Search
Search
Close this search box.

Imam Ja’far Shadiq, Maha Guru Para Imam dalam Mazhab Islam

Imam Ja’far Shadiq merupakan Imam dalam mazhab Islam yang mempelopori pengembangan berbagai bidang ilmu, salah satunya fikih. (Thayyibah)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib merupakan imam keenam mazhab Syiah Imamiyah dan imam kelima mazhab Ismailiyah. Nama ayahnya Imam Muhammad Baqir dan ibundanya adalah Ummu Farwah putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.

Imam Shadiq lahir pada 17 Rabiul Awal 83 H/702 di Madinah, dan meninggal di sana pada tahun 148 H/766 pada umur 65 tahun.

Julukan masyhur Imam Shadiq adalah Abu Abdillah (merujuk anak keduanya bernama Abdullah al-Afthah). Ia juga dijuluki dengan Abu Ismail (merujuk anak pertamanya bernama Ismail) dan Abu Musa (merujuk salah satu anaknya bernama Imam Musa Kazhim).

Advertisements

Gelar utama Imam yang termasyhur adalah Shadiq yang berarti orang yang jujur. Menurut sebuah hadis, Nabi Saw memberikan gelar tersebut kepadanya supaya terbedakan dengan Ja’far al-Kadzab.

Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa Imam Shadiq dijuluki Shadiq karena mencegah diri dari ikut serta dalam pemberontakan-pemberontakan pada masanya.

Sebab, orang yang pada masa itu merekrut orang-orang di sekitarnya dan menggerakkan mereka untuk bangkit melawan pemerintah. Mereka disebut Kadzdzab (pembohong). Pada periode para imam masa itu, julukan ini digunakan untuk Imam Shadiq.

Beberapa ulama Ahlusunah seperti Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan Jahizh juga menyebut Imam Shadiq dengan julukan ini.

Kesaksian Para Tokoh Sejarah

Jika kita ingin mengenal kebesaran seseorang yang pernah hidup di masa lalu, salah satu caranya adalah dengan memperhatikan kesaksian para tokoh sejarah tentang kehidupannya, keberagamaannya, keilmuan dan berbagai keutamaannya.

Untuk lebih mengenal keutamaan Imam Ja’far, kami nukil kesaksian para tokoh sejarah tentang beliau.

Zaid bin Ali Zainal Abidin, salah seorang paman beliau berkata, “Di setiap zaman selalu ada seorang laki-laki dari kami Ahlulbait yang menjadi hujjah Allah atas seluruh makhluk dan di zaman kami, beliau adalah putra saudaraku, Ja’far yang tidak akan sesat siapa yang mengikutinya dan tidak akan mendapatkan petunjuk siapa yang meninggalkan atau menyelisihinya.” (Al-Kafi: 1/306)

Malik bin Anas berkata, “Belum pernah mata melihat, telinga mendengar dan terlintas pada hati manusia seseorang yang lebih baik daripada Ja’far bin Muhammad Al-Sadiq dari sisi ilmu pengetahuan, ibadah dan kesalehan.” (Tahdziybu Al Tahdziyb 2/104)

Malik bin Anas juga berkata, “Aku sering mendatangi Ja’far bin Muhammad. Beliau selalu mempersilakan sebuah tempat duduk dan bantal terhormat untukku. Beliau adalah seorang yang humoris dan selalu tersenyum. Namun di saat disebut nama Rasulullah Saw berubah wajahnya menjadi sedih dan pucat. Setiap aku datang ke rumahnya maka aku selalu dapatkan beliau dalam keadaan salat, puasa atau membaca Alquran. Tidak pernah aku saksikan beliau menukil hadis Rasulullah Saw kecuali dalam keadaan berwudhu. Beliau tergolong ulama yang ahli ibadah dan zuhud yang takut kepada Allah SWT.” (Malik Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa ara uhul Fiqhiyyah karya Muhammad Abu Zuhrah Hal 108, menukil dari kitab Al Madarik hal. 210)

Malik juga bercerita tentang pengalamannya berhaji bersama Imam Ja’far bin Muhammad Ash Shadiq, “Di saat semua siap untuk memulai ihram, Imam Ja’far tidak mampu untuk memulai ihramnya, wajahnya pucat pasi, beberapa kali beliau bermaksud untuk melafaskan talbiyah namun suara beliau terputus, seolah-olah tenggorokan beliau menjadi sesak dan hampir saja beliau terjatuh dari kudanya. Aku katakan padanya, ‘Ucapkanlah wahai putra Rasulullah, Engkau harus mengucapkannya!’ Beliau menjawab, ‘Wahai putra Abu Amir (julukan Imam Malik) bagaimana aku berani mengucapkan talbiyah, aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah!, aku khawatir, Allah menolak seruanku dengan firman-Nya, laa labbayka wa laa sa’dayka¸ tidak ada labbayk bagimu dan tidak ada kebahagiaan bagimu! (Al Khishal Syaikh Shaduq hal. 167)

