BERITAALTERNATIF.COM – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak keberatan jika masa jabatan Kepala Desa (Kades) diperpanjang dari 6 menjadi 9 tahun untuk dua periode.
Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan partainya telah menentukan sikap dalam Kongres V tentang stabilitas pemerintahan di level desa.
“Dengan perubahan periodisasi dari 18 tahun masa pemerintahan yang terbagi ke dalam 6 tahun untuk 3 kali masa jabatan, maka perubahan menjadi 9 tahun untuk 2 kali masa jabatan, secara prinsip tidak ada perubahan masa jabatan 18 tahun, namun kualitas pemerintahan bisa ditingkatkan, dan stabilitas politik pun meningkat,” ucap Hasto, Jumat (27/1/2023).
Hasto mengatakan penambahan masa jabatan Kades juga harus didukung dengan infrastruktur untuk meningkatkan kualitas Kades dan perangkat pemerintahannya.
Apabila masa jabatan Kades benar-benar diubah, PDIP ingin ada syarat bagi peningkatan kualitas Kades. Menurut Hasto, hal itu bisa ditempuh dengan penerapan Sekolah Kepemimpinan Kepala Desa.
“Sekolah ini menjadi bagian dari fungsi Kemendagri dengan mengoptimalkan peran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) guna menggembleng kepala desa terpilih tentang tata cara pemerintahan desa yang mendorong kemajuan desa dalam seluruh aspek kehidupan,” kata Hasto.
Ia juga menegaskan PDIP menganggap penting untuk membangun dari desa. Menurut dia, ini dapat menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan kemajuan hingga pusat kebudayaan.
“Di mana local wisdom hidup dan penuh dengan tradisi kehidupan gotong royong,” ujarnya.
Politikus PDIP yang juga penggagas UU Desa Budiman Sudjatmiko juga beranggapan serupa. Dia mengatakan stabilitas politik di desa akan lebih terjaga jika masa jabatan Kades diperpanjang menjadi 9 tahun.
“Periodisasi 9 tahun dan pembatasan masa jabatan kepala desa hingga maksimal 2 kali, memberikan peluang perkembangan demokrasi berlangsung lebih sehat, karena desa tetap memiliki kesempatan mengubah corak kepemimpinan desa menjadi lebih baik, dalam rentang waktu 18 tahun,” jelas dia.
Selain itu, Budiman menganggap proses demokrasi di level desa bisa lebih efisien dan murah. Kades pun memiliki lebih banyak waktu untuk membangun sumber daya manusia di wilayahnya masing-masing.
“Memberikan kesempatan berlangsungnya kepemimpinan desa yang lebih fokus dan stabil dalam pengembangan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menghasilkan 1 generasi unggul bagi keberlangsungan dan kemajuan NKRI,” terangnya.
Isu perpanjangan masa jabatan Kades bergulir usai demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, pada pekan lalu.
Demonstrasi diikuti oleh kepala dan perangkat desa. Mereka meminta masa jabatan diubah dari 6 menjadi 9 tahun.
Lewat unjuk rasa itu, para Kades meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Merespons desakan itu, Jokowi tak ambil pusing. Dia mengaku tak mempermasalahkan setiap aspirasi masyarakat. Menurutnya, hal itu bisa disampaikan ke DPR.
“Yang namanya keinginan, yang namanya aspirasi silakan disampaikan kepada DPR,” ucap Jokowi.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) M Nur Ramadhan menyatakan bahwa wacana perubahan masa jabatan Kades dari 6 menjadi 9 tahun dalam satu periode bertentangan dengan semangat pembatasan kekuasaan.
Menurutnya, masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar, serta melanggar dan mengkhianati prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun sejak dulu.
“Hal ini bertolak belakang dengan semangat pembatasan kekuasaan dalam prinsip negara hukum di Indonesia,” kata Nur dalam keterangannya, Rabu (25/1/2023).
Jika dikalkulasikan, lanjutnya, wacana memperpanjang masa jabatan Kades menjadi 9 tahun akan memungkinkan seorang Kades dapat menjabat hingga 27 tahun, mengingat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengizinkan seorang Kades dapat menjabat selama 3 periode.
Nur memandang alasan memperpanjang masa jabatan Kades untuk meredam eskalasi Pilkades merupakan suatu hal yang mengada-ada serta meremehkan kemampuan masyarakat mengelola konflik.
Kalau pun ada dinamika dalam Pilkades, menurutnya, sulit menemukan hubungannya dengan rentang masa jabatan selama 6 tahun sebagaimana diatur saat ini. Nur melanjutkan, wacana memperpanjang masa jabatan Kades patut diduga cerminan dari politik transaksional menuju Pemilu 2024.
“Presiden dan DPR merupakan pihak yang memegang kewenangan legislasi, sehingga menjadi sangat berdasar jika wacana ini bisa jadi bentuk politik transaksional karena sulit menemukan argumen rasional dari usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut,” katanya.
Dia memandang hilangnya kesadaran akan pentingnya membangun preseden positif dalam praktik demokrasi dari tingkat terbawah dari elite politik menunjukkan kemiskinan pemahaman untuk mewariskan nilai-nilai terbaik ke generasi mendatang.
“Bila Pilkades yang selama ini dianggap sebagai praktik terbaik demokrasi dari level pemerintahan terbawah, maka penyangkalan elite politik akan praktik ini akan menunjukkan bahwa inisiatif menggergaji praktik terbaik justru datang dari aktor pemegang kekuasaan itu sendiri,” kata Nur.
Berangkat dari itu, Nur meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menyingkap persoalan dekadensi etika kepemimpinan di tengah capaian kinerja yang minim dan pada gilirannya menjadi teladan buruk yang diikuti oleh para Kades.
Menurutnya, Jokowi dan DPR harus menolak wacana perpanjangan masa jabatan Kades dan menunda rencana untuk merevisi UU Desa sampai setelah Pemilu 2024.
Selain itu, dia juga mendesak Jokowi dan DPR untuk fokus dalam melakukan penataan terhadap pemerintahan desa, sehingga menghilangkan peluang korupsi dan memperbaiki kehidupan demokrasi di tingkat desa.
“Semua pihak, khususnya Apdesi, untuk menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dan fokus meningkatkan kehidupan berdemokrasi di tingkat desa,” katanya. (*)
Sumber: CNN Indonesia