BERITAALTERNATIF.COM – Pada 17 Agustus 2022, usia kemerdekaan Indonesia telah mencapai 77 tahun. Perjalanan panjang bangsa ini dalam mencapai tujuannya setelah mencapai kemerdekaan pun diwarnai dengan berbagai tantangan dan masalah dalam berbagai bidang.
Artikel beritaalternatif.com berikut ini merupakan hasil wawancara kami dengan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Ahlulbait Indonesia Kalimantan Timur Habib Thoriq Assegaff di Kota Tenggarong pada Rabu (17/8/2022) sore.
Dalam artikel ini, Pembina Rabithah Alawiyah Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut menjelaskan secara sistematis beberapa hal mendasar terkait potret Indonesia masa kini: pertama, makna kemerdekaan Indonesia; kedua, kondisi sosial-politik Indonesia setelah 77 tahun merdeka; ketiga, masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia; keempat, solusi bagi keberlangsungan keutuhan serta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di masa depan. Berikut isi wawancaranya.
Apa makna kemerdekaan Indonesia menurut Habib?
Bismillahirrahmanirrahim. Allahuma sholli ‘ala muhammad wa ali muhammad. Sebelum kita membahas makna kemerdekaan, mungkin yang pertama kita bicarakan adalah arti dan definisi kemerdekaan serta merdeka itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka itu setidaknya memiliki tiga makna: pertama, bebas dari penjajahan; kedua, terlepas dari tuduhan. Jadi, orang yang dituduh melakukan suatu kejahatan, kemudian dia bebas dari tuduhan itu, dia disebut merdeka; ketiga, terlepas dari ketergantungan pihak lain dan dalam arti yang lain disebut leluasa dalam bergerak.
Dari tiga makna Kamus Besar Bahasa Indonesia itu, maka kita bisa menarik satu pengertian tentang kemerdekaan dan berupaya mencari maknanya setelah 77 tahun kita merdeka.
Yang pertama, kita melihat kondisi saat ini di mana secara bernegara kita telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Ini secara de facto. Setelah tahun 50-an, baru diakui secara de jure oleh pihak-pihak lain.
Kemerdekaan dalam bernegara tersebut tidak berbanding lurus dengan makna kemerdekaan yang kita sebutkan tadi. Kalau kita mau sederhanakan pembahasannya, kita merdeka, tetapi kita belum berdaulat dalam bernegara.
Kita melihat sampai saat ini, 77 tahun kemerdekaan kita, kita belum berdaulat secara politik. Masih banyak campur tangan pihak-pihak asing, baik asing itu secara negara dengan negara atau asing dalam artian perusahaan-perusahaan asing, para cukong-cukong yang berupaya untuk mempengaruhi regulasi dan keputusan-keputusan politik, bahkan kita mendengar banyak isu bahwa seorang presiden di Indonesia tidak akan bisa terpilih apabila tidak mengekor pada keputusan-keputusan politik global. Dari sini kita bisa melihat bahwa secara hakiki kita belum mendapatkan kemerdekaan. Kita tidak berdaulat dalam kemerdekaan kita secara politik.
Secara ekonomi, kita sudah tahu bahwa bagaimana kita bergantung dengan negara lain. Selama 77 tahun kita merdeka, kita tidak berdaulat dalam ekonomi. Bangsa ini sangat bergantung dengan kebijakan-kebijakan politik global; bagaimana kita mengikuti keinginan-keinginan luar negeri dalam urusan ekonomi kita; bagaimana rupiah kita begitu lemah; bagaimana ekspor dan impor kita memiliki nilai tawar yang tidak baik walaupun kita adalah negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya.
Kedaulatan ekonomi kita tidak kemudian menjadikan sumber daya alam kita yang begitu besar menjadi sebuah nilai tawar yang kuat. Ini dari segi ekonomi.
Kemudian, dari segi hukum, kita melihat hukum-hukum kita, setiap kali penyusunan undang-undang, di sana ada kepentingan-kepentingan asing dan korporasi asing yang ikut bermain serta mencukongi DPR kita untuk menggolkan undang-undang yang ingin mereka tunggangi untuk kepentingan ekonomi, bahkan kepentingan politik mereka.
Banyak hal yang menjadi keprihatinan kita, bahkan kita tidak memiliki kedaulatan dalam pangan. Hal yang paling primer yang menjadi kebutuhan bangsa ini adalah pangan. Itu pun kita masih bergantung dengan pihak-pihak luar. Kita masih bergantung dengan impor. Bagaimana negeri agraris seperti kita ini yang memang dari dulunya adalah petani ini harus mengekspor beras dari negeri kecil semacam Thailand, Filipina, dan Vietnam. Teknologi rekayasa genetika beras dan lain sebagainya bahkan dipegang oleh Filipina. Kita tidak punya kedaulatan dalam hal pangan kita.
Ini menjadi keprihatinan kita. Kita memang merdeka. Tetapi, sampai saat ini kita belum berdaulat. Inilah yang kemudian harus dipikirkan oleh setiap anak bangsa, agar kedaulatan itu berbanding lurus dengan kemerdekaan yang telah kita raih.
Kemerdekaan kita berbeda dengan kebanyakan negara-negara lain. Kebanyakan negara lain menerima pemberian dari negara penjajah. Tetapi, kita merebutnya; kita mengambilnya dengan pengorbanan dan darah para syuhada, para pejuang negara ini dari segala elemen, segala suku, agama, dan ras ikut memerdekakan bangsa ini.
Tetapi, hal itu tidak bersesuaian dengan cita-cita dan pengorbanan mereka. Hasil kemerdekaan ini juga dibajak oleh kepentingan-kepentingan segelintir orang yang bermain dengan kedaulatan bangsanya.
Bagaimana pandangan Habib terkait kondisi sosial Indonesia setelah 77 tahun merdeka dari penjajahan fisik?
Kita juga masih terkendala terkait kemerdekaan dalam makna yang hakiki dari segi berbangsa. Bagaimana anak bangsa ini terjebak dengan hal-hal yang sebenarnya sudah tuntas dibahas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara dan tujuan-tujuan bernegara kita sudah disebutkan dengan jelas dan lugas.
Tetapi, kita melihat dalam praktiknya, hal-hal yang diharapkan dalam berbangsa, seperti berdaulat, adil dan makmur, yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar itu tidak tercapai.
Maka, derivat dari hal tersebut berupa kemandegan—saya tidak ingin menyebutnya kegagalan. Ini hanya stagnan dan ini harus didorong untuk terus maju. Kemandegan kita dalam mendorong dan mengisi kemerdekaan tersebut memiliki turunan dalam berbangsa.
Kita melihat kemiskinan masih menjadi problem yang terus menggelayuti bangsa ini. Kita tidak bisa menekan kemiskinan itu lebih jauh lagi, dan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini lebih baik dari segi ekonomi.
Kita melihat pula tingkat pendidikan yang sampai saat ini sangat sulit kita angkat. Tingkat pendidikan di sini tidak bisa kita ukur dari banyaknya lulusan dari universitas-universitas atau tingkat strata pendidikan yang dilewati anak bangsa. Tapi, bagaimana mutu pendidikan itu tercermin dari kualitas individu tersebut.
Kemudian, kita juga melihat bagaimana aspek kesehatan bangsa ini. Kita melihat bagaimana problem kesehatan yang begitu rendah, sanitasi masih buruk, stunting masih menggelayut dari anak-anak kita, pola hidup bersih yang masih begitu jauh, gagap ketika mendapatkan permasalahan kesehatan yang bersifat massal seperti pandemi dan sebagainya. Walaupun klaim kita mengatakan bahwa kita pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat dalam melewati pandemi, tapi kita tidak bisa menutupi banyak kekurangan di dalamnya.
Kita melihat bagaimana problem BPJS Kesehatan yang terus muncul setiap tahun. Pertanggungjawaban dari lembaga kesehatan ini yang begitu lemah serta tidak banyak mengaver dari hal-hal yang paling dibutuhkan bagi kesehatan bangsa ini.
