Oleh: Poltak Hotradero*
Apakah Indonesia akan bernasib seperti Sri Lanka atau El Salvador dalam soal utang luar negeri? Bagaimana keadaan keuangan Indonesia terkait kewajiban utang?
Sama seperti kita semua yang punya utang, pemberi utang secara umum memberikan utang sesuai kemampuan membayar.
Kalau risiko gagal bayarnya tinggi, mereka akan minta bunga tinggi. Dan sebaliknya. Kalau risikonya rendah, mereka berani memberi utang jangka panjang vs pendek.
Semakin baik ekonomi suatu negara, maka risiko gagal bayar semakin kecil dan bisa dapat utang jangka lebih panjang.
Selanjutnya: kalau pemerintahnya disiplin soal budget, maka pemberi utang juga bersedia membeli surat utang dalam mata uang lokal vs mata uang asing.
Maka kita coba lihat dulu bagaimana profil utang komersial pemerintah Indonesia.
Mengingat utang komersial Pemerintah Indonesia dalam berbagai mata uang, maka perlu kita setarakan dulu.
Di sini saya sajikan dalam mata uang Rupiah (Rp 5000-an Triliun) dan USD (USD 335 Miliar).
Dari utang komersial sebesar itu, selanjutnya kita uraikan lagi: tersedia dalam mata uang apa saja? Bagian terbesar adalah dalam Rupiah, yaitu 80,33% yaitu senilai Rp 4000-an Triliun.
Lalu terbesar kedua dalam US Dollar, sebesar 15,09% senilai USD 50-an Miliar.
Masing-masing utang komersial dalam berbagai mata uang punya plus-minusnya sendiri-sendiri. Utang komersial dalam Rupiah bunganya lebih tinggi daripada dalam US Dollar.
Indonesia tentu lebih suka berutang dalam Rupiah, tapi kalau terlalu panjang, berat juga bunganya.
Pemberi utang dari luar negeri juga ingin bunga lebih tinggi tapi lebih suka dalam mata uang internasional seperti US Dollar.
Maka utang komersial Pemerintah Indonesia biasanya terbagi: jangka pendek-menengah dalam Rupiah, jangka menengah-panjang dalam USD, EUR, atau JPY.
Inilah hal ekstrem yang membedakan Indonesia dengan negara-negara seperti Sri Lanka dan El Salvador.
Porsi utang komersial Sri Lanka 35% dalam USD senilai USD 13,6 Miliar. Repotnya, USD 1,16 Miliar jatuh tempo tahun 2022 ini. Di mana USD 1 Miliar pembayaran pokok (principal).
Bagaimana dengan El Salvador? Seluruh utang komersialnya dalam US Dollar. Dalam 182 hari akan ada pembayaran pokok senilai USD 800 juta.
GDP Sri Lanka hampir 4 kali lipat GDP El Salvador, tapi utang jatuh tempo El Salvador cuma selisih USD 200 juta dengan Sri Lanka.
Dari struktur mata uang utang komersial saja, Indonesia sudah berbeda ekstrem dibandingkan S Lanka dan El Salvador. Utang komersial Indonesia dominan dalam mata uang Rupiah.
Akan makin ekstrem lagi saat kita melihat profil jatuh tempo utang komersial Indonesia.
Utang komersial Pemerintah Indonesia yang jatuh tempo tahun 2022 adalah Rp 21,7 Triliun.
Berapa utang komersial Indonesia jatuh tempo dalam USD tahun 2022? Nol. Dalam EUR? Nol. Dalam JPY? Nol.
Itu sebabnya saya ketawa membaca ada orang yang membawa-bawa krisis keuangan di Sri Lanka (dan mungkin berikutnya El Salvador) dengan keadaan Indonesia.
Orang-orang seperti ini sudah enggak bawa data, belajarnya mungkin di empang bareng akun Partai Socmed.
Ada yang mengatakan, “Tapi beban utang komersial Indonesia besar, sekian persen PDB”.
Boleh saja bilang besar, tapi sudah cek profil jatuh temponya?
Utang komersial Indonesia itu tersebar dari yang jatuh tempo bulan Agustus 2022 sampai dengan yang jatuh tempo tahun 12 Maret 2071!
Surat utang yang jatuh tempo tahun 2071 itu diterbitkan tahun 2021 dengan tenor 50 tahun!
Siapa pembeli surat utang itu? Investor-investor institusi pengelola dana jangka panjang. Mengapa mereka membelinya? Karena mereka percaya Indonesia masih akan berdiri 50 tahun lagi.
Apakah ada surat utang komersial level negara (sovereign) dengan tenor yang lebih panjang? Ada.
Berikut ini Surat Utang Negara Austria. Terbit pertama kali: 30 Juni 2020
Tenor: 100 Tahun. Jatuh tempo 30 Juni 2120. Kupon: 0,85% p.a. Yield saat ini: 2,10%. Rating: AA+ (S&P).
Itu sebabnya saya agak kurang sreg bicara tentang besaran Debt to GDP secara absolut, tapi abai soal profil jatuh tempo.
Karena bisa saja suatu negara tinggi Debt to GDP-nya, namun mayoritas dalam mata uang lokal dan terbagi merata atas beragam tenor sampai ke masa depan.
Contoh demikian misalnya Singapura. Negara tersebut punya Debt to GDP 146%. Lebih besar utangnya dibandingkan GDP.
Tapi seluruhnya dalam mata uang lokal (SGD), dan rating tertinggi di dunia AAA (S&P) serta tersebar sampai tahun 2031. Dengan cara ini beban per tahunnya ringan.
