Kukar, beritaalternatif.com – Beberapa hari lalu Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutai Kartanegara (Kukar) memusnahkan sekitar 300 ton barang bukti berupa batu bara yang disita dari penambang ilegal di Desa Kedang Ipil, Kecamatan Kota Bangun.
Hal itu menimbulkan reaksi dari sebagian masyarakat Kukar. Pasalnya, di media sosial misalnya, warganet turut mempertanyakan pemusnahan barang bukti yang mereka anggap mubazir itu. Tak sedikit di antara mereka menyarankan agar batu bara tersebut dijual untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kukar.
Praktisi hukum Kukar, La Ode Ali Imran, turut merespons anggapan-anggapan masyarakat tersebut. Reaksi warganet dinilainya wajar di negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Sebab, bisa jadi hal itu karena mereka lebih mendahulukan nilai manfaat batu bara tersebut.
La Ode menuturkan, berpendapat adalah bagian dari hak asasi manusia. Namun, ia menyarankan agar penyampaian pendapat didasarkan hukum sehingga tidak timbul kesalahan dalam berpendapat.
Kata dia, langkah Kejaksaan tersebut diambil berdasarkan putusan hakim. “Dan putusan itu bersifat hukum. Maka wajib dijalankan atau dieksekusi oleh Kejaksaan,” ucapnya, Rabu (2/2/2022) pagi.
Magister Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda itu membantah pandangan sebagian masyarakat yang menganggap langkah Kejari Kukar tersebut sebagai tindakan yang keliru. Sebab, Jaksa Penuntut Umum bukanlah pengambil kebijakan, melainkan berfungsi dan bertindak sebagai eksekutor.
“Di sini orang tidak mengerti sehingga kemudian jatuhlah justifikasi kepada Kejaksaan,” tegasnya.
Dia menerangkan, putusan Pengadilan Negeri merupakan putusan hukum yang wajib dilaksanakan laksana undang-undang.
“Justru kalau tidak dijalankan, itu pelanggaran. Sekelas Kejari kalau mau memainkan itu bisa saja, tapi kan enggak berani juga. Karena itu melawan perintah hukum,” jelasnya.
Menanggapi pendapat warganet yang menyebut barang bukti berupa batu bara ini harus dijual untuk menambah PAD, La Ode menegaskan, secara hukum penguasaannya harus diambil alih oleh negara.
Hal ini merujuk tafsir Pasal 33 UUD 1945, yang memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Pasal 33 ayat 3 itu sudah terang menyebut dikuasai oleh negara serta dipertegas lagi oleh Putusan MK 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar,” tutup La Ode. (*)
Penulis: Arif Rahmansyah