BERITAALTERNATIF.COM – Seorang perempuan muda yang mengenakan jilbab hitam asyik berbincang dengan seorang jurnalis yang bekerja untuk sebuah media nasional terkemuka di salah satu rumah makan di Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Saya menghampiri mereka. Perempuan tersebut menyapa dengan pelan. Setelah memastikan bahwa saya mencarinya, ia mengajak saya duduk bersama mereka. Saya kemudian mendatangi keduanya yang tengah asyik berbincang tentang sebuah kasus yang melibatkan seorang anggota di sebuah institusi keamanan di negeri ini.
Perempuan yang memperkenalkan diri dengan nama Rusniawati Ayu Syafitri itu adalah seorang pengacara dari RAS LAW OFFICE yang sedang menangani kasus Usman bin H. Abdul Hamid (50), yang sebelumnya diuraikan dengan panjang lebar dalam artikel Berita Alternatif yang berjudul Jual Beli Saham Berakhir di Meja Hijau.
Hari itu, waktu sudah menunjukkan pukul 12.45 Wita. Sebelumnya, kami membuat janji untuk berbincang di rumah makan tersebut. Janji pertemuannya pukul 13.00 Wita. Pertemuan hanya akan berlangsung selama satu jam. Sebab, Ayu akan mendampingi Usman untuk bersidang di Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong pada pukul 14.00 Wita.
Saya yang ditugaskan pimpinan Berita Alternatif untuk mendalami kasus tersebut juga akan menjalankan tugas peliputan lainnya terkait kasus pemalsuan surat tanah yang diduga melibatkan seorang Anggota DPRD Kukar. Saya pun memanfaatkan dengan baik waktu tersebut untuk mendalami kasus yang tengah ditangani Ayu.
Selang 15 menit setelah saya berbincang dengan Ayu dan jurnalis dari media nasional tersebut, seorang laki-laki paruh baya menghampiri kami. Ia kemudian menjabat tangan saya, serta memperkenalkan diri dengan nama: Nove Yohanes Suprapto. Dia adalah rekan Ayu yang tergabung dalam tim penasehat hukum Usman.
Saya tak mengajak Ayu dan Nove untuk berbincang panjang terkait kasus tersebut. Hanya berselang beberapa menit setelah Nove datang, saya langsung menyodorkan permintaan untuk wawancara terkait kasus yang tengah menjerat Usman.
Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Usman menjual 70 persen sahamnya kepada Hartomo, suami dari Merry Chintya Dewi, yang merupakan Direktur Utama PT Makaramma Timur Energi (MTE).
Usman menjual sahamnya dengan harga Rp 6,5 miliar. Masih berdasarkan surat dakwaan. Hartomo membayar saham Usman secara bertahap sebanyak empat kali pada tahun 2018.
Ayu dan Nove justru menemukan fakta berbeda dari surat dakwaan di pengadilan. Kenyataannya, Hartomo membayar saham Usman sebanyak 27 kali. “Sehingga tidak memenuhi kualifikasi di mana klien kami harus mempersiapkan full untuk lokasi jetty yang dikerjasamakan,” tegas Nove pada Rabu (12/10/2022).
Poin dakwaan yang dituduhkan kepada Usman terkait penipuan dan penggelapan adalah teknis pekerjaan di sebuah proyek di Kecamatan Muara Badak, Kukar. Teknis pekerjaan tersebut dilakukan oleh investor yang menunjuk Robby Tan.
Berdasarkan keterangan Nove, Robby melaksanakan pekerjaan di lapangan tanpa berkoordinasi dengan Usman. Robby pun dinilai mengerjakan sesuatu di luar perjanjian kerja sama antara Hartomo dan Usman. Salah satunya, Robby menggarap lahan yang merupakan areal di luar perjanjian kedua belah pihak.
Robby juga menggarap lahan yang baru dibayar sebagian oleh Usman. Nilai obyek lahan pun bertambah seiring keterlambatan pembayaran terhadap lahan. Sejatinya Usman mengharapkan sahamnya yang dijual Rp 6,5 miliar dibayar secara langsung, bukan dengan cara dicicil. Sebab, uang tersebut akan digunakannya untuk membayar semua lahan yang akan digarap oleh Hartomo melalui PT MTE.
Karena lahan dibayar secara bertahap, harga jual lahan pun meningkat drastis. Kata Nove, Robby yang tidak berkoordinasi dengan Usman dalam proses penggarapan tersebut memperuncing persoalan di lapangan.
“Sehingga apa yang dikerjakan banyak yang menyimpang dan menyalahi dari apa yang disiapkan oleh klien kami,” tegasnya.
