-hadiah besar karena melakukan kejahatan keji. Ia juga menyuruh orang lain menghormati mereka. Misalnya, pada suatu hari ketika ia sedang dalam suatu pesta dan minum-minum bersama teman-temannya, dan Ubaidillah Ibnu Ziyad, pelaku utama tragedi Karbala, duduk di samping kanannya, Yazid berkata kepada pelayan minuman, “Beri aku anggur yang akan menyejukkan hatiku. Lalu berikan anggur yang sama kepada Ibnu Ziyad orang kepercayaan dan wakilku serta sumber yang menghasilkan harta rampasan perang bagiku dan memenangkan peperangan.” Peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah syahidnya Imam Husain.
Penghormatan Yazid kepada Ibnu Ziyad mirip dengan penghormatan kepada tiran dan penjahat terbesar, Hajjaj.
Secara singkat pada masa Muawiyah “tentara Allah” terdiri dari madu beracun. Sedangkan “tentara Allah” di masa Yazid hanya racun tanpa campuran madu. Dalam pemerintahan Yazid semangat kegolongan Bani Umayyah peninggalan masa jahiliah dihidupkan kembali sepenuhnya. Tak satu pun kejadian sejarah yang dapat menunjukkan seorang manusia yang lebih nista dari Yazid, si dalang tragedi Karbala. Demikian pula sebaliknya, tak satu pun peristiwa sejarah yang dapat menunjukkan karakter semulia Husain, Husain yang syahid di Karbala. Halaman-halaman sejarah yang berkaitan dengan Yazid sepenuhnya hitam legam, sedangkan yang berkaitan dengan Husain penuh dengan kehormatan dan kemuliaan. Di satu sisi ada perdagangan dan kekuasaan Bani Umayyah serta para budak algojonya; di sisi lain ada karakter mulia dan keberanian keluarga Abu Thalib dan orang-orang yang merdeka yang penuh gairah serta para syahid di jalan kebenaran dan keadilan.
Logika dan akal kurang berhasil membuktikan suatu realitas ketimbang peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengannya. Karena peristiwa-peristiwa mengandung argumen-argumen yang tegas maka tak diragukan bahwa seluruh kejadian yang dialami Husain membuktikan bahwa dari sisi pandang karakter moral ia menduduki tingkatan yang paling tinggi, sedang semua peristiwa yang dilewati Yazid membuktikan bahwa ia berada pada lapisan kehinaan yang terbawah. Sebelum tragedi Karbala, ada peristiwa yang mengandung petunjuk bahwa di satu sisi Husain adalah model ketulusan dan simpati manusiawi, sedang di sisi lain Yazid merupakan pengejawantahan pesta pora dan kebejatan moral.
Selain menunjukkan masing-masing karakter Husain dan Yazid, peristiwa itu juga mengingatkan orang kepada kesepakatan yang dibuat oleh Bani Hasyim yang dinamakan Hilf al-Fudhul. Kesepakatan itu mereka buat dengan kerja sama beberapa suku Arab. Salah satu isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini harus mendukung kaum tertindas dan memulihkan hak-hak mereka dari para penindas serta mencegah orang kuat berlaku sewenang-wenang terhadap orang lemah dan tak berdaya. Para pendahulu dan nenek moyang Yazid menentang perjanjian itu, sedang pendahulu Husain mendukungnya dengan sepenuh hati. (*)