Oleh Lukman A Salendra*
Hari ini dan ke depan sekira hingga 14 Februari 2024 ketika “hak suara” akan saya berikan kepada Capres-cawapres siapa, empati saya tak neko-neko dalam pesta demokrasi, saya cemas dan gemas.
Saya cemas lantaran super mega proyek pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara kalau-kalau cuma jadi mainan politik recehan, sekadar memantik simpati pemilih atau pun alih-alih melanggengkan kuasa. Nahasnya, jatuh jadi sekadar retorika pragmatik, selebihnya hahahuhu debat semantik yang tak kunjung ketemu hulu dengan buntut.
Jujurly saya tidak takut mangkrak dengan super mega proyek Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) ini. Apa sebab, kan sudah ada Undang-Undangnya, kan sudah dibentuk Badan Otoritanya. Kan sedang dan terus dikerjakan. Akan begitu saja dibubarkan? Akan begitu saja gagal dan digagalkan? Akan butuh waktu untuk membatalkannya atau mengubahnya hanya misalnya untuk dijadikan sebatas pusat perekonomian, apabila IKN tidak diteruskan. Apalagi, pindah ibu kota ini kan sudah dicita-citakan sejak mendiang presiden pertama RI, Ir. Soekarno. “Ah bisa-bisa saja selama aturan dibuat oleh manusia, dan lagian ini di dunia bukan di alam akherat yang pasti,” seloroh teman imajiner saya. “Tapi kan butuh proses lagi, Kang,” tukas saya serius.
Saya gemas, gegara baca “ Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi karya mendiang Mansour Fakih. Buku yang cukup mengusik imaji dan kebatinan saya. Buku yang menyajikan teori-teori perubahan sosial alternatif ini membuat saya geregetan ingin IKN segera terwujud “ wah megah” dan ”jangan wah payah” di 2045 nanti. Mungkin saya sudah tinggal rangka di tahun itu.
Tudingan dan tandingan, baik kegagalan maupun keberhasilan pembangunanisme dalam konteks globalisasi kapitalisme merujuk inti sari buku tersebut: Katanya, yang paling dicemaskan dari gagasan pembangunanisme bukanlah kegagalannya, melainkan justru keberhasilannya. Lantaran keberhasilan pembangunanisme akan mengantarkan dunia pada perspektif tunggal, yang secara budaya dianggap menghancurkan peradaban manusia (Insist Press, 2009).
Sementara, ini “mantra” Bambang Susantono yang disampaikan saat dirinya dilantik menjadi Kepala Otorita IKN di Istana Negara, Jakarta, 10 Maret 2022: Membangun kota tidak hanya membangun fisiknya, tapi terutama adalah bagaimana kerekatan sosialnya, interaksi antar warganya, bagaimana kota tersebut menjadi kota yang layak huni, humanis, dan liveable. Kami memohon dukungan dari semua lapisan masyarakat sehingga Ibu Kota Nusantara menjadi kota yang inklusif, hijau, dan berkelanjutan, dibangun untuk semua kalangan, a city for all.”
Nah, lho.
Terang terus, saya tidak ingin melihat kegagalan IKN seperti apa. Tapi, saya ingin tahu keberhasilan pembangunan yang dicemaskan itu yang dianggap secara gagasan bakal melahirkan perspektif tunggal dalam pembacaan Mansour Fakih itu, seperti apa? Lantas, seperti apa pula “mantra” Kepala Otorita IKN itu sanggup menyihir das sollen dan das sein-nya IKN?
Terus terang, untuk menuju ke sana menurut hemat saya masih jauh. Yang dekat, adalah para investor bagaimana semakin melihat dan mendekat.
Kata pantun Pak Presiden Jokowi kala menghadiri suatu acara di IKN, Kaltim, Kamis (2/11/2023): Ikan lohan ikan gabus/ Direndam dulu baru direbus/ Supaya pembangunan maju terus/ Pinjam dulu seratus.
Cag!
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Berita Alternatif.