Search
Search
Close this search box.

Kalimantan Barat, Provinsi Seribu Sungai di Tanah Borneo

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Kalimantan Barat (Kalbar) adalah sebuah provinsi di Indonesia, yang berada di Pulau Kalimantan, dengan ibu kota atau pusat pemerintahan berada di kota Pontianak. 

Luas wilayah Provinsi Kalbar adalah 147.307,00 km² (7,53% luas Indonesia). Kalbar merupakan provinsi terluas keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. 

Pada tahun 2020, penduduk Kalimantan Barat berjumlah 5.414.390 jiwa, dengan kepadatan 37 jiwa/km2.

Advertisements

Daerah Kalbar termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi “Seribu Sungai”. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang di antaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan.

Kalbar berbatasan darat dengan negara bagian Sarawak, Malaysia. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar merupakan perairan laut, akan tetapi provinsi ini memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni) yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

Sejarah Pembentukan

Bakulapura atau Tanjungpura merupakan taklukan Kerajaan Singhasari. Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato sampai Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah negara kerajaan induk: Borneo (Brunei), Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin (Bumi Kencana).

Tanjung Dato adalah perbatasan wilayah mandala Borneo (Brunei) dengan wilayah Mandala Sukadana (Tanjungpura), sedangkan Tanjung Sambar batas wilayah Mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah Mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).

Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana. 

Perbatasan di pedalaman, perhuluan daerah aliran sungai Pinoh (Lawai) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin).

Daerah-daerah di Kalbar yang terkenal pada zaman dahulu di antaranya Tanjungpura dan Batang Lawai. Loue (Lawai) oleh Tomé Pires digambarkan daerah yang banyak intan, jarak dari Tanjompure empat hari pelayaran. Tanjungpura maupun Lawai masing-masing dipimpin seorang Patee (Patih). Patih-patih ini tunduk kepada Patee Unus, penguasa Demak.

Kesultanan Demak juga telah berjasa membantu raja Banjar Pangeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir untuk memperebutkan hegemoni atas wilayah Kalimantan Selatan.

Menurut naskah Hikayat Banjar dan Kotawaringin, negeri Sambas, Sukadana dan negeri-negeri di Batang Lawai (nama kuno Sungai Kapuas) pernah menjadi taklukan Kerajaan Banjar atau pernah mengirim upeti sejak zaman Hindu. Kerajaan Banjar menamakan kerajaan-kerajaan di Kalbar ini dengan sebutan negeri-negeri di bawah angin. Kerajaan Banjar memiliki prajurit Dayak Biaju-Ot Danum dan Dayak Dusun-Maanyan-Lawangan yang sering memenggal kepala musuh-musuhnya (ngayau).

Pada masa pemerintahan Raja Maruhum Panambahan, seorang Adipati Sambas/Panembahan Ratu Sambas telah menghantarkan upeti berupa dua biji intan yang berukuran besar yang bernama Si Giwang dan Si Misim.

Pada tahun 1604, pertama kalinya Belanda berdagang dengan Sukadana. Tahun 1609, di Sambas pada saat itu ada ketakutan yang sangat besar akan serangan bermusuhan oleh Brunei, sehingga penguasa wilayah itu, Saboa Tangan Pangeran ay de Paty Sambas (Pangeran Adipati Sambas), membuat aliansi dengan VOC-Belanda pada 1 Oktober 1609, dengan harapan menentangnya, untuk memperkuat musuh-musuhnya.

Serangan itu tidak memiliki tempat. Walaupun, sultan Brunei telah turun ke laut dengan 150 perahu, tetapi badai telah memaksanya untuk mundur. Tahun 1672, Sultan Banjar mengesahkan Raja Sintang sebagai Sultan.

Sesuai perjanjian 20 Oktober 1756 VOC Belanda berjanji akan membantu Sultan Banjar Tamjidullah I untuk menaklukkan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri di antaranya Sanggau, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi), sedangkan daerah-daerah lainnya merupakan milik Kesultanan Banten, kecuali Sambas.

Menurut akta 26 Maret 1778, negeri Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) diserahkan kepada VOC Belanda oleh Sultan Banten. Inilah wilayah yang mula-mula menjadi milik VOC Belanda selain daerah protektorat Sambas.

Pada tahun itu pula Syarif Abdurrahman Alkadrie yang dahulu telah dilantik di Banjarmasin sebagai Pangeran yaitu Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam direstui oleh VOC Belanda sebagai Sultan Pontianak yang pertama dalam wilayah milik Belanda tersebut.

Pada tahun 1789 Sultan Pontianak dibantu Kongsi Lan Fang diperintahkan VOC Belanda untuk menduduki negeri Mempawah dan kemudian menaklukkan Sanggau.

Pada 4 Mei 1826, Sultan Adam dari Banjar menyerahkan Jelai, Sintang dan Lawai (Kabupaten Melawi) kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tahun 1846 daerah koloni Belanda di Pulau Kalimantan memperoleh pemerintahan khusus sebagai Dependensi Borneo.

Pantai barat Borneo terdiri atas asisten residen Sambas dan asisten residen Pontianak. Divisi Sambas meliputi daerah dari Tanjung Dato sampai muara Sungai Doeri. Sedangkan divisi Pontianak yang berada di bawah asisten residen Pontianak meliputi distrik Pontianak, Mempawah, Landak, Kubu, Simpang, Sukadana, Matan, Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi, Sepapoe, Belitang, Silat, Salimbau, Piassa, Jongkong, Boenoet, Malor, Taman, Ketan, dan Poenan.

Sebelumnya, menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849 No. 40, ada 14 daerah (Sambas, Mampawa, Pontianak, Koeboe, Simpang, Soekadana, Matan, Landak, Tajan, Meliou, Sangouw, Sekadouw, Blitang, Sintang) di wilayah ini termasuk dalam wester-afdeeling van Borneo berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, per 27 Agustus 1849, No. 8. Pada 1855, negeri Sambas dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda menjadi Karesidenan Sambas.

Menurut Hikayat Malaysia, Brunei, dan Singapura wilayah yang tidak bisa dikuasai dari kerajaan Hindu sampai kesultanan Islam di Kalbar adalah kebanyakan dari Kalbar seperti Negeri Sambas dan sekitarnya, dan menurut Negara Brunei Darussalam Hikayat Banjar adalah palsu dan bukan dibuat dari kesultanan Banjar sendiri, melainkan dari tangan-tangan yang ingin merusak nama Kalbar dan disebarluaskan ke seluruh Indonesia sampai saat ini, karena menurut penelitian para ahli psikolog di dunia Negeri Sambas tidak pernah kalah dan takluk dengan Negara mana pun.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal yang dimuat dalam STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibu kota wilayah administratif Gouvernement Borneo berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu di antaranya adalah Residentie Westerafdeeling Van Borneo dengan ibu kota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen.

Pada 1 Januari 1957, Kalbar resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Demografi Kalbar

Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia 2010, suku yang dominan di Kalbar dari 4.385.356 jiwa, yaitu suku Dayak yakni 2.194.009 jiwa (50,03%). Suku Dayak mayoritas di daerah pedalaman seperti Landak, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Sekadau dan Melawi. Selanjutnya ada suku Melayu sebanyak 814.550 jiwa (18,57%). Suku Melayu mayoritas di kawasan pesisir, seperti Sambas, Kayong Utara, Ketapang, Mempawah, dan Kota Pontianak.

Suku terbanyak ketiga di Kalbar yaitu suku Jawa sebanyak 9,74% yang memiliki basis pemukiman di daerah-daerah transmigrasi yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, terutama Kubu Raya dan Sintang yang sekitar 30% penduduknya merupakan warga transmigran asal Jawa.

Di urutan keempat yaitu etnis Tionghoa yakni 358.451 jiwa (8,17%) yang banyak terdapat di perkotaan seperti Singkawang dan Pontianak. Di Kota Singkawang, 37% penduduknya adalah keturunan Tionghoa dan 32% Melayu, sedangkan di Kota Pontianak 32% penduduknya suku Melayu dan 18% Tionghoa.

Budaya dasar Kalbar dibentuk atas tiga tungku utama, yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa. Kedatangan orang Tionghoa ke Kalbar diyakini terdapat tiga gelombang, yang terbesar saat penemuan emas di Monterado, Bengkayang. Saat itu, Sultan Sambas dan Mempawah mendatangkan orang Tionghoa untuk menjadi tenaga penambang di sana.

Walau demikian saat ini terdapat banyak suku bangsa dari seluruh Indonesia yang mendiami Kalbar, dan populasi suku Jawa sudah melebihi keturunan Tionghoa disebabkan banyaknya migrasi dari Pulau Jawa, baik melalui transmigrasi maupun masuknya tenaga kerja dari berbagai sektor.

Berikutnya di urutan kelima yaitu etnis Madura (6,27%) yang memiliki basis pemukiman di Mempawah dan Kubu Raya. Berbeda dengan suku Jawa, kedatangan suku Madura ke Kalbar karena migrasi swakarsa atau dengan biaya sendiri.

Di urutan keenam yaitu Bugis (3,13%) yang juga banyak terdapat di Mempawah. Setiap tahun di Mempawah diadakan upacara tradisi Robo’-Robo’ untuk memperingati kedatangan Opu Daeng Manambon dari Kesultanan Luwu ke Kerajaan Mempawah.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum dipakai oleh masyarakat di Kalbar. Selain itu, bahasa penghubung, yaitu Bahasa Melayu menurut wilayah penyebarannya. Demikian juga terdapat beragam jenis Bahasa Dayak.

Menurut penelitian Institut Dayakologi, terdapat 188 dialek yang dituturkan oleh suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka. Dialek yang dimaksudkan terhadap bahasa suku Dayak ini adalah begitu banyaknya kemiripannya dengan bahasa Melayu, hanya kebanyakan berbeda di ujung kata seperti makan (Melayu), makatn (Kanayatn), makai (Iban), dan makot (Melahui).

Khusus untuk rumpun Uud Danum, bahasanya boleh dikatakan berdiri sendiri dan bukan merupakan dialek dari kelompok Dayak lainnya. Dialeknya justru ada pada beberapa sub suku Dayak Uut Danum sendiri. Seperti pada bahasa sub suku Dohoi misalnya, untuk mengatakan makan saja terdiri dari minimal 16 kosakata, mulai dari yang paling halus sampai ke yang paling kasar. Misalnya saja ngolasut (sedang halus), kuman (umum), dekak (untuk yang lebih tua atau dihormati), ngonahuk (kasar), monirak (paling kasar) dan macuh (untuk arwah orang mati).

Peta bahasa Kemendikbud menyebutkan ada 9 bahasa di Kalbar, di antaranya Bakatik, Bukat, Galik, Kayaan, Melayu, Punan, Ribun, Taman dan Uud Danum.

Bahasa Bakatik dituturkan oleh masyarakat terutama di wilayah Kabupaten Bengkayang, tersebar di wilayah Kecamatan Ledo, Sanggau Ledo, Teriak, dan Bengkayang. Sementara itu, selain di Kabupaten Bengkayang, bahasa Bakatik juga dituturkan di Kota Pontianak, Kabupaten Sambas, Kabupaten Landak, dan Kabupaten Kubu Raya di sekitar Kecamatan Sungai Ambawang serta di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang.

Bahasa Bakatik terbagi atas 4 dialek. Pertama, dialek Moro Betung dengan daerah sebarannya di Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak. Kedua, dialek Ambawang Satu di Kabupaten Kubu Raya. Ketiga, Sahan di Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang. Keempat, dialek Rodaya daerah sebarannya di Kecamatan Ledo dan Desa Bani Amas di Kabupaten Bengkayang.

Bahasa Bukat dituturkan oleh masyarakat yang mendiami wilayah di sekitar hulu Sungai Kapuas, terutama di wilayah Kecamatan Putussibau, Kecamatan Putussibau Utara dan Desa Tanjung Jati, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu.

Bahasa Bukat termasuk kelompok minoritas di Kalbar dan dapat dikatakan bahwa bahasa Bukat merupakan sebuah bahasa tersendiri di Kalbar.

Bahasa Galik (Golik) dituturkan oleh masyarakat di Kampung Mandong, Kampung Tayan Hulu dan Kampung Engkahan, Kecamatan Sekayam; di Kampung Kasro Mego, Kecamatan Beduwai; dan Kampung Tanap, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalbar.

Bahasa Galik (Golik) terdiri atas empat dialek. Pertama, dialek Mandong yang dituturkan di Kampung Mandong, Penutur menamakan bahasanya dengan bahasa Dayak Peruan. Kedua, dialek Engkahan yang dituturkan di daerah Kecamatan Sekayam, penuturnya menamakan bahasa Dayak Karamai.

Ketiga, dialek Kasro Mego yang dituturkan di Desa Kasro Mego di Kecamatan Beduai, penuturnya menamakan bahasa Galik. Keempat, dialek Tanap yang dituturkan di Desa Tanap, penuturnya menamakan bahasa Tanap.

Sementara Bahasa Kayaan dituturkan di wilayah Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, di wilayah hulu Sungai Kapuas. Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, isolek Kayaan merupakan sebuah bahasa tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di Kalbar.

Sedangkan Bahasa Melayu merupakan bahasa yang terbanyak penuturnya di Kalbar. Ada sebagian masyarakat di Kalbar yang menyebutnya bahasa Melayik. Penutur bahasa Melayu ini tersebar di seluruh wilayah kabupaten dan kota serta di kampung-kampung pedalaman di Kalbar.

