Jakarta, beritaalternatif.com – Industri penerbangan Amerika Serikat (AS) terus menyampaikan kekhawatiran soal asumsi sinyal 5G dapat mengganggu penerbangan.
Bahkan, beberapa maskapai menyebut mungkin akan mengubah rute penerbangan dan terancam menunda banyak jadwal penerbangan.
Pengembangan jaringan 5G di AS menjadi kambing hitam atas masalah-masalah penerbangan di negara tersebut.
Regulator penerbangan AS khawatir rencana aktivasi 5G pada Januari 2022 mendatang bakal mengganggu sejumlah instrumen dalam penerbangan.
Hal tersebut masih jadi perdebatan, mengingat regulator dan penyedia layanan telekomunikasi di negara tersebut telah menjamin keamanan jaringan 5G pada penerbangan.
Dilansir dari CNN, Administrasi Penerbangan Federal AS atau FAA khawatir antena seluler 5G di dekat beberapa bandara dapat mengganggu proses pembacaan beberapa alat di ruang kendali pesawat.
Salah satu data yang dikhawatirkan mungkin dapat terganggu sinyal 5G adalah ketinggian pesawat secara real-time.
Sistem yang dikenal sebagai altimeter radar digunakan selama penerbangan dan dianggap sebagai peralatan penting. Altimeter ini berbeda dengan altimeter standar yang mengandalkan pembacaan tekanan udara dan tidak menggunakan sinyal radio untuk mengukur ketinggian.
Baru-baru ini FAA mengeluarkan larangan pada pilot menggunakan altimeter radar yang berpotensi terkena dampak sinyal 5G.
Belum jelas bandara mana saja yang dimaksud oleh FAA. Dalam keterangan resminya, mereka akan menyebut bandara mana setelah mendapat lebih banyak informasi dari operator nirkabel tentang di mana infrastruktur 5G mungkin ditempatkan.
Waktu yang menjadi kekhawatiran FAA semakin dekat. Rencananya, 5 Januari 2022, operator nirkabel telekomunikasi akan mengaktifkan layanan 5G yang bergantung pada frekuensi radio.
FAA menyebut kekhawatiran 5G ganggu penerbangan mungkin juga akan berdampak di wilayah-wilayah sentral di AS, termasuk Los Angeles, New York, dan Houston.
Kaitan 5G dan Sinyal Penerbangan
Sinyal 5G akan merambat melalui frekuensi radio yang secara kolektif dikenal sebagai C-Band. Pita gelombang udara tersebut menarik bagi operator nirkabel karena menawarkan keseimbangan yang baik antara jangkauan dan kapasitas seluler.
Pada spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk komunikasi nirkabel, C-Band berada tepat di sebelah pita frekuensi yang digunakan oleh altimeter radar pesawat.
Keduanya dipisahkan oleh sebuah pita pengaman, agar menghindari intervensi satu sama lain. Pita pengaman yang dimaksud adalah “gelombang kosong”.
Penjelasan tersebut rupanya belum membuat orang-orang di industri penerbangan tenang, salah satunya dari pihak produsen pesawat.
“Dampak negatif yang sangat besar pada industri penerbangan,” tulis CEO Boeing dan Airbus dalam sebuah surat yang ditujukan untuk Departemen Perhubungan AS.
“Kami setuju bahwa interferensi 5G dapat berdampak buruk pada kemampuan pesawat untuk beroperasi dengan aman,” lanjutnya.
Sementara itu, pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengungkapkan kemungkinan jaringan 5G membahayakan keselamatan penerbangan. Gangguan ini paling mungkin datang dari perangkat di kabin dan dibawa oleh penumpang.
“Kalau ada jaringan 5G dekat atau peralatan 5G di kabin yang berada di luar kendali maskapai (atau dengan kata lain, barang milik penumpang),” kata Gerry kepada CNNindonesia.com melalui pesan teks, Kamis (4/11/2021).
Gerry menjelaskan, radio altimeter digunakan untuk ketinggian rendah ketika pesawat berada dalam fase lepas landas dan pendaratan.
“Radio altimeter ini digunakan untuk ketinggian rendah, guna membantu operasi di fase kritis, seperti take off and landing,” ujar Gerry.
“Di luar fase kritis untuk sementara ini bahayanya minim sekali,” lanjutnya.
Gangguan pada radio altimeter juga disebut dapat mengganggu kelancaran operasional pada fase tersebut, seperti penunjukan informasi yang salah pada radio altimeter.
“Gangguannya antara lain adalah salah angka yang ditayangkan oleh radio altimeter. Radio altimeter adalah indikasi tambahan untuk memberi tahu pilot seberapa jauh pesawat dari permukaan tanah atau air,” jelasnya.
Meski demikian, Gerry mengatakan, kesalahan pada radio altimeter tidak serta-merta membuat pesawat menabrak gunung. Namun, kesalahan tersebut dapat memicu sejumlah sistem yang tidak seharusnya bekerja.
“Kesalahan radio altimeter bukan akan membuat pesawat menabrak gunung, tapi lebih ke resiko banyaknya false alarm dan kejadian trigger penyelamatan yang otomatis, yang seharusnya tidak ke-trigger,” kata Gerry.
“Ujung-ujungnya berakibat kepada penambahan beban kerja kepada pilot di fase kritis, yang meningkatkan tingkat resiko kecelakaannya,” pungkasnya.
Tidak di Indonesia
Opini berbeda datang dari Wakil Direktur Operasi Cyber Security Independence Resilience Team of Indonesia, Salahuddien Manggalanny.
Menurutnya, implementasi 5G di Indonesia tidak akan menggunakan frekuensi C-band yang merupakan tempat untuk jaringan radio telemetry untuk pengukuran altimeter penerbangan.
Kemudian Salahuddien juga menjelaskan bahwa sifat spektrum dan alokasi yang spesifik di setiap negara dengan geografis berbeda memberikan pengaruh berbeda pada frekuensi di tabel alokasi tertentu.
Standar internasional radio telemetry untuk pengukuran altimeter penerbangan menggunakan frekuensi C-band atas (4200-4800 Mhz), dan Amerika pun menggunakan frekuensi tersebut.
“Sedangkan di Indonesia sebaliknya. Untuk rencana implementasi 5G tidak akan menggunakan spektrum C-band baik yang bawah maupun yang atas, karena perbedaan prioritas, karakteristik spektrum dan existing primary service yang masih dibutuhkan masyarakat,” ujar Salahuddien. (cnnindonesia)