Search

Pemilu Beruntun akan Tetap Jadikan Rezim Zionis Israel sebagai Pecundang

Israeli foreign minister and Head of the Yesh Atid party Yair Lapid walks next to Head of opposition and head of the Likud party Benjamin Netanyahu at the assembly hall for a special session in memory of Israel's first Prime Minister David Ben Gurion, on November 8, 2021. Photo by Olivier Fitoussi/Flash90 *** Local Caption *** מליאה ציון יום פטירתו של דוד בן גוריון כנסת יאיר לפיד בנימין נתניהו

BERITAALTERNATIF.COM – Dilansir Fars, awal bulan November ini ditetapkan sebagai pemilu legislatif setelah pembubaran Knessett. Meski demikian, para petinggi dan analis Israel tidak berharap banyak dari pemilu ini.

Berbagai problem ekonomi, ketidakstabilan politik, bentrokan, kecaman global, kritikan internasional, dan ketidakbecusan Kabinet telah membuat hari Tel Aviv lebih buruk dari hari sebelumnya. Tak seorang pun yang berharap adanya perubahan pasca-pemilu.

Di awal pembentukan Rezim Zionis, pemilu diadakan dalam rentang waktu yang normal. Namun dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pemilu semakin bertambah.

Advertisements

Penambahan pemilu dan pembubaran parlemen-parlemen adalah tanda pertama dari krisis politik akut di tubuh Rezim Zionis, yang membuat berbagai Kabinet Israel terus mengalami kegagalan.

Dalam tahun-tahun terakhir ini, rata-rata pemilu di Israel berubah dari empat tahun sekali menjadi dua tahun empat bulan sekali, yang akhirnya memicu semacam krisis politik domestik. Pemilu Israel pada 1 November ini adalah periode yang ke-5 dalam rentang waktu kurang empat tahun.

Kondisi ini diakui oleh para politisi atau warga Israel sendiri. Harian Yedioth Ahronoth baru-baru ini memublikasikan hasil sebuah jajak pendapat, yang menunjukkan bahwa sekitar 60 persen responden meyakini bahwa pemilu mendatang tidak bisa mengatasi kebuntuan politik jangka panjang Rezim Zionis.

Presiden Israel, Isaac Hertzog mengomentari rentetan pemilu di Tanah Pendudukan dengan mengatakan, “Kita di ambang pemilu baru; pemilu ke-5 dalam rentang waktu sangat singkat. Hal ini sangat tidak sehat bagi Israel dan amat merugikan.”

Sejak awal dibentuk, Israel menggunakan sistem parlementer. Dalam sistem ini, Ketua Kabinet praktis tidak memiliki wewenang penting. Meski demikian, para politisi Zionis rela “berdarah-darah” untuk memperebutkan kursi Perdana Menteri, yang sebenarnya justru membuat situasi politik semakin tidak stabil.

Benyamin Netanyahu, sebagai pemimpin oposisi dan rival terkuat Yair Lapid, sangat serius melakukan kampanye. Dengan berbagai cara, ia berusaha mendapatkan kembali jabatan yang dipegangnya selama 16 tahun, meski ia menghadapi dakwaan korupsi selama menjadi PM Israel.

Netanyahu dan pendukungnya mendeskripsikan Lapid sebagai orang non-militer dan berusaha mengesankan bahwa dia bukan orang yang sesuai bagi Israel untuk mengatasi ancaman keamanan.

Di lain pihak, meski Lapid adalah seorang tokoh politik, namun ia memulai kariernya di Kementerian Perang Israel. Demi membuktikan “kelayakannya untuk memanajemen perang”, Lapid terlibat konflik dengan Perlawanan Palestina.

Namun, ia terpaksa mengajukan gencatan senjata setelah permukiman-permukiman Zionis dihujani rudal siang malam selama dua hari.

Para politisi Israel, seperti mantan PM, Ehud Olmert dalam wawancara eksklusif dengan kanal i14 menyatakan, pemilu pada November ini tidak akan mengubah kondisi Tel Aviv. Dengan pernyataan ini, Olmert seolah mengakui bahwa Netanyahu dan Lapid bersaing demi sesuatu yang nihil. (*)

Sumber: Poros Perlawanan

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA