Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Meski telah melakukan pembantaian massal dengan menghancurkan sebagian besar infrastruktur di seluruh wilayah selatan Lebanon dan kawasan selatan Beirut, Israel yang didukung penuh AS gagal dalam seluruh rencananya, antara lain:
Pertama, gagal menghancurkan pabrik-pabrik senjata, pusat-pusat peluncur misil jarak dekat, sedang, jauh Hizbullah yang justru berhasil mengguncang Tel Aviv, Haifa, Akka dan sejumlah kota di Selatan dengan ratusan rudal dan drone pengembom setiap hari.
Kedua, gagal melakukan invasi darat di Lebanon Selatan demi membasmi Hizbullah yang malah panen puluhan tentara tewas dan cedera dengan ranjau, tembakan jitu sniper dan hujan roket.
Ketiga, gagal menghancurkan Hizbullah secara entitas politik, militer dan sosial.
Keempat, gagal mengisolasi dan menghancurkan mental massa pendukung Hizbullah (Syiah) yang mengungsi.
Kelima, gagal memciptakan konflik horisontal sektarian massa Syiah yang sebagian mendukung Hizbullah dengan masyarakar Sunni dan Kristen dengan menjadikan Syiah sebagai musuh bersama dan Hizbullah sebagai biang kehancuran ekonomi Lebanon.
Karena terlanjur sesumbar mengumumkan keberhasilan melumpuhkan sebagian sistem persenjataan Hizbullah, Israel terlalu arogan mengakui kegagalan. Serangan-serangan Hizbullah yang kian gencar ke pusat-pusat militer di Tel Aviv dan kota-kota perbatasan, membuat Israel kewalahan mendorongnya untuk meminta AS mengusulkan gencatan senjata sesuai kehendaknya.
Hizbullah pun tak menolak usulan itu. Dalam pidato pertamanya saat terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Hizbullah yang baru, Naim Qasim, mengonfirmasi bahwa Hizbullah siap untuk melakukan gencatan senjata dengan Israel.
Ia mengatakan, “Jika Israel telah memutuskan bahwa dia ingin menghentikan agresi, kami mengatakan kami menerima, tetapi dalam kondisi yang kami anggap pantas dan menguntungkan, kami tidak akan meminta gencatan senjata. Sampai saat ini semua gerakan politik belum membuahkan hasil karena belum ada proyek yang disetujui Israel dan dapat kita diskusikan.”
Syekh Naim Qasim juga menekankan bahwa partainya mampu melanjutkan perang melawan Israel “selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan.”
Dia menambahkan, “Keluarlah dari tanah kami untuk mengurangi kerugian Anda. Jika Anda tetap tinggal, Anda akan membayar apa yang belum Anda bayar sepanjang hidup Anda.” Ia menambahkan, “Kami dapat melanjutkannya selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan. Partai kami memulihkan posisinya setelah pukulan ‘menyakitkan’ yang diterimanya sejak pertengahan September. Kami terluka dan kesakitan. Tetapi partai kami mulai mendapatkan kembali posisinya dengan mengisi kekosongan dan menunjuk pemimpin alternatif, dan mulai berupaya untuk mengatur segalanya.”
Masalahnya, sudah diketahui bahwa pergerakan Amerika Serikat selalu diarahkan untuk melayani kepentingan Israel, seperti yang terjadi dalam semua negosiasi sebelumnya, baik langsung maupun tidak langsung. Sudah diketahui pula bahwa Israel selalu memberikan tawaran dan kemudian berbalik melawannya.
Tawaran yang disodorkan oleh Israel kepada Lebanon mirip dengan yang terjadi di masa lalu, karena mengandung “bom kertas” yang memuat klausul yang sulit diterima. Israel meningkatkan tekanan, sebagai upaya untuk mengendalikan fase eskalasi dengan tujuan melemahkan keinginan Hizbullah untuk melawan. Pemaksaan gencatan senjata di bawah tekanan api tidak akan pernah bisa diterima karena lapangan tetap menjadi penentunya.
Tujuan lain Israel adalah memberikan tekanan pada perunding Lebanon dan lingkungan yang mendukungnya, dengan tujuan mengacaukan pilihan-pilihan mereka dan menaburkan semangat kekalahan di kalangan diplomatik dan kerakyatan.
Meskipun Israel melakukan eskalasi, Hizbullah dan faksi-faksi militer di Gaza membalas dengan tembakan intensif pula, sehingga tentara pendudukan tidak dapat mencapai, melalui negosiasi, apa yang gagal dicapai di medan tempur.
Sebagian besar poin yang disajikan di media mempengaruhi kedaulatan Lebanon dan tidak memenuhi persyaratan untuk menerapkan Resolusi PBB 1701, yang menjelaskan bahwa Israel berupaya mencapai apa yang tidak dapat dicapai di lapangan, karena Israel melintasi Garis Biru dan menghapus perbatasan. Poin-poin yang disetujui sejak tahun 2000, meskipun pada kenyataannya Resolusi 1701 dengan jelas menetapkan penghormatan terhadap perbatasan Lebanon, yang dilanggar secara terang-terangan.
Kartu tekanan utama yang dimiliki Lebanon terletak pada kemampuan lapangannya, yang menunjukkan bahwa mencapai kemenangan serupa dengan tahun 2006 adalah satu-satunya cara untuk mendorong Israel meminta gencatan senjata dan kembali mematuhi Resolusi 1701, yang akan menurunkan batas atas persyaratannya dalam negosiasi.
Israel tidak akan mampu menguraikan keteguhan wilayah selatan atau menggoyahkan persatuan rakyat Lebanon, meskipun terdapat suara-suara sumbang yang tidak akan mempengaruhi suasana nasional secara umum. (*Cendekiawan Muslim)