Search
Search
Close this search box.

Biografi Imam Ali Khamenei, dari Kamar Hauzah hingga Wali Fakih

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – “Ayah saya adalah ulama yang terkemuka, namun sangat zuhud dan pendiam. Kehidupan kami cukup sulit. Saya teringat, sering di malam hari kami tidak memiliki apa-apa untuk dimakan! Ibu saya dengan susah payah menyiapkan makan malam. Hidangan makan malam itu adalah roti dan kismis”.

Itulah ungkapan Ayatullah Sayid Ali Khamenei tentang kondisi keluarganya yang sederhana. Beliau memang lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah almarhum Hujjatul Islam wal Muslimin Haj Sayyid Javad Husaini Khamenei.

Di rumahnya yang cuma seukuran 60 m2, Sayid Ali Khamenei merasakan kehidupan zuhud ayahnya yang seorang ulama dan guru. Ayahnya pula yang menjadi alasan Sayid Ali Khamenei memilih jalan para ulama. Sayid Ali Khamenei menulis, “Faktor dan alasan utama saya memilih jalan cahaya keruhanian ini adalah ayah saya dan ibu saya.”

Advertisements

Dari kesederhanaan ini, ternyata lelaki kelahiran 16 Juli 1939 atau bertepatan dengan 28 Shafar 1357 Hijriah ini adalah seorang yang sangat pintar. Pendidikan tingkat dasarnya hanya diselesaikan lima tahun saja. Padahal ukuran normalnya tingkatan itu diselesaikan dalam waktu 8 hingga 10 tahun.

Pertama masuk sekolah bernama Daar At-Ta’lim Diyanati. Bersama Kakaknya Sayid Ali Khamenei belajar membaca dan Alquran. Setelah itu mulai masuk hauzah dan mempelajari ilmu-ilmu alat. Buku yang dipelajarinya mulai dari Jami’ Al Muqaddimat, Suyuti dan Mughni, Ma’alimm, Syarh Lum’ah dan Syarayi’ Al Islam. Untuk kitab Rasail dan Makasib, beliau menimba ilmu dari almarhum Haj Syeikh Hashim Qazveini.

Selain ayahnya, guru-guru yang memberi pengaruh kepada Sayid Ali Khamenei adalah almarhum Agha Mirza Modarris Yazdi dan Haj Syeikh Hashim Qazveini. Almarhum Ayatullah Mirza Javad Agha Tehrani dan Syeikh Reza Eisi adalah guru yang sangat berpengaruh pada pengembangan intelektual di bidang ilmu logika, filsafat, kitab Mandzumah Sabzavari.

Kecemerlangannya dalam bidang ilmu dilanjutkan dengan pelajaran Bahtsul Kharij kepada almarhum Ayatullah Al Udzma Milani. Kalau sudah sampai di tingkat ini, berarti satu jenjang menuju gelar mujtahid sudah dekat.

Pernah satu saat ada keinginan belajar di Najaf Irak. Keinginan itu muncul saat berziarah ke Najaf tahun 1957. Di Najaf Sayid Ali Khamenei ikut dalam kelas darsul kharij dari para mujtahid di hauzah Najaf termasuk almarhum Sayyid Muhsin Hakim, Sayyid Mahmoud Shahroudi, Mirza Bagher Zanjani, Sayyid Yahya Yazdi, dan Mirza Bojnourdi.

Aura belajar di sana ternyata sangat disukai Sayid Ali Khamenei. Beliau pun lantas memberitahukan niatnya untuk belajar di Najaf kepada sang ayah, namun ayah beliau tidak menyetujuinya.

Pada tahun 1958 hingga 1964, Sayid Ali Khamenei hijrah ke Qom dan belajar ilmu fikih, ushul dan filsafat. Di sini beliau berguru kepada almarhum Ayatullah Al-Udzma Boroujerdi, Imam Khomeini, Syeikh Murtadha Hairi Yazdi, dan Allamah Taba’tabai.

Api Revolusi

Tahun-tahun belajar di Madrasah Sulaiman Khan Masyhad adalah tahun pergolakan politik. Beberapa tokoh ulama bangkit melawan kediktatoran rezim Shah Iran yang disokong Inggris. Salah satu tokoh penggerak pergerakan melawan rezim Shah adalah Sayyid Mujtaba Navvab Safavi.

