Oleh: Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat
Di tengah-tengah umat yang dirundung kemalangan demi kemalangan, seorang lelaki Mukmin datang memberi harapan. Di tengah-tengah umat yang sudah kehilangan keberanian, ia berdiri tegak meneriakkan kebenaran. Jutaan kaum Muslimin seluruh dunia menemukan pemimpin mereka. Setelah ratusan tahun merintih dalam gelombang penindasan yang tak kunjung berhenti, pemimpin ini menyuarakan hati nurani mereka. Ia berbicara kepada dunia tentang Islam tidak dengan suara memelas. Ia tidak mengemis minta belas kasihan. Ia tidak merendahkan suaranya karena takut pembalasan. Ia membentak musuh-musuh umat dengan suara lantang. Dunia pun mendengar suara Islam yang menggetarkan, menggerakkan, membangkitkan, dan menghidupkan.
Lelaki Mukmin ini berkata, “Inilah kata-kataku yang terakhir bagi kaum Muslimin dan rakyat yang tertindas di seluruh dunia: Kalian tidak boleh duduk berpangku tangan dan diberi anugerah kemerdekaan dan kebebasan oleh orang yang berkuasa di negeri kalian atau oleh kekuatan asing. Kalian, wahai rakyat tertindas di dunia, hai negeri-negeri Muslim. Bangun, ambillah hak kalian dengan gigi dan cakar kalian.”
Umat Islam terpesona mendengar suara ini. Biasanya, mereka mendengar pemimpin Islam yang menyuruh mereka bersabar, yang memberikan obat penenang, yang meniupkan impian. Suara lelaki ini lain. Ia menggugah, ia mengelektrifisir, ia menghentak.
Maka, jutaan umat Islam bangun dari tidur mereka yang panjang. Di bawah komando lelaki ini, rakyat Iran menumbangkan tiran yang paling kuat di Negara Dunia Ketiga. Akan tetapi, suaranya tidak hanya menggerakkan Iran. Suaranya melintas ke seluruh penjuru dunia. Bangkitlah jutaan umat Muhammad: sebagian tersentak, sebagian besar hanya menggeliat. Apa pun yang terjadi, jalan sejarah telah berubah. Harian Independent dari Inggris menulis, “It’s rare than one person, is given the mission of changing the path history. The mission was given to Ayatullah Khomeini.” Ya, dialah Ayatullah Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini.
Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pengalaman orang-orang yang pernah berhadapan dengan tokoh besar ini. Saya ingin mulai dengan pengalaman Robin Woodsworth Carlsen, seorang filusuf Kanada yang non-Muslim. Setelah itu, saya akan hantarkan kisah-kisah kehidupan Imam seperti yang diceritakan oleh orang-orang yang dekat dengan Imam Khomeini, yaitu Sayyid Akhmad Khomeini dan istrinya.
Robin Woodsworth Carlsen adalah seorang penyair dan filusuf Kanada. Ia menulis beberapa buku filsafat, antara lain Enigma of An Absolute: The Consciousness of Ludwig Wittgenstein. Sebagai wartawan, ia telah tiga kali berkunjung ke Iran. Pada kunjungan yang ketiga, Februari 1982, beserta para peserta konferensi internasional, ia berkesempatan beraudiensi dengan Imam Khomeini di Jamaran. Pertemuan dengan Imam diceritakannya dengan bahasa yang sangat filosofis dalam bukunya The Imam and His Revolution: A Journey Into Heaven and Heil. Sangat sulit bagi saya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah dicerna. Saya akan kutipkan secara langsung sebagian saja dari tulisannya, dan di sana sini saya akan menceritakan kembali dalam narasi saya sendiri.
Pada malam 8 Februari diumumkan bahwa peserta konferensi akan mendapat kesempatan mendengarkan pidato Imam. Carlsen melihat pertemuan ini sebagai kesempatan penting untuk meneliti Imam secara kritis. Sebagai seorang filusuf, ia sudah sering berjumpa dengan orang-orang yang dianggap suci, tetapi ia meragukan kesucian Imam Khomeini. “Terlalu banyak dendam, darah, dan absolutisme” di sekitar pribadi Imam. Sebagai wartawan Barat, ia sudah memperoleh gambaran tentang sosok Imam Khomeini yang sangat jelek. Majalah Times telah mengungkapkan banyak hal buruk tentang kehidupan Imam. Dengan kerangka pikiran seperti itulah, Carlsen ingin mengamati Imam dari dekat. Sebagai filusuf, ia sudah mempersiapkan pikiran yang kritis, pikiran yang setiap saat siap mengevaluasi orang secara radikal.
Anehnya, begitu ia naik bus menuju Jamaran, hatinya dipenuhi perasaan yang luar biasa. Hatinya ikut bergejolak sebagaimana dirasakan para penumpang bus lainnya. Ia merasa kalau sebentar lagi ia akan menyaksikan sebuah peristiwa hebat.
Sekarang kita dengarkan cerita Carlsen: “Saya duduk di bagian depan ruangan. Kursi Khomeini, yang tertutup kain putih, terletak di atas panggung di hadapan kami kira-kira lima belas kaki di atas lantai.
Seorang mullah bercambang putih mengawasi kami ketika kami memasuki ruangan. Ia memperbaiki mikrofon, sambil dengan sabar menunggu kedatangan Imam dari pintu tertutup di sebelah kanan panggung tempat ia memberikan ceramahnya. Ruangan dipenuhi harapan yang disampaikan dengan berbisik. Sekali-kali sebagian orang Islam meneriakkan slogan atau ayat-ayat Alquran, lalu diikuti oleh ratusan orang Islam dan pengawal revolusi yang hadir di situ. Tidak seorang pun diperbolehkan merokok. Sikap penghormatan yang menguasai orang-orang yang menunggu Imam telah mengubah pemandangan yang biasanya kita lihat di Iran. Ketika saya mengamati panggung tempat Imam Khomeini menyampaikan ratusan pidatonya, mata saya menangkap ketenangan, kemurnian, dan kesegaran fisik yang melayang-layang, atau lebih tepat lagi berkumpul dalam sebongkah energi yang kokoh dan tembus cahaya, yang sangat berbeda dengan hotel tempat kami menginap, bahkan berbeda dengan lingkungan mana pun yang pernah saya lihat dalam dua kali kunjungan saya ke Iran. Masjid saja tidak memancarkan sifat-sifat ini, sosok energi yang bulat. Mungkin Imam itu seorang manusia yang tercerahkan seorang sufi sejati atau barangkali lebih dari itu? Semua tanda menunjukkan bahwa apa yang terjadi di sini menyeruak kepada apa pun yang terjadi di Iran di luar ruangan ini. Perasaan seperti ini hanya mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya berada di front pertempuran atau ketika saya berjalan-jalan di pemakaman Beheste Zahra. Saya hanya dapat menjelaskan perasaan ini dengan berasumsi bahwa barangkali kesyahidan itu ada, bahwa pelepasan ruh suci yang tiba-tiba dari tubuh, dengan membawa ruh itu ke langit karena niat syahid, telah menciptakan energi yang suci, energi yang dibekahi Allah sendiri.
Kami menunggu di sana kira-kira 45 menit sebelum terlihat tanda-tanda kedatangan Imam. Tanda-tanda itu sangat jelas. Beberapa ulama berserban muncul dari pintu itu dan memberi isyarat kepada mullah yang ada di panggung bahwa sang pemimpin, ulama besar, panglima, dan imam sebentar lagi datang. Ketika Khomeini muncul di pintu semua orang bangkit dan mulai berteriak, “Khomeini…Khomeini… Khomeini” teriakan penghormatan kepada manusia yang paling menggetarkan, paling ceria, dan paling bergelora yang pernah saya saksikan. Semua orang betul-betul diseret ke dalam gelombang cinta dan pemujaan yang spontan seraya dengan setiap butir sel dalam jantungnya menyatakan keyakinan mutlak bahwa orang yang mereka hormati itu pantas mendapatkan kehormatan di sisi Allah. Sungguh, aku berani mengatakan bahwa ledakan ekstase dan kekuatan yang menyambut Imam bukan hanya sekadar refleks karena pancingan tertentu tentang Imam. Ia adalah senandung puji yang alamiah dan bahagia; senandung penghormatan yang lahir karena keagungan dan kharisma dahsyat dari orang ini. Ketika pintu dibuka untuknya, saya mengalami badai gelombang energi yang datang dari pintu itu. Dalam jubah cokelat, serban hitam, dan janggut putih, ia menggerakkan semua molekul dalam ruangan itu dan mencengkeram semua perhatian sehingga lenyaplah apa pun selain dia. Dia adalah pancaran cahaya yang menembus jauh ke dalam kesadaran semua orang di ruangan itu. Dia menghancurkan semua citra yang ditampilkan untuk menyainginya. Kehadirannya begitu mencekam sehingga aku harus menyusun kembali sensasiku, jauh di luar konsep-konsepku, jauh di luar kebiasaanku mengolah pengalaman.
