Oleh: Haji Mubarak*
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
La Ilaha Illallah Wallahu Akbar.
Allahu Akbar Walillahil Hamd.
Lantunan takbir, tahlil dan tahmid, mengiringi ungkapan syukur kita ke hadirat Allah SWT, atas nikmat karunia-Nya, kita dipertemukan kembali dengan fajar Iduladha 1443 H. Dalam suasana sukacita setelah melalui masa-masa genting Covid-19, kini saatnya kita dapat mengaktualisasikan kenormalan baru dalam dimensi kehidupan beragama di tengah masyarakat, memenuhi masjid-masjid maupun tanah-tanah lapang guna menunaikan ibadah sholat Iduladha secara berjamaah.
Dimensi keagamaan masyarakat Muslim Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) terasa kian bergairah. Pemerintah pusat memberikan kelonggaran interaksi di ruang publik setelah masa pancaroba pandemi Covid-19 berlalu. Di tengah gairah keagamaan yang kian tinggi, kesempatan melaksanakan ibadah haji dapat diraih oleh umat Islam Indonesia, khususnya masyarakat Kabupaten Kukar yang mendapat kesempatan ibadah haji, setelah penantian panjang selama dua tahun. Wajah-wajah gembira jamaah haji terpancar dari wajah mereka, ketika kenikmatan beribadah haji mampu diraih: menziarahi dua kota suci umat Islam, yakni Makkah dan Madinah. Menziarahi Rasulullah di Masjid Nabawi, memakai kain ihram, melaksanakan thawaf di Baitullah, berlari-lari kecil (sa’i) antara Bukit Shofa dan Marwah, melaksanakan jamarat (Jumrat a-Ula, al-Wustha, dan al-‘Aqabah), melaksanakan wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, ber-tahallul, dan lain-lain.
Sholat Id sebagai Momentum Berkumpul
Tanggal 10 Zulhijjah kita merayakan Iduladha dengan sholat berjamaah di masjid-masjid atau tanah-tanah lapang. Disusul kemudian dengan berkurban (al-Udhhiyyah) bagi mereka yang berkecukupan untuk meraih keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla di hari yang mulia. Dalam momentum pelonggaran berinteraksi pasca pandemi Covid-19, seyogianya peluang terbuka ini dimanfaatkan oleh umat Islam agar berbondong-bondong, berduyun-duyun, untuk melaksanakan sholat Id secara berjamaah. Karena sesungguhnya, sholat Id yang kita laksanakan ini pada hakikatnya adalah menguji kesadaran dan sejauh mana pola fikir dan tindakan yang kita lakukan benar-benar sejalan dengan perintah Allah. Disebutkan dalam Alquran: “…Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)….” (Q.S. Al-Kausar/108:2).
Melaksanakan sholat Id hukumnya adalah sunnah muakkadah. Pelaksanaan sholat Id, apakah di masjid maupun di lapangan, tidak menentukan mana yang lebih afdhal di antara keduanya. Fokus utama dalam sholat Id adalah berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kebahagiaan dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid bersama-sama. Betapa pentingnya sholat Id, hingga Rasulullah terus-menerus mengerjakan sholat Id sepanjang hidupnya dan tidak pernah meninggalkannya. Beliau bahkan memerintah umatnya untuk keluar di hari itu menuju masjid dan tanah lapang untuk menunaikannya, menyuruh para wanita dan gadis-gadis pingitan, bahkan wanita yang haid sekalipun untuk menyaksikan kebaikan sholat Id dari kejauhan. Hadis dari Abi Sa’id Al-Khudri, ia berkata: “Rasulullah biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idulfitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah sholat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan maka diputuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu maka dirintahkannya, dan kemudian berpaling….” (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, dan Nasa`i 1/234).