Kemudian Bahasa Punan antara lain dituturkan oleh masyarakat di Desa Tanjunglokang, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu.

Lalu, Bahasa Ribun (Rihun) dituturkan oleh masyarakat di Desa Tanggung dan Desa Semirau, Kecamatan Jangkang;  di Desa Gunam, Kecamatan Parindu; di Desa Empodis dan Desa Upe, Kecamatan Bonti; dan di Desa Semongan, Kecamatan Noyan. Daerah-daerah tersebut berada di Kabupaten Sanggau.

Bahasa Taman dituturkan oleh masyarakat di wilayah hulu Sungai Kapuas, antara lain di Engko’ Tambe, Kecamatan Putussibau Selatan; di Desa Pulau Manak, Kecamatan Embaloh Hulu; di Mensiau, Kecamatan Batang Lupar; di Nanga Tuwuk, Sungai Tempurau, Kecamatan Putussibau, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalbar.

Wilayah tutur bahasa Taman dikelilingi oleh wilayah tutur bahasa Melayu. Bahasa Taman tersebar di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, yaitu di wilayah Kecamatan Putussibau, Mandai, dan Batang Lupar.

Bahasa Taman mempunyai tiga dialek. Pertama, dialek Taman Kapuas, yang memiliki daerah sebaran di Ingko’ Tambe, Kecamatan Putussibau. Kedua, dialek Taman Embaloh, yang memiliki daerah sebaran di Pulau Manak, Kecamatan Embaloh Hulu dan Mensiau di Kecamatan Batang Lupar. Ketiga, dialek Kalis, yang memiliki daerah sebaran di Nanga Tuwuk, Sungai Tempurau, Kecamatan Putussibau.

Bahasa Uud Danum (Ot Danum) dituturkan oleh masyarakat di Desa Nanga Keremoi, Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang, di daerah hulu Sungai Melawi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Kalbar tahun 2021, mayoritas masyarakat Kalbar menganut agama Islam yakni 60,07%. Wilayah-wilayah mayoritas muslim di Kalbar yaitu daerah pesisir yang mayoritas didiami Suku Melayu seperti Kabupaten Sambas, Mempawah, Ketapang, Kayong Utara, Kubu Raya, Kapuas Hulu dan Kota Pontianak.

Di Kabupaten Melawi dan Kota Singkawang sekitar 49% penduduknya beragama Islam. Agama Islam juga dianut Suku Jawa, Madura dan Bugis di Kalbar.

Di daerah pedalaman yang didiami suku Dayak mayoritas penduduknya beragama Kristen (Katolik/Protestan) seperti di Kabupaten Bengkayang, Landak, Sanggau, Sintang dan Sekadau.

Orang Tionghoa di Kalbar kebanyakan menganut agama Buddha dan Kristen (Katolik/Protestan). Di wilayah yang banyak terdapat etnis Tionghoa seperti kota Singkawang dan kota Pontianak, juga terdapat penganut Budha dalam jumlah cukup besar.

Sumber Perekonomian

Kalbar memiliki potensi pertanian, perkebunan dan perikanan yang cukup melimpah. Hasil pertanian Kalbar di antaranya adalah padi, jagung, kedelai, dan lain-lain. Sedangkan hasil perkebunan di antaranya adalah karet, kelapa sawit, kelapa, lidah buaya, dan lain-lain.

Kebun kelapa sawit sampai Oktober 2012 sudah mencapai 1.060.000 ha. Kebun-kebun tersebut sebagian besar dibangun pada kawasan budi daya (APL). Ada juga yang dibangun pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) setelah melalui proses pelepasan kawasan dari Kementerian Kehutanan.

Kebun-kebun sawit menguntungkan pengusaha dan penguasa. Sedangkan para petani kerap menderita. Pendapatan petani sawit binaan PTPN XIII hanya 6,6 ons beras per hari/orang. Sedangkan pengelolaan kebun dengan pola kemitraan hanya memberi 3,3 ons beras per hari/orang. Kondisi ini lebih buruk dari tanaman paksa (kultuurstelsel) zaman Hindia Belanda.

Begitu juga dengan perikanan yang berada di wilayah Kalbar. Di mana untuk wilayah barat berbatasan dengan Laut Natuna, Selat Karimata dan Semenanjung Malaysia dan wilayah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sehingga masyarakat pesisir penghasilan utamanya adalah hasil laut. (Sumber: Wikipedia)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA