Teheran, beritaalternatif.com – Para petinggi Israel belakangan ini berlomba mengumbar ancaman agresi besar-besaran terhadap Iran untuk menghancurkan fasilitas nuklir negara Republik Islam ini, baik yang di permukaan maupun di bawah tanah.
Ancaman itu meluncur mulai dari mulut Perdana Menteri Naftali Bennett hingga mulut Menteri Pertahanan Benny Gantz. Kemudian Kepala Staf Pasukan Pertahanan Islam (IDF) Aviv Kochavi.
Tujuannya ialah menyelamatkan pamor Amerika Serikat (AS) dan menggertak Iran agar memberikan konsesi-konsesi yang dapat memulihkan perjanjian nuklir.
Ancaman yang paling spektakuler diumbar oleh Direktur Badan Intelijen Israel MOSSAD, Jenderal David Barnea. Dia bersumbar bahwa dengan risiko apa pun Israel tidak akan membiarkan Iran memiliki bom nuklir.
Gertakan ini mengingatkan orang pada sesumbar Adel Al-Jubeir, Menteri Luar Negeri Arab Saudi enam tahun silam, bahwa presiden Suriah Bashar Al-Assad “harus meninggalkan kekuasaan secara damai ataupun perang”. Dan nyatanya, Al-Assad sampai sekarang tetap tegar sebagai orang nomor wahid Suriah.
Jet tempur Israel memang pernah berhasil menyerang dan menghancurkan Reaktor Tammuz Irak pada tahun 1981, dan Reaktor Al-Walid atau Al-Nutfah yang sedang dibangun di bawah pengawasan para konsultan Korea Utara (Korut) di lokasi dekat Deir Ezzor pada tahun 2007.
Tapi mengulangi keberhasilan serupa terhadap Iran dengan sekali serang adalah pekerjaan yang mustahil, sebab fasilitas nuklir Iran tak terbatas di satu lokasi, melainkan di banyak tempat sehingga memerlukan beberapa kali serangan.
Bocoran dari media Barat menyebutkan dua kabar krusial sebagai berikut: pertama, MOSSAD berhasil memasang perangkat penyadap suara di ruang perundingan nuklir Wina babak pertama yang dimulai pada tahun 2012 di era keperesidenan Barack Obama. Hal ini membuat Israel mengetahui alur negosiasi nuklir Iran di semua tahapnya. Bocoran ini belum terverifikasi.
Kedua, pemerintahan Presiden AS Joe Biden menolak permohonan Israel untuk mendapatkan senjata “Induk Semua Bom” (Mother of All Bombs/MOAB) yang berbobot sekira 11 ton serta pesawat raksasa jenis B2 yang dapat membawa bom itu.
Daya rusak bom itu dianggap dapat menjangkau fasilitas nuklir Iran di bawah tanah. Karena itu, Gantz dan Barnea kembali ke AS untuk mendesak Washington agar menabuh genderang perang terhadap Iran jika perundingan nuklir di Wina kandas.
Serangan udara Israel, seberapa pun jumlahnya, alih-alih dapat menghentikan proyek nuklir Iran justru akan berbuah kontraduktif dan petaka kehancuran reaktor nuklir Dimona di sahara Negev, Israel (Palestina pendudukan 1948). Sebab, serangan udara itu tak akan dibiarkan tanpa balasan dari Iran sejak detik-detik awal setelah Israel melepaskan bom pertamanya di Iran.
Reaktor nuklir Dimona tak perlu lebih dari satu rudal presisi Iran untuk hancur lebur. Reaktor Dimona tak seperti reaktor-reaktor Iran semisal Reaktor Fordow yang tersembunyi di kedalaman ribuan meter di bawah gunung.
Selain itu, reaktor-reaktor Iran adalah buatan lokal, bukan didatangkan dari luar, dan dibentengi dengan sangat kuat. Karena dibuat sendiri maka Iran juga dapat membuatnya lagi dalam hitungan minggu atau bulan.
Menanggapi gertakan Israel, Wakil Komandan Umum Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran Laksamana Ali Fadavi menegaskan, pasukan Iran siap membalas dan meratakan Israel dengan tanah jika menyerang Iran.
Jauh hari sebelumnya, Ketua Komisi Keamanan Nasional Iran, Ali Shamkhani bersumbar, jet-jet tempur Israel bisa jadi akan berhasil melancarkan serangan ke fasilitas Iran, tapi tak akan bisa kembali akibat satu faktor sederhana, yaitu tidak akan menemukan lagi bandara atau pangkalan udara militer untuk mendarat.
Tak hanya pemberani, Iran juga sangat cerdik dan berpengalaman dalam menghadapi menghadapi segala tantangan. Karena itu pula, tak aneh jika beberapa sekutu AS di Teluk Persia berdatangan ke Teheran untuk menjulurkan tangan kompromi dan perdamaian. Dan Iran yakin akan dapat menghancurkan Israel jika kaum Zionis mencoba menyulut perang. (liputanislam)