Kukar, beritaalternatif.com – Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kutai Kartanegara (Kukar) periode 1997-1998, Haidir, menyebut Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) sebagai organisasi bagi alumni HMI untuk membangun silaturahmi setelah purna dari organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia tersebut.
Setelah selesai belajar di HMI, kata dia, setiap alumninya mempunyai kesibukan di lembaga dan profesi yang berbeda-beda. Karena itu, KAHMI bisa menyatukan berbagai alumni yang terpisah dari segi profesi dan aktivitas.
Selain itu, KAHMI juga bisa menjadi perekat bagi alumni HMI dari sekian banyak perbedaan setiap individu. Pasalnya, lembaga-lembaga di mana alumni HMI berkiprah memiliki tujuan dan misi yang berbeda-beda dengan organisasi kemahasiswaan yang berasaskan Islam tersebut.
“Sehingga sangat mungkin ada gap pemikiran, ada gap pandangan, aksi yang berbeda pada alumni itu dengan alumni yang lain sehingga bisa menciptakan benturan-benturan,” jelas Haidir kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.
Tak bisa dimungkiri, kata dia, alumni-alumni HMI diperhitungkan dari berbagai aspek. Dengan kekuatan dan kelebihan mereka, para alumni organisasi ini akan memberikan peran dan kerja di lembaga di mana mereka berkiprah.
Dominasi itu, sebut Haidir, akan menciptakan benturan dengan alumni yang berkiprah di tempat atau lembaga yang berbeda. Karenanya, keberadaan KAHMI dapat merekatkan berbagai perbedaan tersebut sehingga tidak kontraproduktif dengan tujuan HMI.
Kata dia, kekuatan personal alumni HMI adalah keuntungan bagi setiap lembaga. Namun, ketika terjadi benturan antar alumni di lembaga yang berbeda-beda, maka akan timbul gap-gap antar alumni HMI.
“Nah, keberadaan KAHMI itu menjadi perekat, penyambung, dan menyinkronkan perbedaan itu. Ya, misalnya alumni berada di beberapa partai politik berbeda, yang dalam pertarungan politik nanti bisa menciptakan gap yang ekstrem di tengah masyarakat,” jelasnya.
Dalam pertarungan politik, alumni HMI yang aktif di berbagai partai politik akan membawa arus konflik yang besar di tengah-tengah masyarakat. Ia menyebutkan, andai tidak ada KAHMI, maka mereka akan sulit dipersatukan sehingga perbedaan-perbedaan tersebut tidak menimbulkan ancaman, konflik, dan benturan di masyarakat.
“KAHMI akan merekatkan, menyatukan, meredakan setiap potensi-potensi konflik itu,” jelasnya.
Haidir mengatakan, KAHMI tak bisa dipisahkan dengan misi HMI. Saat aktif di organisasi tersebut, mereka dibekali dengan berbagai pengetahuan dan doktrin, yang arahnya membangun kemaslahatan bagi umat dan bangsa.
Misi HMI tersebut dinilainya sangat mulia. Sebab, organisasi yang didirikan Lafran Pane ini memiliki misi untuk membawa masyarakat Indonesia ke arah yang lebih maju dan modern.
“Karena keberadaan alumni itu sendiri di lembaga-lembaga tertentu, dia akan terseret pada kepentingan-kepentingan kelompok atau lembaga-lembaga tertentu, yang akhirnya menghilangkan dan mengaburkan posisi-posisi doktrin, misi, dan tujuan-tujuan mulia dari HMI,” jelasnya.
Independensi Etis Alumni HMI
Ia menekankan, setiap alumni diharapkan tidak mengabaikan misi HMI tersebut serta tak terdoktrin oleh kepentingan setiap lembaga di mana mereka aktif dan berkiprah. Kata dia, memperjuangkan lembaga menjadi kewajiban setiap alumni, namun tidak boleh menghilangkan jati dirinya sebagai alumni HMI.
Haidir menekankan, misi HMI tidak akan pernah purna layaknya alumni selesai belajar dan berkiprah dari organisasi tersebut. Pasalnya, misi adalah itikad dan beban moral bagi setiap orang yang pernah aktif di HMI.
“Ini yang menjadi faktor utama yang harus diperhatikan sehingga kalaupun berada di lembaga, institusi, dan situasi kepentingan lembaga mana pun, misi itu harus tetap ia jaga,” tegasnya.
Dalam perspektif HMI, kata Haidir, hal itu merupakan independensi etis. Secara organisatoris, setiap alumni tidak lagi terikat dengan HMI. Namun, independensi etis tak pernah bisa dilepaskan dari setiap alumni organisasi yang berdiri pada 1947 tersebut.
“Tunduk dan taat pada kebenaran itu adalah independensi etis. Seorang pribadi alumni harus memiliki perasaan dan sikap bahwa ia hanya akan tunduk dan patuh pada nilai-nilai kebenaran,” jelasnya.
