Oleh: Arif Rahmansyah*
DEWASA ini kita diperhadapkan dengan realitas sosial di mana kebenaran cenderung diyakini atas dasar kesepakatan banyak orang. Tindakan-tindakan hanya akan dirasa benar bila dilakukan oleh kebanyakan orang. Inilah tantangan para intelektual kita. Mereka bertugas untuk meluruskan cara berpikir tersebut.
Paul Natrop, seorang pendidik dan filsuf berkebangsaan Jerman, mengungkapkan, segala kebenaran maunya diketahui, dinyatakan, dan dibenarkan. Namun, kebenaran tidak memerlukan hal itu karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku.
Sederhananya, ungkapan ini mengisyaratkan bahwa suatu kebenaran akan benar dengan sendirinya tanpa pengakuan, apalagi melalui kesepakatan banyak orang.
Kita mungkin pernah mendengar adagium dalam dunia politik seperti ini, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely“. Ungkapan ini adalah dalil yang menjadi dasar argumentasi untuk menginterupsi segala kemapanan dan kekuasaan di tingkat apa pun.
Adalah Anwar Ibrahim dalam Renaisans Asia, berangkat dari satu tesisnya, mengatakan, masyarakat madani merupakan implementasi nilai-nilai demokrasi untuk membangun martabat manusia. Maka perwujudan masyarakat madani tidak terlepas dari pembebasan dari kemiskinan, ketercerabutan, kebutahurufan, dan kejahilan.
Singkatnya, masyarakat berperadaban maju, masyarakat yang cerdas, terbuka, dan liberal ini erat kaitannya dengan reformasi di sektor pendidikan yang berbudaya yakni ber-madaniyah, yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat (civil society) yang adil dan egaliter.
Renaisans di Eropa dan revolusi di Prancis adalah revolusi akal sesunggunya, karena para pemikir, para filsuf pada waktu itu, berlomba-lomba meninggalkan dogma-dogma yang tidak ilmiah. Karenanya, ada semacam desakralisasi terhadap segala entitas.
Berangkat dari hal demikian, penulis ingin memadukan dua pandangan, yakni konsep kepatuhan ala Erich Fromm dan conscientizacao dalam teori pendidikan Paulo Freire, untuk melihat model-model tingkah laku masyarakat kita.
Erich Fromm atau yang akrab dipanggil Fromm, dilahirkan di Jerman, tepatnya di daerah Frankfurt. Ia dikenal sebagai bapak psikoanalisis sosial. Selain itu, dia juga dikenal sebagai tokoh dari Mazhab Frankfurt, sebuah mazhab yang memprakarsai lahirnya teori kritis.
Dalam bukunya yang berjudul Perihal Ketidakpatuhan, ia memulai percakapan, “Why freedom means saying ‘no’ to power?” Atau dalam terjemahannya, “Mengapa kebebasan cenderung berkata tidak kepada kekuasaan?”
Apakah buruk bila kita membangkang? Haruskah kita patuh? Kepatuhan seperti apa yang harus dimiliki manusia? Kepada siapa kita harus patuh?
Alih-alih di masa pandemi pemerintah kita sedang gencarnya untuk menyosialisasikan kepada masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan dengan memanfaatkan semua aparaturnya.
Kita yang merasa aman karena hidup dalam masyarakat yang patuh dan taat terhadap anjuran pemerintah itulah yang disebut Fromm sebagai kepatuhan heteronom atau yang disebut juga sebagai kesetiaan fanatik karena hanya mengikuti anjuran penguasa. Dalam fenomena inilah kita seakan kehilangan keberanian dalam menyuarakan sesuatu yang berbeda.
Namun, berbeda dengan kepatuhan otonom yang menurut Fromm adalah upaya manusia keluar dari segala kekangan kekuasaan karena manusia memiliki akal, nalar berpikir serta keyakinan atas suatu hal yang otentik yakni suara yang ada dalam diri. Singkatnya, kepatuhan otonom adalah ketika kita menolak menyerahkan diri kepada kekuasaan. Karena hanya dengan kepatuhan otonom inilah peradaban manusia dapat berlangsung dan menciptakan kehidupan yang humanis dan membebaskan. Fromm mengungkapkan, “Tidak ada potensi manusia menyatakan negativitasnya jika tidak ada kebebasan sebagai prasyaratnya”.
Mengapa kekuatan pikirian juga cenderung membangkang terhadap segala macam otoritas yang mengekang? Selain dari kisah iblis yang membangkang terhadap Tuhan pasca diciptakannya Adam, juga dalam mitologi Yunani yakni terdapat kisah tentang pembangkangan yang dilakukan oleh Promotheus kepada Dewa Zeus. Promotheus adalah sosok yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, yang berhasil mencuri api Dewa Zeus untuk dibawa turun ke umat manusia sehingga dengannya wawasan manusia terbuka. Pikirannya tercerahkan. Karena itu, mereka bisa menentukan nasibnya sendiri.
Apakah dengan berpikir lalu membangkang lantas membuat kita betul-betul bebas? Paulo Freire adalah tokoh pendidikan kaliber internasional yang lahir di Recife tahun 1921, sebuah kota kumuh di dekat pelabuhan timur laut Brazil. Seorang tokoh akademisi yang filsafat pendidikannya dikenal luas dengan “pendidikan kaum tertindas”.
Baginya, konsep ini bukanlah sekadar teori, tapi lebih daripada jawaban jitu dalam rangka menangani masalah-masalah sosial. Bagi dia, penindasan adalah tidak manusiawi. Apa pun alasannya.
Conscientizacao yang merupakan inti dari pendidikannya bertujuan untuk pembebasan dan pemanusiaan. Oleh karena itu, terjemahan filosofis atas situasi sosial harus dibawa ke dalam dunia pendidikannya yang berkesadaran.
Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kesadaran: magis, naif, dan kritis. Kesadaran magis (magical consciousness) adalah kesadaran masyarakat kita yang tidak bisa mengaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin hari ini yang tidak mampu melihat kesusahan mereka sebagai akibat dengan sistem maupun kebijakan pemerintah yang menjadi sebab. Karena kesadaran ini hanya mampu melihat faktor di luar manusia itu sendiri, entah itu faktor natural maupun supranatural.
Kedua, kesadaran naif (naival consciousness). Kesadaran ini melihat aspek manusia sebagai akar penyebab masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Ketiga, kesadaran kritis (critical consciousness). Yakni kesadaran yang paling penting dalam teori pendidikannya karena kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Kita berupaya memistifikasi kesadaran hanya sebatas pada kesadaran magis, yakni kesadaran mistikal dengan cara pandang fatalistik, karena ketidakmampuan kita melihat ada hubungan antara unsur dan struktur.
Mampukah dengan kekuatan pikiran yang kritis dan tajam menganggap bahwa fenomena-fenomena sosial ini bukan hal yang deterministik tapi sesuatu yang didesain sedemikian rupa? Lalu, mampukah dengan ketidakpatuhan kita bisa mengubah tatanan sosial? Bukankah orang-orang yang dianggap tidak patuh justru dicap buruk oleh sebagian masyarakat lain yang masih pada zona nyaman?
Kekeliruan pengetahuan kita perihal ketidakpatuhan karena pikiran kita diberangus oleh dominasi kekuasaan yang cenderung menghukum mereka yang tidak patuh, sehingga dengan itu sebagian masyarakat kita menganggap buruk sikap pembangkangan itu, padahal hanya dengan membangkang kita mampu mengubah tatanan sosial yang terlanjur dihegemoni dan didominasi oleh orang-orang yang mapan dan korup. (*Jurnalis Beritaalternatif.com)