Mengapa Singapura bisa mencapai profil utang komesial seperti itu? Karena Singapura sangat kuat di sektor keuangan.
Bisa dilihat: Domestic Credit From Financial Sector-nya mencapai 149,4%. Sektor keuangan yang aktif dan kompetitif membutuhkan kolateral setara, yaitu SUN!
Itu alasannya mengapa suatu negara (termasuk Indonesia) perlu mengembangkan sektor keuangannya dengan sungguh-sungguh agar tetap kompetitif dan efisien.
Karena dari sektor keuangan demikian akan muncul kebutuhan kolateral surat utang yang semakin besar.
Eggak ada gunanya punya Debt go GDP kecil, tapi sektor keuangannya enggak bertumbuh.
Coba lihat di Nigeria. Debt to GDP 22,4%, tapi rating cuma B- (S&P) jatuh tempo 2051 dengan kupon 8,25% dan yield 14%. Bunganya mahal banget sekalipun dalam USD.
Kalau yang menganalisis orang seperti Partai Socmed, negara seperti Nigeria tentu akan dipuja-puja karena Debt to GDP-nya rendah, sementara Singapura akan dihina-hina karena Debt to GDP 146%. Kenapa? Karena belajar ekonominya di pinggir empang!
Cuma modal spreadsheet koar-koar: “Di masa Orde Baru Debt to GDP Indonesia lebih rendah dari sekarang!”
Apakah itu statement pinter? Ya bego-lah! Di masa Orde Baru ekonomi Indonesia lebih mirip Nigeria! Sektor keuangannya masih primitif dan berutang cuma bisa maksimal 10 tahun.
Ini gambaran Surat Utang Komersial Indonesia di masa Orde Baru. Terbit: 27 Mei 1982; Tenor: 10 Tahun; Kupon: 6,43%; Ukuran: USD 200 Juta.
Sudahlah tenornya pendek, bunganya mahal, cuma dapat USD 200 Juta pula. Lebih parah dari Nigeria sekarang.
Kecerdasan ada pada kemampuan membedakan.
Itu alasan mengapa Indonesia sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir Debt to GDP-nya meningkat, sejauh risikonya lebih rendah, baik secara mata uang dan tingkat bunga ataupun tenor yang sepanjang mungkin.
Berikut gambaran profil jatuh tempo utang komersial Indonesia dalam tahun. Beban terbesar saat ini di 2026, setara Rp 507 Triliun, bila dirupiahkan dari seluruh dimensi mata uang surat utang yang diterbitkan.
Beratkah bagi GDP Indonesia yang Rp 17 Ribu Triliun? Supaya fair membandingkan Indonesia dengan Sri Lanka dan El Salvador, maka saya juga akan membahas profil sumber pendanaan eksternal Indonesia.
Sekalipun di 2022 utang komersial USD pemerintah Indonesia jatuh tempo nol, di tahun 2023 ada beban USD 3,5 Miliar. Juga atas SUN Euro setara USD 1,53 Miliar dan Samurai Bond setara USD 650 juta=USD 5,68 Miliar.
Apakah Indonesia punya kesulitan membayarnya nanti? Maka kita lihat dulu neraca dagang Indonesia: Ekspor setara Rp 2592 Triliun sementara impor Rp 2.101 Triliun. Sepintas bisa disimpulkan Indonesia neraca dagangnya surplus.
Sebuah gambaran mengapa arus modal menjadi sangat penting saat ini terutama di sisi neraca dagang yang surplus.
Nilai tukar Rupee India melemah mencapai rekornya karena India defisit secara perdagangan, arus investasi, dan pembayaran.
Gambaran keuangan India: Anggaran Pemerintah defisit 2 Triliun Rupee
Inflasi 7%. Current Account defisit USD 13,4 Miliar. Neraca dagang defisit USD 54,5 Miliar.
Untung ada cadangan devisa USD 580 Miliar. Jadi masih bisa napas cukup panjang.
Keadaan India bisa dibandingkan dengan Indonesia. Inflasi 4,35%; ekspor tumbuh 40,68%; impor tumbuh 21,98%; neraca dagang surplus USD 5,09 Miliar; cadangan devisa USD 136,4 Miliar.
Lumayan. Ada bantalan pembayaran eksternal yang jatuh tempo.
Di luar ekspor yang meningkat, sesuatu yang sebenarnya lebih positif adalah peningkatan realisasi FDI (Foreign Direct Investment).
Investasi Langsung Asing bersifat jangka panjang dan cenderung meningkatkan ekspor Indonesia di masa depan.
Bila investasi di sektor-sektor berbasis ekspor bisa terus berkembang, ekspor Indonesia dapat bertumbuh lebih konsisten di masa depan.
Struktur keuangan Indonesia bisa lebih baik lagi sehingga beban utang menjadi lebih ringan di sisi bunga.
Memang tugas negara untuk berutang. Bisa dilihat bahwa semua negara (besar) berutang.
Posisi jatuh tempo rata-rata utang komersial Indonesia di sekitar 10 tahun.
Sebelum Indonesia menerbitkan SUN tenor 50 tahun di bulan Maret 2021. Saat diagram dibuat tenor terpanjang utang komersial Pemerintah Indonesia adalah 30 tahun.
Makin panjang tenor jatuh tempo, semakin mudah suatu pemerintah melakukan refinancing. (*Lulusan S2 Keuangan, Ekonomi dan Manajemen dari University of Bristol, United Kingdom)