Aku sudah mempersiapkan apa pun keadaan orang ini untuk meneliti wajahnya, menggali motivasinya, memikirkan sifat yang sebenarnya. Kekuasaan, kebesaran, dan dominasi absolut Khomeini telah menghancurkan semua cara penilaianku. Di situ aku hanya mengalami energi dan perasaan yang memancar dari kehadirannya di panggung. Walaupun ia itu taufan, segera kita akan menyadari bahwa di dalam taufan itu ada ketenangan yang mutlak. Walaupun perkasa dan menaklukkan, ia tetap tenang dan damai. Ada sesuatu yang tidak bergerak dalam dirinya, tetapi ketidakbergerakannya itu telah menggerakkan seluruh Iran. Ini bukan orang biasa. Bahkan, semua orang suci yang pernah aku temui, semacam Dalai Lama, pendeta Budha dan pendeta Hindu, tidak seorang pun memiliki sosok yang menggetarkan seperti Khomeini. Bagi siapa saja yang dapat melihat atau merasa, tidak mungkin meragukan integritas pribadinya atau anggapan orang-orang yang disembunyikan oleh orang-orang seperti Yazdi bahwa ia telah meninggalkan diri manusia yang normal (atau abnormal) dan telah mencapai tempat tinggal yang mutlak. Kemutlakan itu dinyatakan dalam udara, dinyatakan dalam gerak tubuhnya, dinyatakan dalam gerak tangannya, dinyatakan dalam nyala kepribadiannya, dinyatakan dalam ketenangan kesadarannya. Tidak mengherankan apabila ia dicintai jutaan orang Iran dan kaum Muslim sedunia. Bagi pengamat ini, paling tidak ia telah menunjukkan bukti empiris tentang adanya tingkat kesadaran yang tinggi.
Mula-mula ia tidak bicara; pemimpin agama yang lain yang berbicara kepada hadirin. Khomeini duduk dalam kesunyian yang tak bernoda dan dalam keserasian yang sempurna. Ia tak bergerak, ia terpisah, ia berada dalam lautan ketenangan. Tetapi ada suatu yang bergerak murni, ada sesuatu yang terlibat secara dinamis, ada sesuatu yang setiap saat siap melancarkan peperangan. Ia mengecilkan semua orang yang pernah saya temui di Iran. Ia menguasai panggung itu walaupun ada mullah lain yang tengah bicara. Semua mata terpaku pada Khomeini dan ia tidak menunjukkan sedikit pun kepongahan atau sadar diri atau aku berani mengatakan tidak sedikit pun kelihatan melamun atau berpikir ke sana ke mari. Seluruh wajahnya secara terus-menerus dan secara spontan diarahkan kepada konsentrasi yang secara estetik dan spiritual serasi dengan pemandangan yang kami saksikan. Di sinilah ratusan pejuang dan kaum Muslimin meneriakkan kebesarannya, menyatakan kecintaan, dan penghormatan mereka kepadanya. Tetapi ketika ia menerima semuanya itu, ia tenang dalam dirinya, ia tidak bergerak. Ia tetap besar dalam keadaan batin yang tidak tergoncangkan keadaan yang sebab musababnya di luar jangkauan pengetahuanku.
Mungkin pembaca mengernyit mendengar gambaranku yang berlebihan tentang orang ini. Tetapi ia harus sadar bahwa walaupun aku sudah mendengar apa pun tentang dia, walaupun banyak bukti yang kontradiktif telah saya terima sebelumnya, kesan langsung dan sebenarnya tentang pribadi Imam Khomeini tidak lagi dapat dilukiskan dengan ide atau konsep. Pengalaman itu terlalu perkasa untuk dilukiskan seperti itu. Saya melakukan transendensi dari pengalaman biasa yang menentukan sensasi, pikiran, dan perasaan yang berpusat pada kesadaran diriku. Khomeini begitu perkasa. Khomeini begitu kuat dan tak terkalahkan. Waktu itu juga aku melihat semua dorongan revolusi, semua sejarah penggulingan Syah, irama kesyahidan, dan masa lalu peradaban Islam yang membayangi Barat untuk waktu tertentu.
Semua itu terkandung dalam kehadiran orang ini. Dia adalah sumber kebangkitan Islam. Dia adalah sumber revolusi. Dia adalah sumber segala kekuatan yang ditampilkan oleh revolusi ini dan oleh Islam ke hadapan dunia. Aku yakin tanpa dia, monarki masih bercokol dan Islam secara efektif akan disingkirkan sebagai faktor dalam nasib politik Timur Tengah. Siapa saja yang memiliki kesadaran atau perasaan untuk mengetahui apa yang diwakili Imam Khomeini (yaitu kehidupan utuh yang memihak Islam) tidak bisa tidak akan dipenuhi dengan semangat Islam, keyakinan syahid yang diberkahi, dan tekad untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Ia mengangkat. Ia mentransformasikan. Khomeini adalah pusat ledakan Islam. Khomeini adalah mata air kekuatan ruhaniah yang mengalir ke dalam hati kaum Muslimin di Timur Tengah—atau paling tidak pada semua kaum Muslim yang secara naluriah dekat dengan jantung Islam.
Ia tidak tertawa. Wajahnya telah terpatri pada keteguhan niatnya. Tuhan telah meminta segalanya dari dia, dan dia pun telah memberikan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Tak ada lagi yang patut ditertawakan, yang patut dijadikan hiburan, atau yang patut dilamunkan. Jalan hidupnya telah ditentukan dan ia siap menerima akibat dari jalan hidup yang telah ditentukannya itu: untuk menegakkan Islam yang berasal dari Tuhan. Ia hidup untuk Islam. Ia telah menjadi instrumen Islam. Ia tidak mempunyai tujuan apa pun kecuali untuk menjalankan Islam. Individualitasnya telah tenggelam dalam universalitas tujuannya yang luhur.
Aku harus berkata lebih jauh lagi: Imam Khomeini menembus hati dan otakku dengan arus emosi yang hanya dapat aku gambarkan sebagai positivitas ekstrem, sesuatu yang lebih baik aku sebut “cinta”. Betapa pun tegasnya dalam menjalankan ajaran Islam, betapapun tak tergoyahkan sikapnya, betapapun kebalnya terhadap perasaan individu, ia dipenuhi cinta yang membersihkan hatiku, memenuhinya dengan kebahagiaan yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Ketika aku duduk di sana, pandanganku terpusat kepada wajahnya (dan sinar yang mengitarinya) dan pada saat yang sama dipenuhi dengan energi yang dapat aku hubungkan dengan sejenis kreativitas dan daya yang paling hayati. Dia adalah generator energi dan perasaan yang memenuhi hati dan membersihkan katakanlah ruh. Aku ingin mempertahankan sikap netral, sikap tidak terlibat yang kritis dalam menghadapi Imam. Akan tetapi, di sini aku kehilangan batas-batas individualitasku. Di sini aku menemukan perasaan dan sensasi halus yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku dipenuhi oleh manusia Muslim yang suci, manusia yang dianggap—barangkali oleh seluruh dunia—paling tidak sanggup mengisi wartawan Barat dengan rasa bahagia yang Ilahiyah, kejernihan kesadaran yang Ilahiyah. Tetapi, memang inilah pengalamanku. Imam Khomeini telah aku alami sebagai satu-satunya realitas yang memperluas kesadaranku, memurnikan hatiku, menjernihkan otakku. Ketika ia pergi meninggalkan berkat yang tidak pernah berkurang, berkat yang masih terus berada dalam diriku, walaupun tertutup oleh kesibukan hari ini.”
Saya akan menghentikan kutipan dari Carlsen sampai di sini. Pertemuannya dengan Imam selama 30 menit telah memenuhinya dengan cinta dan penghargaan terhadap sosok Imam Khomeini. Setelah Imam pergi, setelah semua pengunjung meninggalkan ruangan, Carlsen masih terpaku di depan kursi Imam. Seperti patung, orang melihat Carlsen sedang tenggelam dalam lautan kesadaran. Matanya masih menatap kursi Imam, dan butir-butir air mata bergulir pada pipinya. Ia baru sadar lagi ketika beberapa orang Pengawal Revolusi mengajaknya bicara. Mereka menawarkan pertemuan khusus dengan Imam.
Singkat cerita, ia bermaksud menemui Imam dalam sebuah ruang khusus bersama para mullah yang lain. Tetapi, ternyata Imam harus menemui rombongan baru yang ingin menemuinya lagi di ruangan. Di sana, dalam sebuah lorong di antara kedua ruangan itu, Imam Khomeini menjulurkan tangannya. Ia tidak dapat berbicara. Ia membisu. Ia merasakan getaran hebat. “He sent the thunderbolts of his immorable power into my eyes,” kata Carlsen. Muhammad, penerjemah Carlsen, mencium tangan Imam dengan khidmat. Kepada Carlsen, Muhammad memperlihatkan tangannya dengan bangga. Ia berjanji bahwa sejak saat itu “tangannya tidak akan pernah lagi menyentuh apa pun yang haram dan kotor”.
Sekarang kita beralih pada pengalaman Sayyidah Fathimah Thabathabai, menantu Imam. Di sini akan kita tuturkan pengalamannya ketika ia pertama kali berjumpa dengan Imam di tempat pengasingannya di Irak.
“Tiga tahun setelah pernikahanku, aku dan suamiku pergi ke Irak. Kami mencapai rumah Imam pada tengah malam. Imam sendiri yang membukakan pintu bagi kami. Ia duduk, berbincang dengan kami sebentar, lalu meninggalkan kami untuk menunaikan shalat malam. Bagiku, hal ini sangat aeh, karena bukankah shalat malam itu sunnat saja dan ia dapat melakukannya nanti. Walaupun ia sangat mencintai suamiku, walaupun ia tidak pernah berjumpa dengannya selama bertahun-tahun, ia meninggalkan kami dan memulai shalatnya. Ini semua karena kecintaannya kepada shalat.
Di antara akhlak Imam yang juga segera saya kenal adalah sikap istikamahnya. Semua tugas dilakukannya dengan penuh disiplin. Setelah beberapa hari, saya menyadari bahwa untuk setiap jam, Imam mempunyai acara-acara khusus. Ketika saya bertanya kepada ibu mertuaku tentang acara Imam, ia berkata bahwa jika ia menjelaskan satu hari acara Imam, saya dapat menggandakannya dengan 360 hari, dan saya akan tahu acara Imam setiap hari.
Imam selalu menasihatiku untuk merencanakan acaraku dan melakukan pekerjaanku dengan penuh disiplin. Saya tidak tahu perkara-perkara agama yang kecil, tetapi dengan memperhatikan perilaku imam saya mempelajarinya. Misalnya, pada saat musim panas, ketika udara sangat panas dan tidak nyaman, ketika Imam akan mandi ia selalu memakai peci kecil. Saya baru tahu bahwa hukumnya makruh jika kita pergi ke kamar mandi tanpa peci. Kadang-kadang Imam harus menaiki 20 sampai 30 anak tangga, hanya untuk mengambil pecinya. Untuk wudhu, beliau selalu menghadap kiblat. Apabila tidak menghadap kiblat, ia merasakannya sebagai masalah. Ia pun melarang kami tertawa keras, karena hal ini makruh.”
Menurut Sayyidah Fatimah, Imam sangat menghormati istrinya. Ia tidak pernah menyuruh istrinya melakukan sesuatu. Misalnya, beliau tidak pernah menyuruh istrinya mengambilkan segelas air baginya. Ketika beliau ingin mengingatkan istrinya untuk meminum obat, beliau tidak menyuruh istrinya minum obat. Imam hanya menyediakan segelas air bagi istrinya.
Terakhir, saya ingin menceritakan lagi apa yang diceritakan oleh putra Imam, Sayyid Ahmad Khomeini. Imam menjadikan Alquran sebagai wirid sehari-harinya. Menjelang akhir hayat, Imam membaca Alquran delapan kali setiap hari: sebelum Subuh, sesudah Subuh, sebelum zuhur, sesudah Zuhur, sesudah Ashar, sesudah Maghrib, sesudah Isya, dan menjelang tidur. Setiap kali membaca, beliau menyelesaikan seperempat hizb. Sehingga dengan disiplin seperti itu, beliau mengkhatamkan Alquran sekali sebulan.
Pada suatu hari, kata Sayyid Khomeini, Imam bolak-balik di kamarnya seperti sedang dilanda kerisauan hati. Ketika Ahmad bertanya tentang apa yang beliau risaukan, Imam berkata, “Seandainya aku masih muda, demi kecintaanku kepada Rasulullah saw., aku akan pergi mencari Salman Rushdie dan akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.”
Inilah yang dirisaukan Imam pada hari-hari terakhir hayatnya. Ia telah menetapkan hukuman mati bagi Salman Rushdie, tetapi ia merasa kalau ia sendirilah yang layak membunuh orang yang menghina Rasulullah saw tersebut. (*)
Sumber: Buku Jalan Rahmat