Di masa dahulu, Nabi memang melaksanakan sholat Id di tanah lapang karena Masjid Nabawi belum mengalami perluasan seperti sekarang, sehingga sholat Id di lapangan dirasa mampu menampung jemaah lebih banyak. Di masa sekarang, sudah banyak masjid yang mampu menampung jemaah lebih banyak, termasuk digunakannya serambi dan halamannya. Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa: “Jika masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jemaah) maka sebaiknya sholat di masjid dan tidak perlu keluar…. karena sholat di masjid lebih utama”. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Baari (5/283), menyepakati pandangan tersebut sehingga menyimpulkan jika faktor sifat hukum yang jelas dan dapat dinalar (‘illat al-hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka sholat Id dapat dilakukan di dalam masjid, dan melakukannya lebih utama daripada di tanah lapang”.
Kurban sebagai Momentum Mengembangan Kesadaran Sosial
Berkurban adalah kebutuhan umat Islam, selain sebagai penyempurna ibadah, juga menjadi jalan taqarrub ilallâh. Berkurban sah dilaksanakan pada hari Iduladha, yakni tanggal 10 Zulhijjah (yang disebut “Yaum al-Nahr”), dan pada tiga hari setelahnya yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah (yang disebut “al-Ayyâm al-Tasyrîq”). Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir ibn Muth’im bahwa Rasulullah bersabda: “Seluruh hari Tasyriq (yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) diperbolehkan berkurban”.
Berkurban pada hakikatnya adalah perlambang ketulusan hati seorang hamba untuk beribadah dengan mengeluarkan harta melalui hewan kurban yang disembelih sebagai rasa syukur kepada Allah. Dengan berkurban diharapkan terbangun jati diri manusia sejati, yaitu sebagai ‘abdullâh atau “insan pengabdi” yang seluruh hidupnya diserahkan untuk menghamba kepada Allah di muka bumi. Meski demikian, kurban yang diterima pahalanya di sisi Allah, hanyalah sembelihan hewan kurban yang diniatkan atas landasan takwa kepada-Nya. Mengenai hal ini Allah berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. ….” (Q.S. Al Hajj/22:37).
Ibadah kurban seharusnya juga dimaknai sebagai pendidikan kepada orang yang mampu untuk memberikan sebagian harta kekayaannya kepada umat yang membutuhkan (miskin). Dengan harapan dapat meringankan beban penderitaan mereka yang masih dalam kemiskinan. Semangat membantu meringankan penderitaan sesama manusia adalah substansi kurban yang perlu dikedepankan. Orang yang tidak memiliki semangat untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain, meski setiap tahunnya melaksanakan kurban, belum dapat dikatakan telah melaksanakan ibadah kurban.
Untuk itulah, ibadah kurban sudah sepantasnya dijadikan momentum yang sangat berharga untuk menggerakkan dan mengembangkan kesadaran sosial bagi sebagian orang yang memiliki aset ekonomi memadai agar melakukan pemerataan kesejahteraan. Semoga kita diberikan kelimpahan rizki untuk dapat menyisihkan sebagian dari harta yang dimiliki itu untuk melaksanakan ibadah kurban.
Seuntai doa saya tuliskan, semoga dapat di-amin-kan oleh seluruh umat Islam: Ya Allah, muliakanlah agama Islam dan kaum muslimin, hinakanlah kemusyrikan dan para pelakunya, serta tinggikanlah agama-Mu sampai Hari Kiamat.
Ya Allah, jadikanlah para pemimpin kami orang yang baik. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka, bagi agama Islam, dan kaum muslimin. Jauhkanlah para pemimpin kami dari teman dekat yang cenderung berbuat jahat dan teman yang merusak. Dekatkanlah orang-orang baik dan pemberi nasihat terbaik kepada mereka, bantulah mereka, ya Allah, agar dapat menunaikan tugas mereka, sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Tuhan semesta alam.
Ya Allah, wahai Tuhan kami, berikanlah kebaikan kepada kami dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari azab api neraka.
Akhir kalam, semoga derajat takwa disematkan oleh Allah bagi kita semua, dan bagi umat Islam yang berkurban di tahun ini atas ketulusan niat dan kemurnian hati guna mengharapkan keridhaan dari Allah (ridhallâh fî al-Udhhiyyah). (*Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara)