Search
Search
Close this search box.

Israel Bangun Sistem Apartheid, Dina: Dunia Harus Melawannya dengan Tekanan

Pengamat Timur Tengah, Dina Y. Sulaeman. (Dok. Berita Alternatif)
Listen to this article

Kukar, beritaalternatif.com – Pengamat Timur Tengah, Dina Sulaeman menjelaskan, kata “apartheid” biasanya identik dengan Afrika Selatan. Kata ini memang berasal dari Afrika Selatan, yang bermakna pemisahan atau segregasi. Pada tahun 1948, Afrika Selatan secara resmi menerapkan sistem pemerintahan apartheid yang memisahkan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ras.

Kata dia, kaum kulit putih memiliki status dan hak-hak yang jauh lebih besar dibandingkan kaum kulit hitam. Pada tahun 1994, rezim apartheid tumbang. Kini, di tahun 2021, tiba-tiba saja, Human Right Watch mengeluarkan laporan yang menyebut Israel sebagai pemerintahan apartheid.

“Penyebutan Israel sebagai rezim apartheid sebenarnya sudah sering dilakukan oleh para pengamat, penulis, atau diplomat yang mendukung Palestina,” jelas Dina sebagaimana dikutip dari fixindonesia.com, Kamis (22/7/2021).

Advertisements

Konvensi Internasional 1973 tentang Penindasan dan Hukuman Kejahatan Apartheid dan Statuta Roma 1998 untuk Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mendefinisikan apartheid sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terdiri dari tiga elemen utama: niat untuk mempertahankan dominasi satu kelompok ras atas yang lain; penindasan sistematis oleh kelompok dominan atas kelompok yang terpinggirkan; dan tindakan tidak manusiawi.

Yang dimaksud “tindakan tidak manusiawi” antara lain adalah penangkapan sewenang-wenang dan pemenjaraan ilegal, membagi populasi menurut garis ras dengan membuat lokasi terpisah untuk ras tertentu, pemindahan paksa, perampasan tanah, menolak hak untuk “pergi dan kembali ke negara mereka”, dan menolak hak kewarganegaraan atas ras tertentu.

Semua tindakan itu, bahkan lebih dari itu, telah dilakukan oleh Israel sejak masa berdirinya rezim ini di tahun 1948. Pada tahun 1947, PBB merilis resolusi 181 yang membagi dua wilayah Palestina: 45% untuk didirikan negara Arab-Palestina dan 55% untuk didirikan negara Yahudi-Zionis. “Sejak saat itu pun, bangsa Palestina telah mengalami pengusiran, perampasan tanah dan rumah, dan bahkan pembantaian massal,” sebutnya.

Sebagian warga Arab-Palestina masih bertahan di wilayah 55% yang menjadi “jatah” Yahudi-Zionis dan menjadi warga negara Israel. Data tahun 2020, ada 1,9 juta warga Arab-Palestina yang menjadi warga negara Israel.

Mereka menjadi warga “kelas dua” dan mengalami berbagai diskriminasi yang masuk kategori ‘apartheid’. Antara lain, banyak dari mereka mengalami penggusuran semena-mena oleh pemerintah Israel. Warga Arab tidak bisa bebas memilih tempat tinggal dan terpaksa tinggal di permukiman khusus Arab.

“Di rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik, mereka juga mengalami diskriminasi. Orang Arab mendapatkan pelayanan kesehatan yang minim, berbeda dengan pelayanan yang diterima warga Yahudi. Kesempatan kerja pun sangat minim,” ungkap Dina.

Tak heran bila tingkat kemiskinan di kalangan warga Arab sangat tinggi. Bahkan, untuk menikah pun, mereka tidak memiliki kebebasan. Mereka dilarang menikah dengan sesama Palestina yang menjadi warga Tepi Barat atau Gaza; juga tidak bisa menikah dengan warga negara “musuh Israel” seperti Suriah, Iran, Irak, dan Lebanon.   

Sementara itu, sebagian warga Arab-Palestina yang terusir dari wilayah 55% tersebut, menjadi pengungsi di Tepi Barat, Gaza, atau di kamp-kamp pengungsian di negara-negara sekitar (Yordania, Suriah, dan Lebanon). Mulai tahun 1967, Israel menduduki Tepi Barat, sehingga kawasan itu disebut sebagai “Palestina yang diduduki” (occupied Palestine).

Pasca Perundingan Oslo 1993 dan 1995, 18% wilayah Tepi Barat diserahkan pengelolaannya kepada Otoritas Palestina, namun sisanya, militer Israel masih berkuasa. “Israel juga terus mendatangkan orang-orang Yahudi dari berbagai penjuru dunia ke Tepi Barat dan membangun permukiman khusus Yahudi di sana,” bebernya.

Di kawasan ini, Israel juga memberlakukan sistem apartheid. Warga Yahudi-Israel dibiarkan (bahkan dilindungi oleh tentara) untuk merampas tanah dan rumah milik warga Palestina. Di atas tanah rampasan itu, didirikan permukiman khusus Yahudi. Jalanan, fasilitas air, listrik, dan berbagai infrastruktur lainnya dibangun khusus untuk warga Yahudi, yang tidak boleh digunakan oleh warga Palestina. Di Tepi Barat, tentara Israel juga melakukan penangkapan semena-mena, menahan tanpa proses pengadilan, dan menembaki warga Palestina.

Semua itu sebenarnya sudah diketahui dan dikemukakan oleh para pengamat Timur Tengah, komisi PBB, aktivis kemanusiaan, bahkan diplomat. Pemerintah Indonesia juga secara tegas, berkali-kali, mengecam pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat karena mengorbankan hak-hak bangsa Palestina.

Meskipun baru kini, di bulan April 2021, Human Right Watch merilis laporannya yang mengkonfirmasi adanya apartheid dan persekusi (penganiayaan) yang dilakukan oleh Israel, laporan itu perlu ditanggapi dengan serius. 

“Laporan Human Right Watch ini seharusnya dijadikan momentum oleh komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk memberikan tekanan yang jauh lebih serius kepada Israel, sebagaimana dulu komunitas internasional kompak memberikan tekanan kepada rezim apartheid Afrika Selatan, sampai akhirnya rezim tersebut tumbang,” saran Dina. (fixindonesia.com/ln)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA