Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Belakangan ini beberapa orang, karena merespon dinamika politik dan sosial terutama yang dihubungkan dengan apa yang disebut dengan politik identitas ekstremisme agama yang—sayangnya—dilawan dengan narasi politik identitas rasisme, mulai mengangkat klaim “keaslian” demi menegaskan keunggulan atau hak yang lebih besar atas Indonesia. Muncullah istilah Indonesia asli.
Kata “Indonesia” berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Indus yang merujuk kepada Sungai Indus di India dan nesos yang berarti “pulau”. Kata Indonesia berarti wilayah “kepulauan India”, atau kepulauan yang berada di wilayah Hindia; ini merujuk kepada persamaan antara dua bangsa tersebut (India dan Indonesia). Penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 dalam novel Max Havelaar (1859) yang ditulis oleh Multatuli mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).
Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers Bureau pada tahun 1913.
Istilah ini kemudian digunakan untuk siapa saja yang menolak kolonialisme Belanda, entah itu orang “pribumi”, keturunan Tionghoa, India, Arab, dan Eropa. Alhasil, siapa pun yang membela kemerdekaan Indonesia dapat dikategorikan sebagai “orang Indonesia”. Tapi dalam perkembangannya, kita tahu beberapa kalangan yang dianggap “bukan pribumi” seringkali dipinggirkan.
Orang Hindia atau Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Hindia atau Indonesia sebagai tanah airnya, tanpa peduli apakah dia orang Indonesia totok atau keturunan (Tionghoa, Belanda, atau Eropa). Siapa pun warga negara Indonesia adalah orang Indonesia [Utomo, Wildan Sena. April 2014. “Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningrat, Tjiptomangoenkusumo, dan Douwes Dekker 1912-1914”.]
Asli
Salah satu bahan narasi yang diandalkan para pengujar kebencian adalah menafikan peran budaya Arab dalam pembentukan eksistensi bangsa. Salah satu elemen utama bangsa Indonesia adalah bahasa.
Asli berarti tidak ada campurannya, murni dan lawan palsu. Sebenarnya, asli lebih tepat diartikan fundamental, bukan murni dan tulen yang dalam bahasa Arab diartikan shafi (صافى) dan khalish (خالص).
Sedemikian kuatnya pengaruh Arab dalam bahasa Indonesia, hingga kata asli pun tidak asli (bila asli diartikan sesuatu yang tidak menerima apa pun dari luar. Asli adalah kata serapan dan salinan dari kata dalam bahasa Arab, al-ashlu (الاصل) yang berarti pokok). Kata asli disalin dari kata ashli (اصلى) yang berarti bersifat pokok. Huruf ya berkasrah yang dibaca i berfungsi sebagai tanda ejektiva disebut ya’ nisbah.
Modus akhiran i sebagai petanda ejektiva dalam semantika bahasa Arab juga diserap dan diterapkan dalam bahasa Indonesia seperti kata alami (bersifat alam) dari kata alam dan insani dan manusiawi. Karena manusia berakhir dengan huruf a atau i seperti kata nabi, maka mengikuti kaidah semantik Arab yang diserapnya, ditambahkan w dan i (وى) seperti musawi dan nabawi.
Bahasa Arab tidak hanya memperkaya kata bahasa Indonesia sedemikian rupa sehingga nyaris satu alenia tulisan atau ucapan tak bebas dari serapannya, namun juga turut membangun semantika dan morfologi bahasa lokal Melayu yang ditetapkan sebagai bahasa nasional ini.
Bahasa Melayu Riau yang disepakati sebagai bahasa nasional dan resmi di seluruh Indonesia sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, diberi nama bahasa Indonesia.
Melalui proses pengembangan dan penyerapan banyak kata dari aneka bahasa asing, bahasa Indonesia saat ini berbeda dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau dan kepulauan maupun Semenanjung Malaya.
Kata serapan dalam bahasa Indonesia adalah kata yang berasal dari bahasa lain (baik itu bahasa daerah maupun bahasa luar negeri) yang kemudian ejaan, ucapan, dan tulisannya disesuaikan dengan penuturan masyarakat Indonesia untuk memperkaya kosakata.
Memiliki keterikatan sejarah dengan Melayu yang kental dengan budaya Arab juga dengan sejarah kedatangan para Wali Songo yang mendakwahkan Islam, menyampaikan dan mengajarkan isi kitab suci dan khazahnya ditulis dengan bahasa Arab, maka bahasa Indonesia menyerap banyak kata Arab selain bahasa Inggris, Portugal, Persia, Belanda, China dan sebagainya.
Uniknya lagi, bahasa Melayu sendiri sebelum disahkan sebagai bahasa Indonesia juga telah menyerap banyak kosa kata Arab, bahkan ditulis dengan aksara Arab, sebagaimana bahasa Jawa kuno (jawi) yang ditulis dengan huruf Arab pegon.
Abjad Pegon (Bahasa Jawa/Bahasa Sunda: ابجد ڤيڮون, Abjad Pégon; Bahasa Madura: أبجاد ڤٰيغو, Abjad Pèghu) adalah abjad Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura dan Sunda.
Salah satu bukti sejarahnya bisa ditemukan di Gunung Metasih, Karanganyar, kompleks makam raja-raja Mangkunegara. Semua nisan dan badan makam, termasuk kalung kudanya dipenuhi aksesori Arab Pegon. Perhatikan juga aksara Arab Melayu pada bungkus beberapa produk minuman, rokok, salep, dan sebagainya.
Ringkasnya, menafikan kontribusi budaya Arab dalam eksistensi bangsa Indonesia berarti menolak eksistensi bangsa Indonesia yang berdiri di satu bahasa, sebagaimana ditegaskan dalam Sumpah Pemuda, yaitu bahasa Indonesia.
Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar merupakan salah satu ekspresi nasionalisme yang tulus alias tanpa tendensi politik formal maupun politik informal (industri agama).
Setiap orang yang menerima asas dan bentuk negara berdasarkan kontrak sosial sejak didirikannya Indonesia, beragama atau tak beragama, beragama yang dianut mayoritas atau minoritas, apa pun aliran, suku, ras, etnik, daerah, dan karakteristiknya, adalah warga Indonesia asli.
Terlepas dari itu, kita mungkin perlu menelusuri apa di balik kegaduhan ini. Pada Pilpres sebelumnya isu yang diangkat adalah kebangkitan PKI. Pada Pilpres berikutnya isu yang diangkat adalah antek aseng dan sembilan naga. Korbannya etnis China. Pada pemilu yang akan datang yang diangkat adalah imigran Arab, Yaman, para habaib dari dianggap pengungsi hingga antek Belanda.
Rasisme di dunia modern dianggap sebagai perilaku biadab dan primitif. Saat AS pamer presiden-nya berasal dari minoritas Afro-America dan negara-negara Eropa berlomba saling membanggakan warga etnis pendatang sebagai perdana menteri, wali kota dan menteri, di sini ujaran kebencian terhadap etnik minoritas justru seakan disalahpahami sebagai cinta NKRI, padahal justru kontra Pancasila.
Ada genk industriawan politik dan media yang memetakan kondisi psikologis konstituen. Dengan penguasaan history dan demography, mereka menanamkan trauma-trauma artifisial pada croc brain konstituen yang mabuk adrenaline penentangan dan sakau endorfine keberpihakan.
Dengan memanfaatkan pesatnya lalu lintas komunikasi Medsos dan teknologi informasi, digunakanlah hypno writing dan hypno imaging melalui buzzer dan influencer yang digemari masyarakat. Tanpa disadari, tiba-tiba masyarakat saat ini tercipta dalam polarisasi dan dikotomi beringas tanpa pilih dan pilah.
Makin banyak anggota masyarakat yang terkuasai croc brain-nya, maka makin banyak orang militan dan kebal data, bahkan mengabaikan klausa undang-undang. (*Cendekiawan Muslim)