Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Setelah diganggu oleh fenomena intoleransi keyakinan yang merupakan biang diskriminasi, intimidasi, persekusi yang memuncak pada aksi teror selama beberapa dekade, kini kita di era ultra modern ini ditimpa gangguan kedua, yaitu rasisme yang mungkin lebih destruktif dari ekstremisme, radikalisme dan intoleransi.
Meski ekstremisme, radikalisme dan intoleransi terlanjur hanya dikaitkan dengan doktrin agama, sebenarnya rasisme dapat dianggap sebagai bagiannya dalam pengertian yang lebih luas.
Banyak orang mengira rasisme adalah pandangan dan tindakan yang merendahkan orang lain karena etnisitas dan rasnya. Padahal rasisme punya dua sisi yang saling berkaitan, yaitu merendahkan sebuah ras juga mengunggulkan sebuah ras. Artinya, karena pada dasarnya, setiap individu manusia adalah setara, maka merendahkan sebuah ras secara niscaya mengutamakan ras lain yang tidak direndahkan.
Sangat mungkin kemunculan gerakan rasisme dipicu oleh rasisme lain. Acap kali rasisme yang merendahkan sebuah komunitas etnis sangat mungkin merupakan reaksi irrasional terhadap rasisme yang mengunggulkan komunitas yang direndahkan itu, meski tak niscaya.
Sebagian besar kebencian total terhadap satu kelompok etnis dan ras timbul karena pengalaman negatif kasuistik dan partikular dalam interaksi lintas suku. Namun, sebagian timbul akibat tersulut narasi manipulatif para pencari kekuasaan formal politik atau terpengaruh oleh doktrin mentah gerombolan pencari kekuasaan kultural keagamaan.
Apa pun alasannya, intoleransi dalam segala bentuknya, sektarian, rasial dan lainnya mengurangi spirit kemerdekaan. (*Cendekiawan Muslim)