Setiap alumni akan berusaha memperbaiki lembaga di mana ia aktif dan berperan. Usaha tersebut harus berlandaskan ikhtiar untuk menggiring lembaganya pada kebenaran, ketaatan pada aturan bangsa dan negara, serta yang terpenting adalah ketaatan pada Islam.
“Itu tidak bisa dilepaskan. Itulah misi yang harus diemban. Karakter alumni harus kuat. Harus bertahan pada prinsip itu. Kita dibekali misi. Kita dibekali nilai. Nilainya apa? Nilai Identitas Kader atau Nilai-Nilai Dasar Perjuangan yang akan mengikat kita selamanya sampai kita mungkin meninggal nanti,” jelasnya.
Setelah masuk di HMI, kata Haidir, setiap orang tidak bisa lepas dari independensi etis, meskipun telah dipecat dari HMI atau bahkan dari alumni organisasi tersebut.
Namun, secara etis, ia pernah belajar dan mengecap ilmu pengetahuan dari HMI, mengenal misinya, serta mempelajari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. Sehingga kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya dinilai Haidir sebagai bentuk kekhilafan. Tetapi hal itu tidak menghilangkan karakteristik etisnya sebagai kader dan alumni HMI.
Ia mencontohkan, dulu forum Kongres pernah memecat Ferry Mursyidan Baldan sebagai kader HMI. Namun, hingga saat ini ikatannya dengan organisasi tersebut tetap terjalin dengan baik, bahkan sebagian orang tetap mengelu-elukannya sebagai alumni HMI yang memiliki peran strategis saat aktif di HMI maupun lembaga negara.
Karena itu, dia menekankan, kebijakan struktural tidak bisa melepaskan setiap alumninya dengan HMI. Kecuali yang bersangkutan keluar dari Islam sehingga menghilangkan identitasnya sebagai muslim yang menjadi syarat utama untuk menjadi kader atau alumni HMI.
“Tetapi yang namanya alumni, mungkin saja dia berpindah agama, tapi ini pandangan pribadi saya, boleh-boleh saja pindah agama, tapi tidak menghilangkan bahwa dia pernah tahu NDP dan pernah tahu misi HMI. Dan nilai-nilai itu kan tidak pernah hilang 100 persen dari dirinya walaupun dia berpindah agama,” ujarnya.
“Tetapi kita tidak berbicara terlalu jauh begitu. Tetapi paling tidak posisi seorang alumni itu tidak akan hilang ke-HMI-annya hanya karena dia melakukan tindakan-tindakan tertentu yang di luar koridor ketentuan organisasi,” lanjutnya.
Posisi KAHMI Kukar
Haidir menilai, beberapa tahun terakhir, KAHMI Kukar larut dalam kelompok politik tertentu sehingga menimbulkan gap terhadap masing-masing alumni. Ini pula yang menciptakan kesukaan dan ketidaksukaan (like and dislike) terhadap HMI dan KAHMI. Namun, ia menganggap hal itu lazim terjadi dalam setiap periodesasi kepengurusan organisasi.
Dia menekankan, dominasi pribadi dalam lembaga mengkhawatirkan bagi masa depan organisasi. Posisi politik, ekonomi, dan sosial seseorang yang menimbulkan dominasi terhadap KAHMI tidak sehat bagi keberlanjutan organisasi.
“Arahnya sedikit banyak sudah sejauh itu di Kukar ini,” katanya.
Pada momentum Musyawarah Daerah (Musda) KAHMI Kukar ke depan, ia mengajak setiap alumni HMI untuk kembali memperkuat posisi KAHMI. Momen ini juga harus mengingatkan kembali alumni terhadap misi dan nilai identitasnya agar tak larut dalam kepentingan-kepentingan politis.
Kepentingan politik, kata Haidir, hanya sesaat. Setiap orang dibatasi periode dalam perjalanan kekuasaan politiknya. Pada waktu tertentu, posisinya akan lemah. Karena itu, ketika KAHMI bergantung terhadap personal tertentu, maka pada periode di mana posisi politik yang bersangkutan melemah, posisi KAHMI pun akan lemah.
“Kita berharap tidak seperti itu. KAHMI harus menjadi bagian independen dari sikap-sikap seperti itu. Kita berharap begitu,” harapnya.
Apabila KAHMI tidak bisa mempraktikkan independensi dalam bersikap, maka independensi HMI pun akan tergerus. Katanya, sikap dependen KAHMI akan cenderung menarik HMI sebagai bagian darinya.
Haidir menekankan, kepentingan utama KAHMI adalah menjadi umat yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’aalamin), mempunyai kemandirian berpikir dan bersikap, serta tidak terpengaruh kepentingan-kepentingan sesaat dan individual.
Terhadap pemerintahan daerah, kata dia, KAHMI bisa saja bekerja sama dalam menyukseskan sebagian programnya. Namun, KAHMI tak boleh mengikuti semua hal yang berkenaan dengan kebijakan dan langkah penguasa daerah.
