BERITAALTERNATIF.COM – Perang genosida yang dilancarkan Rezim Zionis terus berlangsung. Situasi di Kawasan Timur Tengah pun sangat memilukan hati khususnya di Palestina di mana Israel telah menghancurkan kehidupan banyak warga. Terdapat kebutuhan mendesak untuk memperkuat suara para otoritas, pemimpin, dan tokoh agama dari berbagai belahan dunia untuk berbicara dengan otoritas moral dan spiritual terkait dengan perang genosida, juga bearagam tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Baru-baru ini, memenuhi undangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (PP IJABI) turut berpartisipasi dalam International Summit of Religious Authorities (ISORA) dengan tema “Religion’s Role in Addressing Middle East Violence & Threats to a Rules-based International Order”.
Forum yang diselenggarakan PBNU bekerja sama dengan Center for Shared Civilization Values (CSCV) ini merupakan forum internasional sebagai inisiatif lanjutan dari G20 Religion Forum (R20) 2022 dan ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) 2023 yang menghadirkan para otoritas agama di dunia untuk mendiskusikan dan berupaya menyelesaikan problem global dengan menggunakan pendekatan berbasis agama.
ISORA diadakan pada Hari Senin tanggal 27 November 2023 bertempat di The Park Hyatt Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, dan dibuka oleh Presiden RI Joko Widodo.
“Sungguh tidak masuk nalar dan nurani, di dunia yang super modern ini masih terjadi perang, dan pembantaian secara terang-terangan yang merenggut warga sipil, perempuan, dan anak-anak. Tragedi kemanusiaan di Palestina tidak bisa ditolerir sedikit pun,” ujar Presiden dalam pidato pembukaan R20 ISORA.
Presiden Joko Widodo juga menyeru para tokoh agama untuk menjadikan dialog lintas agama dan bangsa untuk menjembatani perbedaan dan menghentikan segala bentuk pertikaian-pertikaian sehingga dunia yang damai, rukun, dan sejahtera mampu kita wujudkan bersama.
ISORA dihadiri para pengampu otoritas agama dari berbagai negara dan pimpinan organisasi keagamaan di Indonesia. Turut hadir Syamsuddin Baharuddin, Ketua Umum Tanfidziyah PP IJABI dan Ustadz Musthafa Haris, Ketua PW IJABI DKI Jakarta. Hadir juga Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri PAN RB Abdullah Azwar Anas, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Director of The Muslim World League Abdurrahman Al Khayyath, Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun, serta beberapa duta besar negara-negara sahabat lainnya
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, pada pidato kunci di awal konferensi menyampaikan betapa besarnya tantangan yang dihadapi saat ingin mewujudkan perdamaian antar-manusia. Hal yang paling utama dari terselenggaranya konferensi ini adalah agar agama tidak lagi menjadi senjata atau pemicu terjadinya konflik. Akan tetapi, agama hadir sebagai solusi dari berbagai permasalahan di dunia, terlebih konflik kemanusiaan.
Gus Yahya menambahkan, dalam mewujudkan langkah perdamaian, umat beragama bukan harus saling marah dan menyakiti kelompok lain yang dianggap tidak sejalan. Hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan sama sekali tidak memberikan kontribusi apa pun terhadap kelompok yang dibela. Melalui forum R20 ISORA diharapkan bisa menjadi penguat yang bersumber dari para pemimpin agama atas konsensus yang berlaku untuk disepakati bersama dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Gus Yahya juga berharap pengampu agama yang hadir bisa menggunakan otoritasnya untuk memobilisasi umat, termasuk para aktor global pemangku kekuasaan, ke arah kesadaran yang nyata untuk segera menghentikan konflik dan mewujudkan perdamaian dunia, terutama yang terjadi di Gaza, Palestina.
Pada sesi akhir konferensi, K.H. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU membacakan R20 ISORA Call to Action, semacam seruan aksi bersama untuk melakukan tindakan yang menjadi suara aspirasi para peserta dan dapat didengar oleh banyak pihak.
Adapun butir-butir R20 Call Action sebagai berikut: Pertama, otoritas agama mempunyai tanggung jawab moral dan spiritual untuk memastikan bahwa agama mereka masing-masing berfungsi sebagai sarana saling pengertian dan rekonsiliasi, dan bukannya melanggengkan siklus primordial kebencian, tirani, dan kekerasan yang berbasis identitas.
Kedua, mengingat konsensus internasional yang terkandung dalam Piagam PBB, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memberikan satu-satunya kerangka kerja yang ada saat ini dan dapat diterapkan untuk menyelesaikan konflik berbasis identitas – termasuk konflik yang terjadi antaragama, dan kekerasan yang dilakukan atas nama agama;
Ketiga, bahwa kegagalan aktor-aktor global untuk menghormati dan menjunjung tinggi konsensus internasional pasca-Perang Dunia II sebagaimana tertuang dalam kerangka PBB dan UDHR merupakan penyebab utama ketidakstabilan dan konflik di seluruh dunia;
Keempat, bahwa otoritas agama – yang bertindak demi Tuhan dan kemanusiaan – harus bekerja sama secara gigih dan tegas untuk memvalidasi, melestarikan, dan memperkuat konsensus internasional pascaperang dan menuntut konsistensi dari semua pihak dalam penerapannya;
Kelima, meskipun upaya-upaya ini tidak cukup hanya terbatas pada seruan keagamaan tradisional saja; hal ini harus dilengkapi dengan strategi jangka panjang yang disengaja untuk memobilisasi kekuatan kolektif agama – termasuk dukungan orang-orang dari semua agama – dalam gerakan bersama untuk mencapai tujuan mulia ini;
Keenam, karena itu, kami mendesak otoritas agama dari setiap keyakinan dan negara untuk mengerahkan kekuatan dan pengaruh komunitas masing-masing agar berdampak pada kalangan pengambil keputusan; menghentikan konflik bersenjata yang terjadi di Timur Tengah, Eropa, Afrika Sub-Sahara, dan wilayah lain di dunia; dan mengembangkan mekanisme dialog dan negosiasi yang efektif yang dapat mengarah pada penyelesaian konflik secara damai. (nsa)
Sumber: majulah-ijabi.org