Ketika itu, Navvab Safavi dan sejumlah pejuang Islam lainnya dari kelompok Fedaiyan-e Islam (Pembela Islam) pada tahun 1331 Hijriah Syamsiah (1952) menyampaikan sebuah orasi. Navvab menyerukan kebangkitan Islam dan penerapan hukum Allah, serta membongkar tipu daya Rezim Syah dan Inggris terhadap bangsa Iran.

Ayatullah Khamenei yang saat itu termasuk pelajar madrasah Sulaiman Khan benar-benar terkesan oleh pidato Navvab. Dalam catatannya beliau mengatakan, “Saat itu muncul api semangat revolusi Islam dalam jiwa saya. Tidak ragu lagi bahwa Navvab telah menyalakan api perjuangan dalam hati saya”.

Bersama Sang Imam

Untuk pertama kalinya pada tahun 1959, beliau diperintahkan oleh Imam Khomeini untuk menyampaikan pesannya kepada Ayatullah Milani dan para ulama lainnya di Provinsi Khorasan. Pesannya tentang mekanisme program dakwah di bulan Muharram serta penyingkapan kebobrokan Rezim Shah dan AS.

Tentu saja yang dimaksud dengan pembawa pesan di sini bukan menjadi kurir biasa yang hanya bertugas menyampaikan surat. Lebih dari itu Sayid Ali Khamenei bahkan menjadi juru bicara yang mampu menjabarkan keinginan Imam Khomeini kepada kelompok revolusioner di Kota Masyhad. Tak jarang beliau sendiri yang harus menjelaskan kepada kelompok-kelompok pemuda revolusioner.

Akibat orasi-orasinya itu, pada 9 Muharram bertepatan dengan 2 Juni 1963, beliau ditangkap dan ditahan. Beliau dibebaskan dengan syarat tidak lagi berpidato di atas mimbar. Setelah itu, gerak-gerik beliau pun diawasi oleh aparat.

Menyusul terjadinya peristiwa berdarah 15 Khordad (5 Juni 1963), beliau kembali ditangkap dan diserahkan ke penjara militer di Kota Mashad. Selama sepuluh hari mendekam di penjara tak terkira siksaan sadis yang harus diterimanya.

Langganan Penjara

Sebagai seorang aktivis pergerakan, Sayid Ali Khamenei menjadi incaran dari agen SAVAK. Wibawa dan pengaruhnya yang luas mampu membuat para pendengarnya tumbuh semangat revolusionernya. Sayid Ali Khamenei ditangkap oleh Savak dan dijebloskan ke penjara Qezel Qal’ah setelah menyampaikan orasi di Kerman pada 26 Januari 1963.

Keluar masuk penjara ternyata tak menyurutkan api revolusi yang berapi-api. Setiap pengajiannya yang dihadiri para pelajar muda revolusioner selalu diisi dengan gelora perlawanan terhadap kekejaman rezim Shah.

Pada bulan Januari 1975, SAVAK menyerbu rumah Sayid Ali Khamenei dan menangkapnya. Para agen SAVAK juga merampas seluruh artikel maupun catatan beliau. Ini keenam kalinya beliau ditangkap dan ini merupakan masa penahanan yang paling sulit.

Sayid Ali Khamenei disekap dalam penjara Komite Gabungan Kepolisian hingga musim gugur akhir tahun 1975. Selama masa penahanan, beliau diperlakukan dengan sangat keji. Kepedihan yang dialami Ayatullah Khamenei selama masa penahanan itu menurut beliau hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang pernah merasakan kondisi yang sama.

Setelah bebas, Ayatullah Khamenei kembali ke Kota Mashad dan tetap melanjutkan aktivitas ilmiah dan revolusionernya. Namun kali ini beliau tidak dapat membuka kelas-kelas terbuka seperti sebelumnya.

Sayid Ali Khamenei menulis, “Pada tahun 1348 Hijriah Syamsiah (1969), terbuka peluang untuk melakukan perlawanan bersenjata di Iran. Sensitivitas dan kekerasan agen-agen Rezim Shah saat itu terhadap pribadi saya semakin meningkat mengingat gerakan perlawanan bersenjata tersebut tidak mungkin terlepas dari orang-orang seperti saya. Pada tahun 1971, saya kembali dipenjara. Tindakan kekerasan yang dilakukan SAVAK di penjara secara jelas menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap menyatunya gerakan perlawanan bersenjata dengan pusat-pusat pemikiran Islam. Mereka tidak dapat menerima fakta bahwa aktivitas ilmiah dan dakwah saya di Mashad dan Tehran tak ada kaitannya dengan gerakan perlawanan bersenjata itu. Setelah bebas dari penjara, pelajaran tafsir untuk umum dan kelas-kelas ideologi dan lain-lain, semakin meluas.”

Di Pengasingan

Pada tahun 1978, Rezim Shah menangkap dan mengasingkan Sayid Ali Khamenei ke Kota Iranshahr selama tiga tahun. Karena meningkatnya tekanan kepada Rezim Shah, baru pada akhir 1978, Sayid Ali Khamenei dibebaskan dari pengasingan dan kembali ke Kota Mashad.

Pengalamannya di penjara dan pengasingan tak menyurutkan semangat revolusinya. Setelah bebas beliau kembali berada di barisan terdepan perjuangan rakyat Iran melawan Rezim Pahlevi. Setelah 15 tahun berjuang dan berkutat dalam pergerakan, akhirnya beliau dapat merasakan hasil dari perjuangan dan perlawanan tersebut.

Detik Menjelang Kemenangan

Sebelum kepulangan Imam Khomeini dari Paris ke Tehran, dibentuklah Dewan Revolusi Islam yang dianggotai oleh sejumlah tokoh pejuang seperti Ayatullah (Syahid) Mutahhari, Ayatullah (Syahid) Beheshti, Hashemi Rafsanjani, dan lain-lain. Sayid Ali Khamenei dimasukkan juga sebagai anggota atas rekomendasi Imam Khomeini. Setelah mendapat perintah dari Imam Khomeini, Sayid Ali Khamenei berangkat dari Mashad menuju Tehran.

Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei tetap melanjutkan aktivitas dan kerja keras untuk merealisasikan cita-cita revolusi. Aktivitas dan jabatan yang beliau emban sangat penting khususnya jika dilihat dengan memandang kondisi saat itu.

Salah satu jabatan penting di era Revolusi Islam Iran adalah sebagai Presiden Republik Islam Iran, menyusul gugur syahidnya Muhammad Ali Rajaee, Presiden kedua Republik Islam Iran. Pada tahun 1981, Ayatullah Khamenei memperoleh lebih dari 16 juta suara warga, dan dilantik sebagai Presiden Republik Islam Iran setelah mendapat pengukuhan dari Imam Khomeini. Beliau juga terpilih untuk kedua kalinya pada tahun 1985.

Dari Panggung Politik hingga Wali Fakih

Iran, 4 Juni 1989, diumumkan bahwa Sang Imam telah mengembuskan nafasnya yang paling akhir untuk bertemu dengan Allah, Sang Kekasih. Pagi hari itu juga, Majelis-e Khubregan (Dewan Ahli) Iran mengadakan sidang darurat dengan satu agenda: mendengarkan pembacaan surat wasiat Imam.

Sayid Ahmad Khomeini meminta dengan sangat agar Sayid Ali Khamenei yang membacakan surat wasiat itu. Dengan berat hati Sayid Ali Khamenei menyanggupi permintaan itu. Pembacaan surat wasiat tersebut tercatat sebagai elegi yang sangat memilukan. Berkali-kali Sayid Ali Khamenei menghentikan pembacaan surat tersebut karena harus menyeka air mata yang dengan deras mengalir tidak terbendung.

Dalam suasana tertekan akibat rasa kehilangan, Majlis Khubregan harus segera memutuskan siapa yang menjadi pemimpin tertinggi menggantikan Imam Khomeini. Kepribadian dan integritas Imam yang sangat besar telah membuat semua pihak, termasuk kalangan internal Iran, meragukan kemampuan Dewan Ahli dalam menunjuk pemimpin baru yang paling tidak, mendekati kapabilitas Imam Khomeini.

Sejumlah media memprediksikan krisis besar yang akan timbul setelah wafatnya Imam Khomeini. Sementara itu kalangan media anti Revolusi Islam berpendapat yang sama. Radio BBC menyiarkan, “Kekosongan kekuasaan yang ditimbulkan oleh wafatnya Imam tidak akan mungkin bisa ditutupi oleh siapa pun”. Radio AS Voice of America bahkan memprediksi akan adanya perang saudara besar-besaran pasca wafatnya Imam.

Situasi mencekam terjadi di dewan sidang Majlis Khubregan. Hampir semua pihak saat itu, jika ditanya mengenai pengganti Imam, akan menggelengkan kepalanya.