Mansur Al-Dawanyqi berkata, “Ja’far bin Muhammad adalah maksud dari salah seorang yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Alquran, ‘…kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar’. (surah Fatir (35): 32) Beliau adalah yang dimaksud dengan yang lebih dahulu (terdepan) dalam berbuat kebaikan. (Sirah Al-Yaqoubi: 3/17)

Abd al-Rahman bin Abi Hatim al-Razi (wafat. 327 H) berkata, “Saya mendengar ayah saya berkata: Ja’far bin Muhammad adalah tepercaya (tsiqah) orang seperti dia tidak perlu dipertanyakan.”

Dia (Abd al-Rahman bin Abi Hatim al-Razi) juga berkata, “Saya mendengar Abu Zar’ah ditanya tentang Ja’far bin Muhammad, tentang ayahnya, tentang Suhail bin Abi Salih dan ayahnya, mana di antara mereka yang lebih terpercaya? Dia (Abu Zar’ah) menjawab bahwa Ja’far bin Muhammad tidak bisa dibandingkan dengan mereka. (Al Jarh Wa Al Ta’diyl 2/487).

Abu Hatim Muhammad bin Hayyan (wafat. 354 H) berkata, “Beliau adalah salah satu penghulu Ahlulbait dalam ilmu hukum, ilmu pengetahuan (lainnya) dan keutamaan.” (Al-Tsiqaat 6/131).

Abu Abd al-Rahman al-Salami (325-412 H) mengatakan, “Beliau melampaui semua rekan-rekannya dari pribadi-pribadi Ahlulbait Rasulullah Saw, memiliki banyak pengetahuan, kezuhudan luar biasa, keberpantangan akan kecenderungan dunia, serta puncak kebijaksanaan.” (Al Imam Al Shadiq Wal Madzahib Al Arba’ah 1/58).

Abu Nu’aim Al Isfahani, penulis kitab Hilyat Al Awliya (wafat 430 H) berkata, “Di antara mereka (Ahlulbait) terdapat seorang Imam (yang paling layak) dalam tutur kata (sebagai rujukan agama) dan kepemimpinan, yaitu Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad al-Sadiq, yang telah mendedikasikan dirinya dalam penghambaan dan ketaatan (kepada Allah SWT), lebih memilih keterasingan (uzlah) dan kesunyian, serta melarang sikap ambisi kekuasaan dan (ketenaran) dalam keramaian.” (Hilyat Al Awliya 1/72).

Al-Shahristani (479-548 H) menambahkan apa yang dikatakan al-Salami bahwa Imam Ja’far selama beberapa tahun tinggal di Madinah mengajar para Syiah atau pengikutnya serta menitipkan kepada para loyalisnya sejumlah rahasia dari ilmu (khusus), kemudian beliau menetap beberapa tahun di Irak, namun tidak pernah menampilkan dirinya sebagai pemimpin dan tidak pernah pula mengambil alih kekhalifahan. Sungguh seorang yang telah tenggelam dalam lautan pengetahuan tidak akan pernah berambisi pada kekuasaan dan seorang yang telah berada pada puncak kesempurnaan hakiki tidak akan khawatir (pada siapa pun dari pesaingnya) untuk menjatuhkannya. (Al Milal WA Al Nihal 1/147)

Al-Khawārizmiy (wafat. 568 H) saat menyebutkan tentang biografi Abu Hanifah menukil ucapan beliau, “Saya tidak pernah menjumpai seorang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad, andaikan bukan karena dua tahun maka celakalah Nukman (baca: saya). Yakni dua tahun di mana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far al-Sadiq.” (Manaqib Abi Hanifa: 1/172).

Muhammad bin Talha al-Syafi’i (wafat 652 H) mengatakan bahwa Imam Ja’far adalah salah satu dari orang-orang besar dari keluarga Nabi (Saw), salah seorang penghulu mereka, pemilik ilmu yang banyak, ahli ibadah dan zikir yang berkesinambungan, kezuhudan yang nyata, selalu membaca Alquran dan merenungi maknanya, mengeluarkan darinya mutiara dan keajaibannya. Beliau membagi waktunya untuk melaksanakan berbagai ketaatan dan selalu menghisab dirinya. Setiap orang yang melihatnya akan mengingat akhirat, setiap orang yang mendengarkan kata-katanya akan berlaku zuhud dari kecenderungan pada dunia, dan setiap yang meneladaninya, maka akan mewarisi surga. Cahaya dari ciri-cirinya menjadi bukti nyata, bahwa beliau adalah keturunan kenabian, kesucian tindakannya adalah meniscayakan bahwa beliau titisan kerasulan. Banyak pemuka umat yang menimba ilmu dan sabda Rasul dari beliau. Mereka mengais kemuliaan dan keutamaan dengan menimba ilmu dari beliau.

Adapun keutamaan dan sifat-sifat mulia beliau, maka hampir tak ada yang mampu untuk menghitung dan menorehkan pena atas hal itu. Banyaknya ilmu yang tersimpan dalam kalbunya melukiskan ketakwaan, melahirkan hukum-hukum yang akal tak mampu menguasainya apalagi menguasai hikmah dan filosofinya.

Diriwayatkan bahwa kitab Al Jafr yang ada di Maroko dan menjadi warisan turun-temurun Keluarga Abdul Mukmin adalah sebagian dari sabda dan mutiara hikmahnya. (Mathalib Al Su ul Fiy Manaqib Alir Rasul 2/56)

Ibnu Khalqan (608-681 H) mengatakan bahwa Ja’far al-Sadiq adalah salah seorang dari dua belas Imam dalam keyakinan Syiah Imamiyah dan merupakan salah satu pemimpin Ahlulbait. Beliau dijuluki dengan al-Sadiq karena kejujurannya dalam tutur katanya. Keutamaannya sangat terkenal. Ahli dalam berbagai bidang ilmu hingga kimia dan peramalan. Beliau dimakamkan di Al-Baqi’ Madinah, bersama ayahnya, Muhammad Al-Baqir, dan kakeknya Ali Zain Al-Abidin, serta paman dari kakeknya Al-Hasan bin Ali (semoga Allah meridai mereka semua). Alangkah mulianya kuburan ini. (Wafayat Al A’yan 1/327).

Al Bukhariy (756-822) dalam kitab Fashl Al Khithab menyebutkan, bahwa mereka (para ulama) telah sepakat akan keagungan Ash Shadiq (as) dan kesayyidannya. (Yanabi’ Al Mawaddah hal. 380 Cet. Istanbul-Turki)

Ibn al-Sabbagh al-Maliki (784-855 H) mengatakan, tak ada seorang pun dari Ahlulbait yang menukil hadis seperti beliau dari sisi banyaknya sehingga ilmu dan keutamaan beliau tersebar ke seluruh negeri. Sekelompok orang telah meriwayatkan, bahwa ayahnya telah mewasiatkan kepemimpinan padanya dengan wasiat yang jelas. (Al Fushul Al Muhimmah 222)

Keluasan Ilmu dan Pengetahuan

Salah satu tanggung jawab para imam suci yang paling besar adalah menyebarluaskan ilmu, kemuliaan akhlak, dan fikih sejati Islam yang dipelajarinya dari Rasulullah Saw. Semua imam suci memiliki kesiapan yang sempurna untuk menunaikan kewajiban yang penting ini. Namun sayangnya, mereka dihadapkan kepada batasan-batasan dari para penguasa yang zalim. Mereka tidak mengizinkan para imam untuk menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan agama yang diperlukan oleh masyarakat.

Para pengikut imam suci juga tidak berani merujuk dan bertanya kepada mereka dan terpaksa melakukan taqiyyah, khususnya di era Bani Umayyah yang memang mengondisikan iklim yang mencekam dan mengkhawatirkan di tengah umat Islam dan melancarkan propaganda buruk terhadap Imam Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait.

Di masa Imam Muhammad Baqir dan lmam Ja’far Shadiq, keadaannya sedikit berubah. Kondisi yang menakutkan itu telah pecah dan masyarakat mulai menyadari ketertindasan Ahlulbait.

Masyarakat memerlukan ilmu nubuwwah yang asli, yang diamanahkan kepada para imam. Pemerintahan Bani Umayyah semakin melemah dan goyah sehingga terpaksa mengurangi pembatasan-pembatasan.

Pada awal-awal periode pemerintahan Bani Abbas, juga terjadi hal yang sama karena tonggak-tonggak pemerintahan mereka belum kukuh sehingga terpaksa memberikan kebebasan bagi aktivitas dakwah Ahlulbait.

Imam Baqir dan Imam Shadiq tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Beliau memanfaatkan peluang itu untuk menyebarluaskan ilmu, pengetahuan, serta fikih nubuwwah yang hakiki.

Imam Shadiq mendidik dan membimbing banyak murid serta mengajarkan kepada mereka ribuan hadis dalam berbagai bidang, yang di antaranya terdapat dalam kitab-kitab hadis. Apabila merujuk kepada kitab-kitab hadis, kita akan melihat bahwa hadis dalam jumlah yang paling besar adalah hadis yang diriwayatkan dari dua imam besar tersebut.

Dalam Manaqib ditulis, bahwa ilmu yang dinukil dari Imam Ja’far Shadiq tidak pernah dinukil dari orang lain. Sejumlah shahibul hadis mengumpulkan nama-nama perawi yang terpercaya, yang jumlahnya mencapai 4.000 orang. (Manaqib Ali Abi Thalib, jil, 4, hal. 268)

Abu Na’im meriwayatkan dalam kitab Hilyatul Auliya bahwa para pemuka agama dan ulama besar yang meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far bin Muhammad adalah seperti Malik bin Anas, Sya’bah bin Hujjaj, Sufyan Tsauri, Ibn Juraih, Abdullah bin Amr, Ruh bin Qasim, Sufyan Uyainah, Sulaiman bin Bilal, Ismail bin Ja’far, Hatim bin Ismail, Abdul Azis bin Mukhtar, Wahab bin Khalid, dan Ibrahim bin Thahan.

Muslim dalam Shahihnya menukil hadis dari Imam Ja’far dan berargumen dengan itu. Yang lainnya mengatakan bahwa Malik, Syafi’i, Hasan, Shalih, Abu Ayyub Sajistani, Amr bin Dinar, dan Ahmad bin Hambal juga meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far bin Muhammad.

Malik bin Anas berkata, “Hingga kini belum terlihat dan terdengar bahwa ada seseorang dari sisi ilmu, kemuliaan, ibadah, dan ketakwaan yang lebih mulia dan utama daripada Ja’far Shadiq.” (Manaqib Ali Abi Thalib, jil. 4, hal. 269)

Imam Ja’far Shadiq berkata, “Aku mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan apa yang ada di surga dan neraka, dan di masa akan datang dan masa lalu, dan aku menggunakan Alquran.” (Manaqib Ali Abi Thalib, jil. 4, hal. 270)

Shalih bin Aswad berkata: “Aku mendengar dari Ja’far bin Muhammad yang berkata, ‘Tanyakanlah apa saja yang engkau kehendaki sebelum kalian kehilangan aku karena setelahku, seseorang tidak akan dapat menyampaikan hadis seperti diriku.” (Biharul Anwar, jil. 47, hal. 33)

Ismail bin Jabir menukil dari Ja’far Shadiq yang berkata, “Allah Swt mengutus Muhammad sebagai Rasul dan setelah itu, tidak akan ada nabi lain. Allah menurunkan al-Kitab dan setelah itu, tidak akan ada kitab lain. Di dalam Kitab itu, Allah Swt menghalalkan sejumlah perbuatan dan mengharamkan sebagian. Halal Allah tetap halal hingga hari kiamat dan haramnya akan haram hingga hari kiamat. Berita-berita orang yang terdahulu, masa akan datang, dan masa sekarang terdapat dalam Kitab samawi ini.” Kemudian Imam as menunjuk dadanya dan berkata, “Semuanya kami ketahui.” (Biharul Anwar, jil. 47, hal. 35)

Imam Ja’far Shadiq berkata, “Ilmu terbagi menjadi empat bagian: simpanan-simpanan masa lalu, yang bersifat tertulis, apa yang didoktrin di hati kami, dan apa yang disebutkan di telinga kami. Kitab Jufr Ahmar, Jufr Abyadh, Mushaf Fatimah, Kitab Jami’ah ada di sisi kami. Apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat telah tercatat di sana.”

lbnu Abil Hadid menulis: “Para sahabat Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf dan Muhammad belajar ilmu fikih dari Abu Hanifah. Syafi’i adalah murid Muhammad bin Hasan yang belajar ilmu fikih dari Abu Hanifah. Ahmad bin Hambal belajar ilmu fikih dari Syafi’i. Maka fikih pun kembali kepada Abu Hanifah sedangkan Abu Hanifah belajar dari Ja’far bin Muhammad.” (Syarah Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 18)

Mas’udi menulis: “Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad mengadakan jalsah atau majelis bagi masyarakat umum dan orang-orang khusus. Mereka datang dari berbagai penjuru negeri untuk menanyakan berbagai persoalan halal dan haram, tafsir dan takwil Alquran, serta hukum-hukum pengadilan. Tidak ada seorang pun yang keluar dari majelis itu kecuali telah merasa puas terhadap jawaban Imam Ja’far.” (Itsbatul Mashiah, hal. 156)

Sumber: Disadur dari Safinah Online

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA