Oleh: Haryati*
Jika kita melihat pelbagai media sosial atau jalan-jalan di pusat pembelanjaan, kita akan menemukan banyak iklan model jilbab, model-model pakaian terkini atau alat kecantikan beraneka rupa. Bahkan di laman akun media sosial para artis atau selebgram pun, kita akan dicekoki barang-barang endorse dari tas hingga alat dapur. Benar yang dikatakan oleh Steven Miles dalam bukunya Consumerism as a Way of Life bahwa konsumerisme telah menjadi “agama” baru di tengah-tengah masyarakat abad 21 ini.
Hingga hari ini, mayoritas muslimah memakai Jilbab karena perintah agama. Dalam fikih Islam, jilbab wajib dikenakan oleh perempuan muslim dewasa ketika berada di ruang publik atau di hadapan lawan jenis yang bukan mahramnya, sehingga sebagian mereka dalam pengenaan jilbab, di antaranya hanya sekedar menggugurkan kewajibannya, bisa juga menjadi sesuatu yang dipaksakan dan menjadi perbuatan yang bertentangan dengan yang diinginkannya.
Mungkin sebagiannya mengenakan jilbab karena tradisi, adat atau kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan keluarga atau hidup di lingkungan pesantren. Sehingga jilbab hanya menjadi gaya hidup, sekedar penutup kepala dan tidak mengetahui pertanggungjawaban pengenaan hijab ini. Alasan lain berhijab karena jilbab telah menjadi tren dan popular saat ini. Apalagi banyaknya berbagai model dan gaya yang ditawarkan pasar. Dari hijab segiempat yang beraneka ragam warna, pashmina hingga jilbab instan. Menjadikan kebanyakan muslimah berbondong-bondong hijrah, dari yang tidak berjilbab menjadi perempuan berjilbab dan pemakai hijab semakin meluas, tidak terbatas pada santriwati, keluarga agamawan, aktivis organisasi Islam tetapi juga dari elemen masyarakat biasa, artis hingga politisi.
Dari semua itu, yang paling hebat adalah mereka yang berjilbab melampaui alasan-alasan klise tersebut, tapi menjadikannya sebuah hak dan sadar bahwa jilbab bukan sekedar selembar kain yang menutup rambut dan kepala. Bagi muslimah yang sadar jilbab bukan sekedar kewajiban tapi juga hak, akan menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai pusat kekuatan, benteng pertahanan sekaligus pusat eksistensinya sebagai perempuan merdeka. Baginya jilbab menjadi medium perlawanan dan pembebasan dari jeratan kapitalisme dan godaan konsumerisme.
Pernah suatu hari, anak tetangga saya bertanya kepada emaknya tentang jilbab yang saya kenakan. Katanya, kenapa yang saya kenakan model pakaian itu-itu saja. Jilbab instan berwarna hitam, yang dipadu dengan gamis panjang. Pertanyaan anak ini tentu mewakili sebagian teman-teman dan kerabat yang saya jumpai, cuman mereka lebih memilih diam ketimbang cari masalah.
Secara pribadi, saya tidak suka diribetkan soal fashion. Lebih senang dengan gaya simpel dan sederhana. Lebih tepatnya persis dengan prinsip Mark Zuckerberg, CEO Facebook. Mengenakan baju hitam setiap harinya karena tidak ingin dipusingkan, besok harus pakai baju apa. Om Keanu Reeves juga memesankan, jangan malu dengan pakaian lama karena pakaianmu tidak menjelaskan kemampuanmu dan hiduplah sederhana, karena penampilan bukan lambang kesuksesan.
Hidup di dunia materialistik dan gempuran gaya hidup konsumtif memang butuh mental kuat. Kita akan diperhadapkan oleh mata dan cibiran karena pakaian tidak hanya menjadi identitas religius keislaman, tetapi juga menunjukkan kemoderenan dan tingkat sosial seorang muslimah yang mengikuti perkembangan fashion.
Gaya hidup konsumtif telah menghegemoni kehidupan masyarakat masa kini dan menenggelamkan kesadaran perempuan. Tidak heran jika mereka berlomba-lomba untuk tampil cantik dengan membeli alat kecantikan, obat pelangsing, pemutih kulit, hijab berbagai model dan berwarna-warni.
Sadar atau tidak, perempuan dijadikan sebagai sekrup vital dalam mesin roda kapitalisme yang terus berputar kencang menghasilkan barang untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya sembari menggilas kemanusiaan perempuan. Kaum kapitalis menyadari bahwa setiap bagian anggota tubuh perempuan, dari rambut hingga ujung kaki merupakan potensi komoditi yang dapat dikomersialkan. Melalui propaganda iklan, bentuk bibir, alis, bodi hingga style life perempuan yang ideal dibentuk dan ditentukan oleh mereka.
Ekspansi yang dilakukan oleh kapitalisme, membidik semua. Awalnya hanya perempuan tidak berjilbab, kini perempuan berjilbab pun menjadi target. Kapitalisme menggunakan sensualitas perempuan yang tidak berjilbab untuk diindustrialisasi. Di berbagai sektor mereka dimanfaatkan untuk mengembangkan misinya. Perempuan berhijab disodorkan berbagai alat kecantikan khusus untuk jilbabers. Lewat media, hasrat konsumerisnya dibangkitkan dengan menawarkan berbagai model dan gaya busana muslimah yang menarik. Ideologi konsumeris masyarakat mengubah pandangan dan perilaku manusia menjadi lebih konsumtif. Busana muslim bukan lagi dianggap sebagai fungsi, melainkan sarana untuk ajang diri, mengangkat prestise dan statusnya. Nilai spiritualitasnya tergeser oleh kemoderenan dan gaya hidup. Kaum kapitalis mengubah masyarakat sebagai makhluk hedon, materialistik dan kapitalistik. Juga mengikis kesadaran, dan mengaburkan identitas kemanusiaannya. Perempuan bukannya sadar akan perbudakan yang dilakukan oleh kaum kapitalis, tapi justru malah makin silau akan produk-produk yang ditawarkan. Kegelisahan yang dirasakan bukan karena problem sosial yang dihadapi perempuan atau yang terjadi di tengah masyarakat saat ini, melainkan galau karena produk-produk fashion baru yang semakin tidak terbeli. Kehadiran kapitalisme bukan hanya sekedar memanfaatkan perempuan sebagai alat produksi, tapi bagaimana perempuan dijadikan pula sebagai media iklan dan promosi barang di pasaran, yang kemudian perempuan itu pula yang pada akhirnya menjadi konsumen barang tersebut.
Secara umum diketahui bahwa jilbab untuk menutupi rambut, kepala dan dijulurkan hingga ke bawah menutupi dada. Namun, di balik itu semua, Islam memiliki pesan besar di balik lembaran kain tersebut. Jilbab memang hanya selembar kain, tapi kekuatan di baliknya adalah bentuk perlawanan terhadap perbudakan, dikte serta opresi yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Pesan perlawanan jilbab terhadap gaya hidup konsumtif itulah yang membuat sejumlah negara Barat menerapkan aturan pelarangan jilbab. Mereka sampai hari ini masih menerapkan aturan yang diskriminatif terhadap perempuan berjilbab padahal di saat yang sama mereka menggaungkan kampanye kebebasan perempuan atas nama HAM dan demokrasi.
Kenapa jilbab bagi mereka tampak menakutkan dan harus dilarang? Bukankah jilbab hanya selembar kain? Itu pulalah alasannya, mengapa Iran yang mewajibkan pengenaan jilbab sampai harus dikucilkan dan terus dibombardir dengan propaganda negatif oleh negara-negara Barat.
Muslimah sejati yang sadar akan haknya tidak akan mudah diintervensi dan ditundukkan oleh siapa pun apalagi oleh produk-produk yang tidak bernyawa. Kekuatan di balik jilbab seorang muslimah disadari secara penuh oleh kaum kapitalis, sehingga mereka berusaha menghilangkan identitas dan jati diri seorang muslimah dengan menawarkan ide dan gagasan kebebasan, pakaian-pakaian yang fashionable, program TV dengan hiburan-hiburan yang berorientasi seksual. Mereka merusak masyarakat melalui kaum perempuan yang sudah dijejali dengan pakaian-pakaian seksi, gaya dan penampilan genit, yang kalaupun kaum perempuan Islam itu mau berjilbab, maka yang dipromosikan adalah gaya jilbab yang tetap mengumbar aurat dan menonjolkan sensualitas perempuan.
Seandainya, para muslimah mengutamakan fungsi barang, tentu tidak akan mudah menjadi budak kapitalisme. Tidak disibukkan dengan produk kecantikan dan fashion kekinian, tapi sibuk dalam mencerdaskan diri, meningkatkan intelektual dan kepekaan, mengasah diri dan menghidupkan kesadaran dan kemanusiaan diri. Gelisah pada kondisi sosial yang tidak adil, timpang, hukum yang lemah. Mengubah pensil alis menjadi senjata yang menuliskan suara kebenaran dan keadilan.
Kehadiran jilbab sejatinya sebagai alat untuk melawan standar-standar dan berbagai pandangan dunia materialistis yang berorientasi materi. Islam tidak meminta kecantikan fisik, dan sensual, tetapi lebih menuntut agar perempuan bisa meyakini identitas Islam dan mencari kebenaran. Islam menuntut perempuan menjunjung nilai-nilai eksistensialnya, bukan nilai-nilai sensualitasnya.
Kehadiran jilbab juga menjadi tameng bagi perempuan dari pandangan yang tidak seharusnya, mencegah terjadinya pelecehan seksual, menjaga pondasi keluarga dan memberikan ruang gerak bebas kepada perempuan untuk berperan aktif di tengah masyarakat sebagai bagian individu masyarakat. Memaksimalkan potensi yang dimilikinya dengan bergelut di berbagai bidang. Jadi, statement jilbab hanya selembar kain adalah sebuah komentar reaksioner dari mereka yang belum menyelami dalamnya sebuah lautan tetapi berargumen bahwa laut itu hanya air garam. (*Founder Perempuan Bersuara)