Search
Search
Close this search box.

Kejujuran dan Kehinaan Kebohongan

Ilustrasi. (Klik Dokter)
Listen to this article

Oleh: Ibrahim Amini*

Berkata bohong adalah kebiasaan yang sangat dibenci dan merupakan salah satu dosa besar. Umat manusia di seluruh dunia membenci kebohongan. Orang-orang yang suka berbohong akan dihinakan. Seseorang yang dikenal sebagai pembohong umumnya tidak memiliki rasa percaya diri atau tidak menghargai teman-temannya. Orang yang baik dan mulia tak pernah berkata bohong. Islam secara tegas mengutuk perilaku buruk ini.

Imam Muhammad Baqir mengatakan, “Kebohongan menyebabkan hilangnya keimanan.”

Advertisements

Imam Ja’far Shadiq mengatakan, “Nabi Isa mengatakan bahwa barang siapa yang terus-menerus berkata bohong tidak akan dihargai.”

Imam Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Tak ada perbuatan yang lebih hina dari berbohong.”

Seluruh nabi Allah dan setiap pembaharu menyeru manusia untuk mengatakan kebenaran. Dalam hal ini, kebenaran bersifat fitriah. Setiap orang cenderung pada kebenaran. Bahkan, seseorang yang suka berbohong sekalipun, senantiasa senang mendengar kebenaran.

Disebabkan rasa malunya, seorang anak secara fitriah cenderung berkata jujur. