Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Ada semacam gejala kegenitan di balik pandangan sebagian akademisi dan sarjana Muslim yang mengaku modernis, pluralis dan progresif tentang Islam, terutama saat menggambarkan posisi Islam dalam konteks modern.
Karena mengagungkan peradaban Barat modern sejak Renaisans dan terlanjur memandang klaim kebenaran sebagai negatif meski didasarkan pada argumen logis, berusaha melonggarkan pandangan hingga seolah tak ada yang pasti dan aksiomatik dalam pemahaman keagamaan seraya menganggap semuanya sebagai interpretasi relatif alias tidak mengikat demi menghindari kesan ortodoksi atau kejumudan.
Mereka biasanya rajin mendasarkan pandangan dan perspektifnya tentang Islam dan umat Islam pada pernyataan dan pendapat para pemikir dan akademisi Barat yang memposisikan Islam bahkan agama sebagai produk pikiran manusia semata.
Meski umumnya gagal menghadirkan sebuah teori yang mengafirmasi ketegasan epistemologis tentang agama, mereka sukses membangun narasi ketaktegasan ini dengan mencomot sebuah penafsiran yang sangat jauh, riwayat teks tak populer bahkan data sejarah yang tak terkonfirmasi kesanterannya sebagai improvisasi berani yang kerap dikemas dengan frasa elaborasi dan kontekstualisasi.
Boleh jadi modus menepis semua pandangan yang berujung ketegasan dan pemihakan epistemologis ini adalah efek niscaya dari pemujaan terhadap sains yang berbasis falsifikasi sebagai standar evaluasi teori dan hipotesis ilmiah sebagaimana dikemukakan Karl Popper dalam The Logic of Scientific Discovery. Dengan kata lain, beranggapan bahwa sains adalah satu-satunya elemen peradaban yang boleh melahirkan sikap tegas dan Truth Claim.
Begitu banyak kutipan pernyataan orang-orang yang sebagian namanya sulit diucap hingga konten pandangan pribadinya sebagai pemikir beragama Islam tentang Islam nyaris tak terkemukakan. Bagi orang-orang yang sudah menganggap pandangan para pemikir Barat sebagai referensi paling kredibel, itu adalah jaminan validitas dan kredibilitas. Tanpa itu, selogis apa pun sebuah diskursus selagi objeknya adalah agama tak dinilai kredibel dan ilmiah. Nampaknya vonis itu juga ditimpakan atas metafiska (filsafat prima) dan mungkin juga humaniora.
Tujuan akhir dari kegamangan yang kadang disadari malah dipilih ini adalah membiarkan Islam sebagai teka-teki abadi atau sketsa samar yang selalu menjadi objek dialektika dan tak beranjak ke implementasi dengan komitmen dan keterikatan dalam kemasan inklusivitas. (*Cendekiawan Muslim)