Sayid Ali Khamenei bersama Hashemi Rafsanjani menggulirkan ide pembentukan kepemimpinan presidium. Sistem ini memang termaktub dalam konstitusi Iran, bahwa jika rahbar tunggal tidak memungkinkan untuk terpilih, maka Dewan Ahli diperbolehkan untuk membentuk dan memilih para anggota presidium pemimpin (syura-ye rahbari).

Awalnya usul ini mulus berjalan. Aklamasi akan dicapai. Akan tetapi aura di sidang mendadak aneh. Para anggota Dewan Ahli belakangan bercerita tentang sinar ilham yang menyeruak ke dalam kalbu mereka. Tangan ilahi memang tengah bertindak. Tiba-tiba, nama Sayid Ali secara serentak digumamkan oleh para anggota Dewan Ahli sebagai kandidat utama pemimpin tunggal pengganti Imam.

Ide Kepemimpinan kolektif kemudian dipinggirkan karena ada celah untuk kepemimpinan tunggal. Nama Sayid Ali Khamenei kemudian bergaung di sidang ini. Ide kepemimpinan tunggal disetujui para anggota dewan tapi ditolak oleh Sayid Ali Khamenei.

Hashemi Rafsanjani yang ikut menggulirkan ide pembentukan presidium, tiba-tiba diingatkan pada beberapa momen kebanggaan Imam Khomeini kepada muridnya yaitu Sayid Ali Khamenei. Rafsanjani bahkan langsung mengingat peristiwa saat ia mengajukan kekhawatirannya atas situasi vacum of power yang sangat mungkin terjadi seandainya “putra mahkota”, Ayatullah Montazeri, betul-betul dipecat dari jabatannya oleh Imam. Saat itu, Imam tersenyum dan berkata, “Itu tidak akan mungkin terjadi karena kalian sebenarnya punya pemimpin”. Lebih jauh Imam Khomeini mengatakan, “Inilah Agha Khamenei, pemimpin kalian”. Kata-kata Imam itu, menurut Rafsanjani, didengar oleh para ketua lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang hadir. Hadir pula Perdana Menteri Mir Muosavi dan Sayid Ahmad Khomeini.

Akhirnya diambil voting. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 72 anggota Dewan, 71 menyetujui, dan satu suara abstain. Aneh dan sangat sulit untuk bisa diprediksikan sebelumnya. Dengan gamang, Sayid Ali maju ke depan dan berbicara di atas mimbar sidang. Ia saat itu mengajukan penolakan atas hasil voting. Di bawah sorotan tatapan penuh harap para anggota Dewan, Sayid Ali mengemukakan keberatannya atas pilihan anggota Dewan yang menurutnya keliru itu.

Dalam keberatannya Sayid Ali Khamenei berkata, “Sejak dulu saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan diminta mengemban amanat yang sangat berat ini. Saya selalu mengatakan kepada siapa pun bahwa saya bukan orang yang tepat untuk mengemban amanat sebagai pejabat negara. Jangankan menjadi rahbar, menjadi presiden ataupun jabatan yang ada di bawahnya pun bukanlah kapasitas saya. Saat saya akan mengakhiri jabatan presiden periode kedua yang akan berakhir beberapa bulan lagi, saya mengatakan kepada Imam bahwa secara konstitusional, saya tidak mungkin lagi menjadi presiden. Saya meminta kepada Imam untuk memberikan tugas di bidang budaya kepada saya karena saya meyakini bahwa kapabilitas saya hanya di bidang ini.”

Persidangan berjalan alot namun keputusan akhirnya diambil. Sayid Ali Khamenei menggantikan Imam Khomeini. Betullah kata Ayatullah Talegani, Imam Jumat pertama setelah revolusi Islam Iran, bahwa Sayid Ali Khamenei  adalah pemimpin masa depan Iran dan dunia Islam.

“Ya Allah, jagalah revolusi Islam pimpinan Khomeini ini hingga bangkitnya revolusi Imam Mahdi nanti. Khamenei adalah pemimpin tercinta kami. Lindungilah ia. Berikan pertolongan dan kemenangan kepada para prajurit Islam di mana pun mereka berada. Amin, ya Rabbal ‘alamin.” (*)

Sumber Artikel: Safinah Online

Sumber Foto: AFP Via Kompas.com

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT