BERITAALTERNATIF.COM – Ratu Elizabeth II mengembuskan napas terakhirnya pada Kamis (8/9/2022). Ia meninggalkan tak hanya sederet pencapaian, tapi juga luka mendalam bagi warga persemakmuran Inggris.
Selama tujuh dekade Elizabeth menjabat, Kerajaan Inggris memang mencetak banyak sejarah, termasuk jejak perbudakan dan penyiksaan.
Berikut setidaknya tiga skandal kemanusiaan yang menyeret nama sang ratu.
Pertama, perbudakan di Barbados. Sebagai mantan wilayah persemakmuran, Barbados menjadi “sapi perah” untuk memakmurkan Kerajaan Inggris.
Menurut sejarawan Hilary Beckles, Barbados merupakan “tempat kelahiran” komunitas perbudakan Inggris dan kolonialisme Inggris yang paling kejam, sebagaimana dilansir The Guardian.
“Mereka (elite Inggris) memperkaya diri dari gula yang diproduksi lewat perbudakan, tenaga kerja sekali pakai, dan kekayaan ini mengamankan kedudukan Inggris sebagai kekuatan kerajaan dan menyebabkan penderitaan yang terhitung,” ujarnya.
Meski begitu, Barbados baru dapat menghapus Ratu Elizabeth sebagai kepala negara pada 2021, ketika mereka melepaskan diri dari persemakmuran.
Charles, yang waktu itu masih menjadi pangeran, mengakui “kasus perbudakan” ketika menghadiri upacara pelepasan Barbados dari persemakmuran.
Kedua, tak adil respons isu rasisme. Selama Elizabeth menjabat, Inggris menjadi negara yang menerapkan kolonialisme di berbagai belahan dunia. Kolonialisme itu tak dimungkiri memicu rasialisme.
Aktivis Inggris-Nigeria, Shola Mos-Shogbamimu, menilai Ratu Elizabeth kurang terbuka terkait ketidakadilan rasial dan ketidaksetaraan yang disebabkan kolonialisme Inggris.
“Kerajaan Inggris adalah kerajaan kolonial, yang membuatnya sebagai ratu kolonialisme. Bagian dari warisannya adalah kolonialisme. Kekejaman dilakukan di bawah nama Ratu atau negara pada zaman kolonial,” ujar Mos-Shogbamimu kepada Fox News.
“Banyak negara berusaha keras, banyak dari mereka (berusaha), banyak kehidupan yang hilang. Orang-orang dipenjara, bahkan disiksa, agar bisa lepas dari kolonialisme Inggris, dan dia menjadi ratu kala itu,” sambungnya.
Mos-Shogbamimu menilai jika Elizabeth bersikap lebih terbuka terhadap kedua masalah tersebut, pun mengakui rasisme sistemis yang terjadi saat ini ataupun masa lampau, dia bakal tampak lebih “kredibel” di mata sejumlah negara persemakmuran.
Ketiga, penyiksaan kala pemberontakan Mau Mau. Ribuan lansia di Kenya mengklaim pasukan kolonial Inggris memperlakukan mereka secara tak adil, memperkosa, bahkan menyiksa mereka dalam pemberontakan Mau Mau pada 1951-1960.
Sebagaimana diberitakan The Independent, anggota suku Kikuyu di negara itu sempat ditahan di kamp konsentrasi. Mereka mengaku disiksa dan mengalami pelecehan seksual kala itu.
Menurut sejarawan David Anderson, saat itu sebanyak 20 ribu orang tewas. Namun, pengamat lain, Caroline Elkins, menilai angka kematiannya dapat mencapai 100 ribu. (*)
Sumber: CNN Indonesia