Oleh: Ibrahim Amini*
Banyak orang tua yang lebih suka memberikan hukuman non-fisik kepada anak-anak pada saat diperlukan. Sebagai contoh, jika seorang anak berlaku tidak pantas, dia akan dikunci dalam sebuah ruangan gelap atau sebuah kotak besar. Terkadang, para orang tua berteriak dan menggunakan kata-kata buruk dalam kemarahannya, ketika seorang anak melakukan sebuah kesalahan. Akibat dari hukuman kejam seperti ini mungkin tidak kurang dari hukuman fisik, sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Terdapat banyak ragam penghukuman yang memiliki pengaruh yang lebih besar ketimbang serangan fisik.”
Mungkin saja, penghukuman seperti itu tampak lebih keras dalam benak anak-anak ketimbang penghukuman secara fisik. Hukuman-hukuman ini akan melukai kepribadian si anak dan menciptakan unsur-unsur ketakutan dan kegelisahan bagi masa depannya.
Sering terjadi, bila seorang anak dikunci sendirian di ruang yang gelap, maka pengaruh pada syarafnya adalah sedemikian kerasnya sehingga dia tidak akan mampu untuk menghapuskan hal itu dari benaknya dalam sebagian besar hidupnya. Beberapa korban dari gangguan syaraf seperti ini terkadang pingsan di bawah pengaruhnya.
Oleh karena itu, para orang tua seharusnya menahan diri dari memberikan hukuman-hukuman seperti ini kepada anak-anaknya. Berteriak dan menggunakan kata-kata kotor kepada anak-anak adalah tabu (haram) dan akan membawa pengaruh yang sangat merusak bagi pendidikan mereka. Ini mungkin akan memotivasi anak untuk belajar menggunakan kata-kata kotor dalam kehidupan masa depannya.
Hukuman Non-Fisik yang Dibolehkan
Akan tetapi, terdapat sejumlah tertentu hukuman non-fisik yang tidak akan membawa dampak negatif ke dalam benak anak-anak, dan pada saat yang sama sangat efektif untuk mengoreksi mereka. Sebagai contoh, jika seorang anak berperilaku tak baik atau tidak memberikan perhatian pada pelajarannya, orang tua dapat menghentikan bicara sesaat dengannya atau tak membawanya bertamasya.
Sesekali, sebagai sebuah bentuk hukuman, para orang tua jangan membawa anak dalam menghadiri sebuah acara di mana semua anggota keluarga diundang. Sewaktu-waktu, sebagai sebuah teguran, anak dibiarkan tak makan. Di waktu yang lain, sebagai sebuah perbaikan, anak diberi beberapa tugas sulit untuk dilaksanakan.
Hukuman-hukuman seperti itu, jika dilakukan dengan bijak, akan sangat efektif dalam mengawasi dan membenahi anak. Semua itu tidak disertai dengan efek yang merusak bagi benak dan syaraf anak.
Akan tetapi, hukuman adalah hukuman. Terdapat kekurangan tertentu dalam hukuman, yang tidak akan terlalu efektif untuk memperbaiki kekurangan hakiki yang terdapat dalam sifat alami anak. Lantaran takut akan hukuman, sesaat atau beberapa saat, si anak mungkin akan berperilaku berbeda dan bertindak sebagaimana mestinya.
Atau, secara cerdas tidak melakukan kesalahan yang sama secara terang-terangan. Akan tetapi, ketika menemukan sebuah keadaan yang menguntungkan, dia mungkin akan melakukan tindakan yang sama, sebagaimana telah ditegur pada waktu sebelumnya.
Oleh karena itu, hukuman tidak dapat membuang penyebab pelanggaran yang dilakukan anak. Adalah mungkin bahwa terkadang anak bersembunyi di balik kebohongan dan ketidakterusterangan.
Poin-poin Penting
Untuk membuat hukuman non-fisik menjadi efektif dan bijak, beberapa poin berikut sangat dianjurkan bagi para orang tua dan pembina anak-anak:
Hukuman haruslah masuk akal dan sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan anak. Pastikan bahwa hukuman tersebut tidak melebihi kesalahan atau kelakuan yang tidak baik dari si anak. Jika si anak menganggap bahwa hukuman tersebut tidak adil, dia mungkin akan bereaksi dengan bertahan dan mulai menjadi pemberontak yang keras kepala.
Hukuman tidak boleh menjadikan si anak mulai berpikir bahwa orang tua adalah musuhnya dan mereka tidak mencintainya.
Jika anak melakukan sebuah kesalahan yang tak disengaja, dia tidak sepantasnya dihukum. Jika si anak tetap dihukum, ini akan membawa dampak yang negatif bagi perasaan dan akalnya.
Hukuman tidak boleh menjadi peristiwa setiap hari, jika para orang tua ingin hal itu efektif. Jika hukuman diulang terlalu sering, anak akan berubah menjadi orang yang selalu terdorong untuk melakukan dosa. Sehingga, hukuman tidak akan memiliki dampak apa pun terhadapnya.
Imam Ali berkata, “Teguran dan hukuman yang berlebihan akan membuat seseorang menjadi keras kepala.”
Anak dapat dihukum untuk satu perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk semua kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Kalau tidak, si anak akan merasa bingung; atas alasan apa dia dihukum. Dia tidak akan mengulangi sebuah perbuatan, hanya jika dia tahu bahwa dia telah dihukum karena melakukan perbuatan tersebut. Adalah lebih baik jika hukuman diberikan seketika setelah terjadinya perbuatan itu.
Bagi kemungkinan yang lebih luas, harus dilakukan upaya untuk melihat bahwa hukuman itu sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Sebagai contoh, jika si anak melakukan kelalaian dalam mengerjakan latihan matematika, dia harus diperintahkan untuk melengkapi latihan itu, bukan menyalin seluruh isi buku dari awal hingga akhir.
Jika si anak dengan ceroboh melemparkan tas dan seragam sekolahnya setelah pulang dari sekolah, dia harus diminta seketika itu pula untuk meletakkan semua itu pada tempatnya masing-masing dengan sebaik-baiknya. Sebagai sebuah hukuman bagi perilaku ceroboh seperti itu, dia tidak boleh diancam bahwa dia tidak akan diajak dalam rencana makan malam saat itu.
Jika si anak bertingkah buruk dalam sebuah acara pesta, hukumannya dapat berupa tak membawanya dalam acara berikutnya, dan bukan dengan menghentikan pemberian uang sakunya. Jika si anak menghamburkan uang saku, maka sebagai sebuah hukuman, potonglah sejumlah tertentu pemberian uang saku berikutnya.
Jika Anda hendak menghukum seorang anak, jangan bandingkan dia dengan anak-anak lain. Jangan ceritakan kualitas anak-anak lain kepadanya. Anda tidak akan dapat melakukan perbaikan atas si anak dengan sikap seperti ini. Anda malah akan membangkitkan perasaan cemburu di benak si anak.
Seseorang menulis dalam catatan hariannya sebagai berikut, “Di masa kanak-kanakku, ayah sangat sering berteriak di depanku. Dia biasa menghinaku di hadapan famili dan sahabat-sahabatku serta selalu menyebut-nyebut kesuksesan orang lain di hadapanku. Dia selalu mencari-cari kesempatan untuk merendahkanku. Dia menganggapku orang yang lemah. Bagaimanapun seringnya dia menghinaku, aku semakin keras kepala. Aku kehilangan semangat belajarku. Aku telah membangun sebuah kompleks rendah diri. Aku mulai melalaikan pekerjaanku. Aku tak ingin menerima tanggung jawab apa pun. Kepribadianku telah terlukai oleh omelan ayahku. Sekarang, aku adalah orang yang malas dan sendiri.” (*Tokoh Pendidikan Islam)