Selain itu, sambung dia, investor justru melakukan transaksi secara pribadi tanpa sepengetahuan Usman. Belakangan, hal inilah yang menjadi dalih Hartomo dan Merry melaporkan Usman kepada aparat kepolisian.
Nove menegaskan, berdasarkan perjalanan kasus ini, Usman sejatinya dirugikan. “Ini menjadi tantangan bagi kami untuk membuktikan siapa yang ditipu dan menggelapkan,” ucapnya.
Pihaknya akan melakukan pembelaan dengan cara mendalami surat-surat perjanjian jual beli saham antara Usman dan Hartomo. Salah satunya, penjualan saham pada 13 Juni 2018.
“Apakah benar ada pembayaran? Di mana tempatnya? Siapa-siapa saja yang hadir? Tentu itu akan menjadi tanggung jawab kami untuk membuktikannya,” ujar dia.
Apabila pihaknya menemukan bahwa perjanjian jual beli ini mengandung unsur itikad tidak baik atau niat jahat, pihaknya akan berusaha membuktikannya serta mempertimbangkan untuk melayangkan tuntutan balik kepada pihak-pihak yang membuat Usman harus berurusan dengan hukum di meja hijau.
Dia mengurai, tuduhan penipuan dan penggelapan terhadap Usman juga berkaitan dengan pelaksanaan proyek. Bukan pada penjualan 70 persen sahamnya kepada Hartomo. Padahal, Usman tidak pernah dilibatkan dalam proses pelaksanaan proyek tersebut.
Pelaksanaan proyek, sambung Nove, memang membuat investor mengeluarkan biaya yang berbeda dari perjanjian jual beli saham. “Tapi, itulah yang dituduhkan kepada H. Usman sebagai penipuan,” katanya.
Ia mencontohkan penggarapan lahan yang membuat investor mengeluarkan biaya Rp 1,147 miliar. Biaya ini, lanjut Nove, sejatinya timbul dari pelaksanaan proyek. Usman yang tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut justru dianggap melakukan penipuan dan penggelapan.
“Padahal, apa yang dilakukan investor melalui teknisi proyeknya itu melaksanakan proyek tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan klien kami. Dia justru menggarap tanah yang bukan disiapkan klien kami, sehingga menimbulkan biaya dari investor,” urainya.
Belakangan, kata Nove, saham milik Usman yang tersisa 30 persen justru ingin diambil oleh Hartomo. Karena ia tidak berhasil mengambil saham tersebut, Usman justru dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan penipuan dan penggelapan.
Sebagai praktisi hukum, Nove dan Ayu mengaku bingung dengan kasus ini. Keduanya justru tidak melihat unsur pidana dalam kasus tersebut. Pasalnya, kedua belah pihak melakukan jual beli saham atas dasar kesepakatan.
Biaya yang dikeluarkan Hartomo untuk pelaksanaan proyek senilai Rp 100 miliar, lanjut Nove, sejatinya tidak berkaitan dengan tanggung jawab Usman. Biaya ini, lanjut Nove, sebenarnya timbul dari pelaksanaan proyek. “Yang mana sampai hari ini klien kami tidak mengetahuinya. Semua hanya di mulut,” terangnya.
Dia menegaskan, jika kasus ini merupakan peristiwa pidana, mestinya pelapor terlebih dahulu membuktikan pelanggaran perdata dalam kasus tersebut. Pembuktian ini sejatinya dapat menjadi dalil bagi Hartomo bahwa memang Usman terbukti wanprestasi.
“Buktikan dulu benar enggak sih klien kami ini wanprestasi. Kalau memang wanprestasi, apakah wanprestasi itu peristiwa pidana atau bukan? Kan harusnya seperti itu,” tegasnya.
Nove mengatakan, apabila dalam kasus ini Usman terbukti wanprestasi, saham miliknya di PT MTE bisa dipotong untuk menutupi kekurangan tersebut.
Dia pun menduga bahwa investor menjebloskan Usman ke penjara karena tidak berhasil mengusai 30 persen saham milik pria yang sedang menjalani tahapan persidangan di PN Tenggarong tersebut.
Nove dan Ayu pun mempertimbangkan untuk menuntut balik investor. Sebab, keduanya melihat terdapat muatan-muatan yang menunjukkan bahwa investor tidak memiliki niat baik.
“Kemudian, tentu saja ada hak-hak klien kami yang sampai hari ini dia tidak terima. Itu akan menjadi pertimbangan kami untuk mengambil langkah-langkah hukum balik,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin