BERITAALTERNATIF.COM – Pada bulan Mei 2016, saya berkesempatan berbicara tentang konflik Suriah di depan sebuah komunitas calon pastur di Jakarta. Sebagai pengantar saya sampaikan bahwa korban Perang Suriah tidak hanya Muslim, melainkan semua penganut agama, mulai dari Muslim sendiri (baik Sunni, Syiah, maupun Alawy), Kristen/Katolik, Druze, Ismaili, hingga Yazidi.
Di antara umat Kristiani korban serbuan ‘mujahidin’ adalah warga desa Maaloula yang terletak 50 kilometer di tenggara Damaskus. Pada September 2013, milisi Al Nusra menyerbu desa ini, mengebom gereja dan biara, serta membunuh sejumlah orang.
Maaloula adalah tempat di mana dua biara tertua Suriah berada, yaitu Biara Mar Sarkis (dibangun sekitar abad ke-6 Masehi) dan Biara Mar Taqla (didirikan pada abad ke-4 Masehi). Desa berpenduduk 4.000 orang ini juga amat terkenal karena merupakan satu di antara tiga komunitas di dunia ini di mana bahasa Aramaic Barat (bahasa yang diyakini dulu digunakan oleh Nabi Isa) masih dipakai dalam percakapan sehari-hari. Tentara Suriah dengan dibantu Hizbullah akhirnya berhasil membebaskan Maaloula dari tangan Al Nusra pada April 2014.
Kebrutalan yang ditunjukkan oleh milisi-milisi bersenjata (mereka sendiri yang merekam dan mengunggah video-video aksi mereka ke internet) tak pelak memunculkan ketakutan di tengah warga. Pemenggalan leher, kepala terpenggal diangkat sambil terbahak-bahak, atau ditendang-tendang seolah sedang bermain sepak bola, atau ditancapkan di tombak, adalah di antara kengerian yang disebarkan milisi ‘pemberontak’ melalui media sosial.
Warga sipil pun kemudian bangkit membentuk milisi bersenjata untuk membela wilayah mereka. Maka, dibentuklah Syriac Military Council dengan tujuan mempertahankan wilayah berpenduduk Kristen di kawasan Al Jazira yang membentang di beberapa provinsi, Deir ez-Zor, Raqqa, Hasakah, dan Qamishli. Mereka mulai angkat senjata sejak Deir ez-Zor dan Raqqa jatuh ke tangan ISIS pada bulan Juni 2014.
Seorang biarawati Suriah bernama Agnes Mariam de la Croix berjuang melalui tulisan dan pidato di berbagai forum untuk melawan disinformasi yang beredar mengenai negaranya. Antara lain, Mother Agnes membuat sebuah laporan setebal 50 halaman yang membuktikan bahwa video yang diklaim sebagai korban senjata kimia di Damaskus adalah hoax.
Selain itu, banyak juga warga sipil yang bergabung dengan National Defence Force (Tentara Rakyat), termasuk kaum perempuan. Sebuah film dokumenter yang dibuat Press TV memperlihatkan bagaimana kaum perempuan Suriah yang cantik-cantik dan semula hidup nyaman, harus berpayah-payah mengikuti pelatihan militer untuk membantu Tentara Suriah mempertahankan negara di hadapan serbuan milisi asing.
Sementara itu, tentara Suriah terus menjalankan tugasnya dalam ‘sunyi’. Dalam liputan media-media mainstream, mereka selalu menjadi tokoh antagonis atau penjahat perang. Media-media berlabel Islam menggambarkan mereka sebagai orang-orang sadis bermazhab Syiah yang haus akan darah kaum Sunni.
Bila kita mengecek literatur yang jauh dibuat sebelum perang, seperti buku karya Hinnebusch (2001), kita bisa menyimpulkan bahwa pemerintah Suriah bukanlah pemerintahan yang dibangun atas dasar agama. Partai dominan di negara ini adalah Partai Baath yang berhaluan sosialis. Menurut Hinnebusch, label yang tepat untuk rezim Assad adalah ‘otoritarian yang populis’.
Pemerintahan Assad menghadapi ancaman dari luar (Israel) dan ketidakstabilan internal sehingga memilih bersikap otoriter demi terciptanya kestabilan negara. Namun pada saat yang sama, Assad berusaha membangun negara dengan mengupayakan dukungan dari masyarakat kelas menengah dan bawah.
Artinya, Assad sangat peduli dengan pentingnya dukungan yang muncul dari hati rakyat, bukan kepatuhan yang muncul dari rasa takut kepada rezim. Mungkin inilah yang mendasari kebijakan populisnya seperti layanan kesehatan gratis dan sekolah gratis hingga universitas.
Menurut Hinnebusch, pemerintahan Assad adalah plural dan ia mengangkat orang-orang di luar Alawy menjadi tokoh-tokoh penting di pemerintahan dan militer. Dalam komposisi kabinet Suriah, misalnya, 58% menteri Assad adalah orang Sunni, 20% Alawi, dan sisanya diisi oleh Druze, Ismaili, dan Kristen. Begitu juga dengan pimpinan militernya. Sebanyak 43% komandan mililter Suriah adalah Sunni, adapun Alawy berjumlah 37%, dan sisanya berasal dari kelompok-kelompok lain.
Pada Desember 2016, Aleppo akhirnya dibebaskan. Seorang tentara Suriah beragama Kristen yang terlibat dalam pembebasan Aleppo bernama Antoine Abboud, diwawancarai oleh Sputnik. Berikut kutipannya.
“Saya hanya ingin kebenaran berdiri tegak. Saya tidak tahu apa yang digembar-gemborkan internet, apa yang disebarkan di televisi. Saya hanya peduli dengan kebenaran dan kami datang untuk membantu warga”.
“Al Nusra memiliki roket TOW. Dari mana teroris itu mendapatkannya? Mereka punya makanan Amerika, senjata Amerika, obat-obatan dari Amerika, dsb”.
“Telah lima tahun berlalu, kami tidak mengambil alih kota [sebelumnya] karena di sini ada banyak warga sipil, perempuan dan anak-anak tinggal di Aleppo [timur]”.
“Tentara Suriah hanya terdiri dari orang-orang Suriah. Kami berasal dari kota-kota berbeda seperti Aleppo, Damaskus, Deir ez-Zor… Saya beragama Kristen, dan kami punya orang Alawy, Kurdi, Sunni, Syiah, dan kami bersatu dalam berjuang melawan teroris”.
Perang Suriah ternyata menyimpan cerita tentang orang-orang yang bertempur mempertahankan harta, nyawa, dan kehormatan bangsa, tanpa gegap gempita peliputan, apalagi sampai pujian. Tapi anak-anak bangsa akan mencatat mereka dalam sejarah sebagai para pahlawan dalam kesunyian. (Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Salju di Aleppo)