“Kita harus menentukan sikap. Ketika ada kekeliruan dari pemerintah daerah, posisi KAHMI harus menjadi orang atau lembaga yang akan meluruskan setiap kekeliruan pemerintah daerah. Sampai di nasional pun begitu. Setiap daerah idealnya harusnya begitu,” sarannya.
Di Musda KAHMI Kukar, kata Haidir, peserta harus menganalisis posisinya dengan menggunakan metode analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Kemudian merumuskan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangannya di masa depan.
Ia berharap ke depan alumni HMI yang tergabung di KAHMI memiliki kemandirian berpikir, tidak terafiliasi dengan kepentingan-kepentingan politik, dan tidak terintimidasi oleh kepentingan ekonomi personal alumni.
“KAHMI harus tetap menjadi media silaturahmi. Tidak tertumpu pada kepentingan alumni tertentu kemudian mengabaikan alumni yang lain. Sedapat mungkin KAHMI itu menjadi payung seluruh anggota KAHMI. Payung di sini memberikan perhatian yang sama, perlindungan jika diperlukan, bahkan menjadi media koordinasi secara intelektual antara KAHMI dan HMI,” sarannya.
Relasi HMI-KAHMI
Ia menekankan, hubungan KAHMI dan HMI harus dibangun dalam batas-batas tertentu. Realitanya, KAHMI terlalu dominan terhadap HMI. Hal ini mengakibatkan anggota-anggota HMI kehilangan independensi etis dan organisatoris.
“Itu tidak boleh. KAHMI harus tetap menjadi senior yang memang berpikir obyektif. Kita harus memaklumi ketika ada sikap alamiah dan naluriah saat ada kekeliruan dalam gerakan HMI. Itu harus dimaklumi. Karena apa? Itu media mereka untuk belajar,” jelasnya.
“Tetapi hal-hal yang besar, maka kita akan menjadi mentor yang baik bagi HMI. Jangan sampai hal-hal kecil kita sudah intervensi terlalu jauh ke dalam sehingga HMI itu tidak punya identitas lagi di depan KAHMI,” sebutnya.
Saat aktif di HMI, setiap kader tak ingin diintervensi oleh alumninya yang tergabung di KAHMI. Mereka menginginkan kemandirian sehingga mempunyai kekuatan dalam bersikap. Dengan begitu, kader-kader HMI benar-benar belajar kemandirian. Bukan sebaliknya sebagai pengekor.
Bila alumninya mengintervensi HMI secara berlebihan, maka kader-kadernya akan terbentuk sebagai pengekor. Akibatnya, kader HMI akan menjadi pengekor, bukan sebagai pemimpin (leader).
“Padahal tujuan kita jelas. Bagaimana adik-adik HMI itu memang dengan gerakan organisasi kadernya, itu menjadi leader di masa depan,” tegasnya.
Peran KAHMI Kukar di Masyarakat
Terkait peran KAHMI di masyarakat Kukar, kata Haidir, setiap orang berbeda dalam menilainya. Namun, tak ada yang menilai perannya secara keorganisasian sangat fenomenal di masyarakat.
Secara personal, sebut dia, ada alumni HMI yang memiliki peran dominan di masyarakat. Dari mendamping masyarakat, menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan, dan memberikan dukungan kuat terhadap masyarakat.
“Tetapi itu secara personal. Kita tidak punya lembaga konsultasi hukum di KAHMI. Kita tidak punya lembaga konsultasi ekonomi. Kita tidak punya lembaga amil zakat. Itu kan menunjukkan posisi KAHMI ini dalam peran organisasinya belum maksimal di tengah masyarakat. Hanya personal-personalnya saja,” ujarnya.
“Apakah itu menjadi kelemahan bagi kita? Relatiflah persoalan itu. Karena peran personal itu penting juga gitu. KAHMI sendiri dalam upayanya sebagai pemersatu antar alumni itu ya tidak punya momentum yang baik untuk menciptakan peran-peran kelembagaan kepada masyarakat,” sebutnya.
Namun, lanjut dia, hal ini tidak berarti membuat KAHMI tak bisa menciptakan momentum untuk berbuat sesuatu yang lebih besar di masyarakat. Hanya saja, diperlukan kesungguhan dan itikad kuat untuk menciptakan momentum dalam berkhidmat kepada masyarakat.
Secara kelembagaan, sebut Haidir, peran-peran personal di organisasi akan lebih kuat jika dipersatukan dalam mendorong gerakan KAHMI. Bila ada hal-hal yang tak bisa diselesaikan secara personal, maka dibutuhkan dorongan secara kolektif dari lembaga KAHMI.
“Nah, kalau dia sendiri saja, siapa yang mau menjamin ketika ada kebuntuan? Tapi ketika ada lembaga KAHMI, diupayakan koneksi antara pengurus KAHMI ini menjadi solusi bagi berbagai persoalan yang mungkin muncul ketika personal-personal itu bergerak di masyarakat, kemudian menghadapi masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikannya sendiri,” pungkas Haidir. (ln)