BERITAALTERNATIF.COM – Indonesia dan Iran baru selesai berkolaborasi di bidang pengembangan teknologi bedah robotik (robotic telesurgery) pada tahun 2023.
Memasuki tahun 2024 kedua negara ini memperluas kerja sama, salah satunya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia mempersiapkan timnya berangkat ke Tehran untuk mempelajari Nanoteknologi.
Sementara itu, peneliti Iran direncanakan bartandang ke Indonesia untuk mempelajari perkembangan riset biodiversitas.
Hubungan bilateral antara Indonesia dan Iran sudah berlangsung sejak tahun 1950 hingga kini, meskipun sempat terjadi rintangan saat meletusnya revolusi tahun 1979.
Duta Besar ( Dubes) RI untuk Iran, Ronny Prasetyo Yuliantoro meyakini prospek kerja sama kedua negara paling besar ada di bidang teknologi kesehatan.
Setelah program pengembangan Pusat Bedah Robotik di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan RS. Sardjito Yogyakarta, kemudian kedua negara akan melakukan hal yang sama di dua kota lainnya yakni di Medan dan Makassar.
“Saya percaya kerja sama Iran dan Indonesia dapat berdampak luas ke masyarakat, khususnya akses terhadap pelayanan kesahatan di daerah-daerah terpencil,” kata Dubes Ronny dalam sambutannya di acara Seminar HUT ke-45 Revolusi Islam Iran, Jumat (16/2/2024).
Seminar tersebut mengangkat tema “Prospek Kerja Sama Multi Sektoral Indonesia-Iran Menghadapi Transformasi Masyarakat Era Society 5.0” yang digelar di Islamic Cultural Center (ICC), Jakarta.
Dubes Ronny mengaku belajar dari pengalaman pandemi Covid-19, selanjutnya pemerintah Indonesia telah mencanangkan transformasi sistem ketahanan kesehatan nasional yang mandiri, di mana Tehran menjadi salah satu mitra penting dalam mencapai tujuan tersebut.
“Kolaborasi Indonesia dan Iran juga merupakan contoh kerja sama Selatan-Selatan (KSS) untuk mencapai kemandirian bersama yang dilandasi oleh solidaritas, kesetaraan dan saling menguntungkan,” kata Dubes Ronny.
Selain itu, dengan kemajuan Iran, kerja sama kedua negara diharapkan juga mampu memikirkan alih teknologi dan produksi bersama. “ Kerja sama di bidang pendidikan juga dapat dilakukan oleh kedua negara di samping transformasi teknologi,” tambahnya.
Selanjutnya Dubes Ronny melaporkan ada empat Politeknik kesehatan di Indonesia, Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Surabaya telah menandatangi perjanjian kerja sama dengan Tehran University of Medical Sciences (TUMS).
Memperkuat hubungan diplomatik kedua negara
Diketahui, kunjungan Presiden Iran, Ebrahim Raisi ke Jakarta tahun lalu semakin memperkuat hubungan diplomatik kedua nagara. Bahkan, kemudian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun mengirimkan tim penelitinya ke Negeri Para Mullah untuk menjajaki peluang kerja sama di bidang kesehatan, lingkungan dan nanoteknologi.
Peneliti BRIN bidang nanoteknologi, Wahyu Bambang Widayatno yang menjadi salah satu anggota tim tersebut berbagi pengalaman kepada peserta Seminar di ICC, Jakarta.
Wahyu menceritakan, timnya berkunjung ke sejumlah instansi, kampus dan pusat riset di Iran. Di antara poin pertemuannya ialah Iran memiliki produk-produk nanoteknologi secara mandiri. “Nanoteknologinya sangat maju. Iran bertengger di urutan ke-4 teratas di dunia dalam publikasi ilmiah terkait bidang ini, “ ujar Wahyu.
Wahyu dan rombongan BRIN telah berkunjung ke TUMS. Mereka juga telah menandatangi kerja sama, salah satunya, dengan INIC, lembaga pengembangan nano dan mikroteknologi di Iran. Instansi ini didirikan untuk membuka jalan bagi aktivitas sektor swasta di bidang nanoteknologi dan peningkatan kekayaan di dalam negeri.
Ketika ingin terbang ke Tehran, Wahyu mengaku sempat merasa was-was. Di samping sejumlah berita negatif tentang Iran, ia mendengar situasi Teluk Persia memanas. Pada Juli 2023, Amerika Serikat mengerahkan pasukan marinirnya ke teluk tersebut sementara Iran menggelar latihan perang udara.
Hubungan diplomatik AS dan Iran memang putus sejak Imam Khomeini memimpin revolusi yang meruntuhkan kerajaan Mohammad Reza Pahlavi pada 1979. Sejak itu pula, Paman Sam dan sejumlah negara Barat berkali-kali memberikan sanksi kepada Iran. Mereka mengembargo Iran sehingga pintu ekspor-impor yang terkait produksi strategis seperti militer dan migas pun ditutup. Washington bahkan memberi sanksi kepada perusahaan-perusahaan di luar Iran yang mencoba bertransaksi lewat pintu tersebut.
“Ekonomi di Iran memang berat. Meski demikian kehidupan masyarakat di sana tetap berjalan. Di luar bidang strategis yang diembargo, masih banyak bidang lain yang dapat dikerjasamakan dengan Iran. Yang penting ada keinginan dan keberanian,” ujar mantan Duta Besar Indonesia untuk Iran, Dian Wirengjurit, yang juga menjadi narasumber seminar.
Menurut pengalaman Dian sebagai Dubes, tidak ada hambatan dalam pembuatan kebijakan kerja sama yang dilakukan antara pemimpin Pemerintahan Indonesia dan Iran. Masalah kadang muncul ketika para petugas pelaksana di lapangan yang akan mengimplementasikan kebijakan tersebut. “Si pelaksana yang menahan diri atau – menurut saya – tidak berani,” katanya.
Ketika menjabat Dubes periode 2012-2016, Dian pernah mengundang Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ke Iran. Kadin merespons dengan berencana mengirimkan 50 delegasinya ke sana. Namun dua hari sebelum keberangkatan, jumlah delegasi yang akan berangkat berkurang separuh dari total sebelumnya. Dian mencari tahu alasan di balik mundurnya para delegasi tersebut. Ternyata, dalam sebuah pertemuan dengan para delegasi itu, seorang diplomat junior dari sebuah negara mengancam pemutusan hubungan dagang jika mereka berangkat ke Iran. “Kalian tahu-lah nama negara asal diplomat itu, saya tidak usah sebutkan di sini,” ujar Dian.
Kerja sama kedua negara di bidang migas sering juga diusulkan oleh politisi senior Zulfan Lindan ketika menjabat sebagai anggota DPR RI selama 12 tahun. Ketika Indonesia mengalami krisis gas dan perlu mengimpor gas, Zulfan mengusulkan kepada pemerintah untuk mengambil gas dari Iran.
Negara sahabat ini menawarkan harga ke Indonesia lebih murah dibandingkan negara lain. “Namun persoalannya di Indonesia, (urusan) migas ini kan (ada) mafia. Jadi, dia bukan mencari yang murah, tapi siapa yang bisa memberinya untung besar,” kata Zulfan yang juga hadir dalam seminar di ICC. Pria kelahiran Aceh ini pernah duduk di Komisi VI DPR bidang perdagangan, perindustrian, investasi, dan BUMN.
Tantangan lain dari dalam negeri ialah adanya stigma, prasangka dan sterotip terhadap Iran. Narasumber dari Profesor Riset Ilmu Sosial dan Humaniora BRIN, Ahmad Najib Burhani, menyebut salah satu kata kunci yang muncul di benak masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap Iran adalah Syiah. Dan jika ditelusuri lagi, sebagian mereka menganggap orang-orang Syiah membenci para sahabat Nabi Muhammad saw – orang-orang yang dimuliakan Muslim Sunni.
Dian Wirengjurit bahkan pernah mendengarkan pernyataan bahwa Iran hanya mengeklaim sebagai republik Islam padahal di sana tak ada masjid. Pernyataan yang membuat Dian hanya tersenyum sembari geleng-geleng kepala. “Padahal mereka memegang handphone. Kan, tinggal ngetik aja: ‘masjid Iran’ di laman Google,” ujar Dian. Menurut penulis buku Capita Selecta Geopolitik dan Hubungan Internasional ini, prasangka semacam itu juga menghinggapi sebagian aparatur negara.
Ahmad Najib Burhani memandang stigma, prasangka dan sterotip itu bakal semakin meluas jika tidak dimitigasi. Hal ini karena karakter masyarakat di era digital ditentukan oleh, di antaranya, media yang memiliki filosofi algoritma memecah belah. Dalam konteks tersebut, Najib mengapresiasi forum-forum ilmiah seperti seminar di ICC sebagai wadah klarifkasi.
Bagi Najib, BRIN adalah institusi yang netral sehingga segala kontroversi di masyarakat dapat didiskusikan secara terbuka dan ilmiah di dalamnya. Dengan forum-forum ilmiah, upaya mitigasi meluasnya stigma, prasangka dan sterotip dalam masyarakat dapat dilakukan.
“Karena BRIN bukan kompor yang membakar masalah sehingga menjadi konflik dan bukan juga kulkas yang membekukan masalah seolah-olah tidak terjadi apa-apa di masyarakat,” kata pria yang juga menjabat sebagai Kepala Wakil Ketua Majelis Pustaka Informasi di Pengurus Pusat Muhammadiyah ini.
Oleh karena itu,lanjut Najib, pilihan Iran bekerja sama dengan Indonesia melalui BRIN merupakan pintu yang tepat.
Seminar HUT ke-45 Revolusi Islam Iran ini terselenggara berkat kerja sama antara ICC Jakarta dan BRIN. Para narasumber kompeten dihadirkan dalam seminar tersebut. Direktur ICC Jakarta Syekh Hakimelahi juga hadir memberikan pidato sambutan. Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Boroujerdi yang sedang berada di Timor Timur tak ketinggalan untuk hadir secara virtual dan menyampaikan materinya.
Sekitar 70 peserta hadir secara luring termasuk di antaranya tamu undangan seperti politisi senior Zulfan Lindan dan para peneliti dari BRIN. (es/ nsa)