Jakarta, beritaalternatif.com – Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan jumlah utang Indonesia, yang berkaitan dengan tata kelola utang: alasan penarikan, pemanfaatan, hingga pertanggungjawaban.
Ia menyebutkan, hingga akhir Februari 2022, utang pemerintah mencapai Rp 7.014,6 triliun atau 40,17% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal ini merupakan posisi aman karena jauh di bawah batas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yakni 60%. Terlebih saat ini dominasi kepemilikan investor domestik meningkat sehingga perekonomian Indonesia lebih tahan terhadap dinamika global dan domestik.
Yustinus mengakui bahwa total nominal utang pemerintah pusat dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Namun, pengelolaan utang juga terus diperbaiki dari waktu ke waktu, seperti komposisi SBN yang jauh lebih besar daripada porsi pinjaman agar pengelolaan utang menjadi lebih sehat.
Kata dia, kebijakan utang Indonesia berkesinambungan. Dari 2015 hingga 2019, proporsi utang yang ditarik oleh pemerintah menunjukkan tren menurun. Tetapi meningkat drastis pada 2020 karena pandemi Cavid-19.
“Namun, penambahan utang kita pun masih tergolong moderat ketimbang negara lain,” jelas Yustinus sebagaimana dikutip beritaalternatif.com dari akun Twitter resminya, Minggu (10/4/2022).
Setidaknya, sambung dia, sejak 2011 Indonesia berada pada posisi defisit fiskal. Pemerintah berusaha menekan besaran defisit sehingga konsisten di bawah 3%.
Namun, Covid-19 memaksa pemerintah memperlebar defisit. Tapi, secara bertahap defisit Indonesia kembali ke posisi di bawah 3% dengan efisiensi belanja dan optimalisasi pendapatan.
Utang pemerintah memang mengalami peningkatan secara nominal dari era awal Reformasi, pemerintahan SBY, lalu masa pemerintahan Jokowi. Penambahan signifikan terjadi saat pandemi. Dari total Rp 4.247 triliun (Oktober 2014-Desember 2021), Rp 2.122 triliun atau 50% ditarik 2020-2021.
Pendapatan negara pun kerap dirisaukan. Rasio utang terhadap pendapatan negara cenderung meningkat sehingga kerap timbul pertanyaan tentang kemampuan Indonesia membayar utang.
“Nah, tahun 2021 kondisi mulai membaik dan akan terus diperbaiki dengan reformasi perpajakan yang komprehensif,” terangnya.
Dia menyebutkan, rasio utang publik Indonesia salah satu yang rendah dengan penambahan utang yang moderat. Ini bukti utang terus dikelola secara hati-hati. Menurut IMF, tahun 2020 rasio utang terhadap PDB Indonesia ada di peringkat 132 dari 168 negara. “Sangat bagus!” tegasnya.
Dari sudut lain, lanjut Yustinus, penambahan nominal utang juga harus diletakkan bersandingan dengan pertumbuhan aset. Tahun 2020 aset pemerintah tumbuh tajam 2,5 kali lipat dibanding 2014. Selain karena revaluasi, ini menunjukkan pemanfaatan utang untuk keperluan produktif, bukan konsumtif.
Bunga juga sering dipersoalkan. Sejatinya penambahan beban bunga utang cukup rendah, cenderung stabil bahkan sudah mulai menunjukkan tren menurun. Pada tahun 2021, bunga utang terhadap jumlah utang pemerintah 4,97%, lebih rendah dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 5,17%.
Ia menjelaskan, tahun 2020 memang kebutuhan Indonesia untuk menghadapi Covid-19 sangat luar biasa. Hal ini tampak sangat jelas kualitas belanja APBN semakin baik. Belanja berbagai program prioritas pun tumbuh dengan baik. Artinya, utang semakin produktif untuk kepentingan publik.
Karena itu, kata dia, kebijakan dan tata kelola utang Indonesia berkelanjutan. Sebelum pandemi pemerintah fokus mempertahankan momen pertumbuhan dan mengejar kemajuan. Penundaan pembiayaan dengan berbagai dalih justru akan merugikan Indonesia.
“Yang penting dikelola dengan baik dan prudent. Setuju?” jelasnya.
Ia menegaskan, uang pajak dan utang dipakai untuk keperluan rakyat, mulai dari bansos, subsidi, hingga infrastruktur fisik dan nonfisik.
“Terima kasih kepada pembayar pajak. Terima kasih untuk tata kelola utang yang baik. Indonesia bisa! Indonesia maju, wajib!” ujarnya.
Indonesia masih berjuang agar pandemi segera berakhir. Berkat sinergi dan gotong royong semua pihak, pertumbuhan ekonomi negara ini berangsur membaik.
“Tingkat ketimpangan, pengangguran, dan kemiskinan mulai menurun. Tentu PR masih banyak, tapi kita layak optimis dan bangga dengan Indonesia kita!” pungkasnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin