Jakarta, beritaalternatif.com – Pengamat Timur Tengah, Dina Sulaeman, menanggapi penyematan “tukang jagal” yang dilakukan media-media Barat dan Indonesia, pemimpin Israel, serta para “pengamat” terhadap Presiden Republik Islam Iran terpilih, Ebrahim Raisi.
Dina menjelaskan, koran Sindo membuat infografis yang isinya Raisi “memerintahkan penyiksaan pada wanita hamil”, “tahanan dilempar dari tebing”, dan “orang-orang dicambuk dengan kabel listrik”.
Kata dia, orang yang otaknya cerdas sedikit saja bisa merasakan keanehan dari berita tersebut. Saat menjawab pertanyaan wartawan Al Jazeera, Raisi mengonfirmasi tuduhan pelanggaran HAM tersebut.
Menurut Raisi, pada tahun 1998 ada gerakan terorisme ala ISIS di Iran. Mereka melakukan pelanggaran HAM kepada rakyat. Doktor di bidang hukum itu berpendapat, menghukum para pelaku kejahatan dan pelanggar HAM bukanlah pelanggaran HAM.
“Apa mereka pikir Iran itu negara barbar di benua antah-berantah? Kalau benar Iran negara se-barbar itu, mengapa Human Development Index-nya jauh lebih tinggi dari pada Indonesia?” tanya Dina sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari Fanpage resminya pada Senin (28/6/2021) sore.
Ia menyebutkan, Iran dan Indonesia sama-sama negara berkembang. Bahkan Iran lebih sengsara dari Indonesia karena sejak 1980 sampai sekarang terus-menerus dihajar embargo dan propaganda sektarian dari berbagai penjuru angin.
“Tapi, di tengah berbagai kepayahan itu, Human Development Index-nya Iran jauh di atas Indonesia (Iran ranking 70, Indonesia di ranking 107). Siapa yang mengukur HDI? PBB,” ungkapnya.
Di antara poin penilaiannya: pendidikan, kesehatan, kondisi perempuan, dan lain-lain. Itu semua tidak bisa dicapai dalam waktu semalam. Tren angka HDI Iran terus naik, pun bila dibandingkan dengan HDI di era Shah Pahlevi.
Dia kemudian mengingatkan kebohongan media arus utama soal Irak tahun 2003, Libya, dan Suriah. Demikian pula LSM ala Amnesty Internasional. Lembaga ini tidak selalu jujur dalam laporannya.
Iran yang dicitrakan sebagai bangsa yang barbar justru lebih maju dari Indonesia: sudah bisa memproduksi vaksin sendiri yang berbahan inactivated virus, bukan protein S+live adenovirus seperti vaksin buatan Barat; serta berhasil menjadi salah satu pusat medis di Timur Tengah.
Selain itu, Iran mencapai kemajuan sains lainnya, termasuk nuklir untuk tujuan damai, antara lain untuk bidang medis dan produksi listrik, supaya tidak bergantung pada energi fosil.
“Kalau saja bangsa Iran memble secara sains dan teknologi, pastilah sudah lama ringsek akibat embargo puluhan tahun. Dan kemajuan sains dan teknologi jelas TIDAK COMPATIBLE dengan ‘rezim barbar’ seperti yang mereka kisahkan itu,” tegasnya.
Para “pengamat” dan media-media mainstream Indonesia, kata Dina, daripada nyinyir terus-menerus soal Iran dengan berbasis hoaks, lebih baik melakukan hal yang bermanfaat buat bangsa sendiri.
Misalnya, sama-sama mendorong agar pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Iran untuk alih teknologi pembuatan vaksin, agar bisa diproduksi di Indonesia, tanpa perlu bayar royalti.
“Sekarang ini kan kita beli vaksin yang sudah jadi (ada juga yang kita beli ‘bibit’-nya aja, lalu ditambahin adjuvant sendiri). Tentu akan lebih menguntungkan bila kita benar-benar memproduksi sendiri,” saran Dina. (ln)