BERITAALTERNATIF.COM – Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) memiliki tantangan untuk mewujudkan prinsip-prinsip toleransi terhadap keberagaman bangsa Indonesia.
Profesor ekologi politik yang juga Pimpinan Kolektif KAHMI Sulawesi Selatan Periode 2012-2016, Imam Mujahidin Fahmid mengatakan, KAHMI sepatutnya menjadi contoh dalam menghargai komunitas, ras, suku, dan agama di negeri ini.
“Karena sekecil apa pun komunitas itu, harus memiliki kedudukan yang sama pada bangsa ini. Kita tidak bisa melihat perbedaan itu sebagai alat untuk mendominasi sesuatu,” ujarnya kepada beritaalternatif.com pada Jumat (4/11/2022).
Kata dia, KAHMI mesti berada di tengah-tengah di antara kelompok mayoritas dan minoritas. Spirit kebangsaan tersebut sepatutnya diarahkan oleh KAHMI sebagai lokomotif membangun toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
KAHMI, sambung dia, perlu menjaga harmoni antara minoritas-mayoritas, barat-timur, Islam-non Islam, serta migran Arab dan China.
“Itu semua harus menjadi diskursus. Diskursusnya harus dibangun, dan poin pentingnya yang kita cari bukan pada perbedaan. Jadi, kita punya penglihatan untuk melihat banyak perbedaan, tetapi kita pasti punya satu alasan untuk bisa bersama, dan itu yang kita pegang baik-baik,” tegasnya.
Imam mengatakan, satu persamaan bisa menyatukan semua pihak di Indonesia di tengah begitu banyak perbedaan kelompok, suku, ras, dan agama.
“Silakan saja berbeda, tetapi KAHMI bisa mengikat perbedaan itu menjadi satu kekuatan yang besar. Itulah fungsi jalan tengah yang saya maksud,” terangnya.
Sikap ini, sambung dia, merupakan wujud kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Setiap alumni HMI dapat memerankan hal itu dengan nilai-nilai keislaman yang membentuk spirit kebangsaan.
Imam menegaskan bahwa KAHMI bukanlah lembaga kebangsaan yang secara formal berada di pemerintahan, sehingga kekuatannya berada pada wacana dan diskursus.
Usaha membangun wacana dan diskursus, kata Doktor Ekologi Manusia dari Institut Pertanian Bogor ini, dapat dibangun melalui silaturahmi.
Lewat diskursus tersebut, ide-ide dapat digali dari ragam alumni HMI yang tergabung di KAHMI. “Dari situ kita bangun patron. Patron yang kita sebut sebagai baju kebangsaan,” ucapnya.
Baju kebangsaan tersebut, sambung dia, bisa berwarna-warni. Spirit ini dapat dibangun dengan indah oleh KAHMI. Pasalnya, KAHMI memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.
“Kekuatan intelektual dan kecendekiawanan menjadi modal penting untuk mewacanakan perbedaan bangsa ini,” katanya.
Master of Trade and Development, Newcastle University, Newcastle, Australia ini mengatakan bahwa keberpihakan politik bisa tetap terpelihara dengan baik di KAHMI.
Namun, alumni HMI harus membangun kekuatan ekonomi dan pemahaman yang baik, sehingga tercipta baju kebangsaan yang dibangun dengan pilar keislaman berupa silaturahmi.
“Kalau disederhanakan, kita menjadi pemersatu dengan cara menjahit perbedaan-perbedaan yang ada,” ucapnya.
Keberhasilan Akbar Tanjung, lanjut dia, karena berhasil menghargai perbedaan-perbedaan dalam bingkai kebangsaan Indonesia.
Akbar Tanjung dinilainya sebagai “tukang jahit” yang berhasil menyatukan tenun kebangsaan. “Meskipun warna dominannya hijau hitam. Subyektivitasnya pasti ada. Tapi enggak ada masalah, karena hijau juga ada di PPP, PKB, dan di mana-mana,” sebutnya.
“Dia masuk ke kuning. Padahal dia hijau hitam. Padahal kalau mengikuti lintasan pengaderannya, dia harusnya masuknya di PPP. Tapi, dia justru memilih nasionalisme. Nasionalisme itu menjembatani antara keislaman dan kebangsaan,” pungkasnya. (um)