Hal-hal ini menurut saya merupakan derivat atau turunan dari kemandegan kemerdekaan kita dari sudut pandang bernegara. Imbasnya, kita merdeka dari sudut pandang berbangsa, tapi tidak dari segi kedaulatan.
Kita juga disibukkan dengan nasionalisme kita yang mulai tergerus dengan banyaknya paham-paham atau aliran pemikiran yang berkembang begitu cepat dan nyaris tanpa kontrol pemerintah. Kita melihat bagaimana pemerintah kehilangan eksistensinya di masyarakat pada sudut pandang berbangsa ini. Bagaimana kita melihat kehadiran pemerintah yang minim dalam kasus-kasus gesekan antar-anak bangsa.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya melihat sejak Reformasi, kita diberikan pilihan simalakama. Ketika Orde Baru yang represif dan otoriter, kita berupaya lepas dari tekanan dan belenggu-belenggu rezim yang diktatoris seperti itu, kemudian ketika kita mendapatkan kesempatan, justru bablas. Sehingga, DPR kita banyak menciptakan undang-undang yang mengurangi kewenangan aparat keamanan serta pertahanan bangsa ini.
Karena itu, kita melihat ideologi-ideologi dari luar begitu deras masuk ke Indonesia. Kemudian, menyebar begitu bebas seakan diberikan keleluasaan dalam berideologi, khususnya “ideologi ekstrem”.
Ini menjadikan kita mendapati kondisi di mana gesekan-gesekan sosial dan politik antar-agama dan ras atau hal-hal yang bersifat primordial tadi menjadi sangat terbuka dan vulgar dipertontonkan di depan publik.
Ditambah lagi dengan teknologi informasi seperti sekarang ini, di mana informasi bisa tersebar begitu cepat. Hal-hal yang bersifat sensitif itu begitu mudah diumbar tanpa ada kontrol.
Saya melihat dari sudut pandang kemerdekaan berbangsa tidak lagi dalam koridor yang tepat. Kita melihat bebas itu menjadi segala sesuatu boleh dilakukan di negara ini. Akhirnya, kita melihat ada pihak-pihak tertentu yang merasa memiliki negeri ini melebihi yang lain. Bagaimana sebuah ideologi yang berangkat dari pemikiran-pemikiran radikal ini berbuntut pada pola pikir intoleran, sehingga menjadi marak berkembang, terutama di kalangan pemuda.
Kemudian, hal ini mendistorsi sendi-sendi berbangsa kita, yang sebenarnya sudah kita rajut puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Apa yang terjadi di Sumpah Pemuda merupakan titik kulminasi kesadaran berbangsa kita. Kita tidak akan bisa merdeka, kita tidak akan bisa memiliki harkat dan martabat ketika kita tidak memiliki kekuatan bersama.
Maka dari itu, kekuatan bersama inilah yang menginspirasi dan menyadarkan para pemuda kala itu untuk kemudian duduk bersama dalam Kongres Pemuda dan menyatakan dirinya satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.
Hal ini tercapai dengan sebuah konsekuensi. Kita harus menurunkan tensi-tensi dan sentimen-sentimen primordial kita masing-masing. Kita harus menurunkan ego sektoral kita. Karena kita mengharapkan bisa mencapai tujuan bersama yang lebih besar, yaitu sebuah keyakinan bersama atas kemerdekaan dalam bernegara; sebuah kepentingan bersama yang kemudian terikat dalam nasionalisme bangsa Indonesia.
Hal inilah yang kita lihat saat ini mulai dirongrong pelan-pelan dengan pola pikir radikal yang kemudian berujung pada intoleransi. Bagaimana kita melihat begitu mudahnya bangsa ini menerima sekelompok orang yang mengusung agenda-agenda permusuhan terhadap kelompok-kelompok lain dan membawa semboyan-semboyan kebencian dengan menyerang pihak-pihak lain. Kelompok ini membentuk ormas, kemudian dilegalisasi oleh pemerintah.
Hal ini yang kita lihat bahwa bagaimana sendi kebersamaan kita, yang kita ikat dalam sebuah pita besar di bawah lambang negara kita dengan tulisan besar Bhineka Tunggal Ika itu mulai rapuh; mulai robek. Pita besar yang mengikat kita ini mulai diacak-acak; mulai digunting-gunting oleh pihak-pihak tertentu.
Saya melihat inilah yang juga menjadi keprihatinan kita bahwa kemerdekaan dan kedaulatan kita dalam urusan berbangsa, dalam hal ini berkeyakinan, berkumpul, dan beribadah terusik. Namun, saat ini kita melihat pemerintah sudah bereaksi dengan hal ini. Pemerintah mulai melakukan perbaikan-perbaikan. Kita bersyukur atas hal itu. Kita berharap kepada Allah SWT agar selalu menjaga bangsa ini dari kelompok-kelompok yang ingin memaksakan kehendak-kehendak mereka terhadap sesuatu yang menjadi ‘ijma wathoni; sesuatu yang menjadi konsensus nasional kita; sesuatu yang kita sepakati bersama sebagai landasan bernegara, yaitu Undang-Undang Dasar, NKRI, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika.
Kita lihat apa yang dilakukan pemerintah sampai saat ini sudah menampakkan hasilnya. Pemerintah mulai hadir di tengah-tengah konflik ini walaupun belum tampil dalam performa yang kita harapkan. Pemerintah masih sering tersandung atau tersandera dengan undang-undang yang begitu lemah, serta kewenangan dari kepolisian yang juga lemah. Seperti itu yang kita dengar dari banyak diskusi dengan teman-teman kepolisian. Mereka takut berbuat ini dan itu karena takut dianggap melanggar HAM dan sebagainya.
Kita berharap bangsa ini bisa melewati masa-masa kritis ini dan bisa kembali merajut nasionalisme bangsa ini agar bisa kokoh. Yang penting, negara hadir dalam setiap momen dan kondisi berbangsa di negeri ini.
Bagaimana kita menyadarkan semua elemen dalam menghadapi berbagai perbedaan bangsa ini di masa depan?
Kita melihat bahwa menyadarkan sebuah bangsa itu bukan hal yang mudah. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bukan hal yang ringan. Tetapi, apa yang kita lakukan saat ini sudah memiliki modal awal. Kita berangkat dari pluralisme. Bangsa ini dibangun dari perbedaan yang sangat luar biasa beragam. Bangsa ini memiliki ribuan suku, ratusan bahasa, ratusan keyakinan terhadap ketuhanan—baik dalam bentuk agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kita berangkat dari satu letak geografis yang tidak satu dataran. Kita terletak dalam satu kesatuan negara yang terdiri dari belasan ribu pulau. Ketika bersatu, hal ini merupakan sebuah puncak capaian peradaban. Apa yang kita dapati saat ini menjadi sebuah bangsa adalah mukjizat.
Anda bisa bayangkan Timur Tengah atau kita spesifikasi di Jazirah Arab. Mereka hidup dalam sebuah letak geografis yang satu hamparan. Mereka tidak terdiri dari pulau-pulau yang banyak. Kemudian, mereka disatukan dengan satu bahasa. Sebanyak 350 juta orang disatukan oleh satu bahasa, serta relatif memiliki kesamaan dalam hal keagamaan. Mereka didominasi oleh kaum muslimin.
Tetapi, coba kita perhatikan. Mereka terpecah menjadi puluhan negara. Dan tempat itu adalah tempat yang paling tidak aman di muka bumi. Kawasan itu adalah kawasan yang paling sensitif dalam banyak hal. Hal-hal kecil sekalipun bisa mengakibatkan pertumpahan darah di sana. Jadi, nilai-nilai kearaban, keislaman, kesamaan geografis dan budaya tidaklah kuat menjadi pengikat mereka. Hal itu tidak mampu menjadi modal utama dalam membangun Pan-arabisme untuk menyatukan bangsa Arab.
Hal ini berbeda dengan kita. Kita dengan ragam suku, bahasa, keyakinan, memiliki sumber daya alam dan manusia yang berbeda satu sama lain, warna kulit yang sangat variatif ini bisa bersatu. Ini adalah sebuah capaian peradaban yang sangat tinggi. Dan ini adalah anugerah Ilahi yang harus kita syukuri. Apabila ada upaya yang ingin mengadudomba dan memecah belah, ini adalah sebuah upaya melawan peradaban yang begitu agung di negeri ini.
Dengan modal dasar dan modal yang begitu besar tadi, kita tidak terlalu bersusah payah menjadikan negara ini berdaulat. Tinggal bagaimana kita bersama memperkuat, mempererat, dan hadir di setiap tempat dengan sebuah tujuan bersama, yaitu nasionalisme; dengan satu tekad bersama, yaitu persatuan; dengan satu harapan bersama, yakni kesejahteraan dan kemakmuran; dengan satu wawasan bersama, yaitu kebangsaan dan kenegaraan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya pikir, ketika semua orang berpikir semacam itu, negara ini akan maju dan berdaulat.
Kita mengambil pelajaran dari Timur Tengah dan ideologi-ideologi yang diusung sebagai suatu solusi “kebahagiaan dunia dan akhirat”, ternyata tidak membawa kebahagiaan di dunia, dan tentu tidak akan membawa kebahagiaan di akhirat, karena pertumpahan darah dan perang pasti mengandung dosa.
Ini yang ingin kita sadarkan kepada kawan-kawan kita, saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air, bagaimana kita harus terus memupuk persatuan dan merekatkan pita besar Bhineka Tunggal Ika di kepala, hati, dan pikiran kita untuk kemudian tidak mudah terpancing dengan hal-hal yang bisa merusak persatuan tersebut.
Saya yakin, apabila semua stakeholder berpikiran seperti itu, membawa ide-ide semacam ini, dengan tujuan akhir menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menuju ke arah ini tanpa ada kepentingan-kepentingan yang lain, saya yakin keutuhan bangsa ini akan tetap terjaga.
Saya ingat diskusi antara Josip Broz Tito, pendiri negara Federasi Yugoslavia pada saat itu, dengan Bung Karno. Bung Karno bertanya kepada Tito apa yang ia wariskan kepada negaranya jika dia meninggal dunia. Dengan mantap Tito menjawab ia akan mewariskan angkatan perang yang kuat untuk melindungi keutuhan Yugoslavia. Lantas Tito bertanya balik kepada Soekarno apa yang akan ia wariskan kepada Indonesia jika sudah berpulang. “Aku tidak khawatir, karena telah kuwariskan Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia,” ujar Soekarno kepada Tito.
Kita punya modal dasar dan besar, yaitu Pancasila. Dan itu adalah pengikat bangsa ini. Lima sila itu adalah pemadam dari segala macam bentuk bahaya, bala, dan azab bagi bangsa ini. Lima sila itulah yang insyaallah akan menjaga bangsa ini.
Bagaimana menyelesaikan masalah ketidakadilan ekonomi, pendidikan, dan sebagainya di Indonesia?
Keberanian dan kemerdekaan serta nasionalisme, yakni mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Selama ini, semua hal yang berkaitan dengan keadilan bersumber dari produk hukum. Selama kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masih menyandera produk-produk hukum kita, maka selama itu pula keadilan tidak akan bisa kita raih.
Yang dibutuhkan dalam kepemimpinan berikutnya dari proses demokrasi bangsa ini adalah menghasilkan pemimpin yang memiliki keberanian, nasionalisme, orientasi berbangsa yang kuat, sehingga mereka menjadi patriot-patriot bangsa ini. Patriot itu tidak harus lahir dari medan perang yang berdarah-darah. Tapi kemudian bagaimana kita mengisi front-front kehidupan kita dan menjaga hak-hak serta martabat bangsa ini.
Jadi, yang kita butuhkan adalah keberanian, pemahaman atas nasionalisme, dan adanya kemampuan basiroh untuk mengenali musuh. Apa yang menjadi kehendak musuh dalam memandang potensi dan indahnya bangsa ini, itu yang harus dipahami, sehingga kita memiliki kemampuan untuk mengantisipasi langkah musuh yang ingin mengintervensi segala bentuk kebijakan bangsa ini. Dirgahayu Repuplik Indonesia ke-77. Merdeka. (*)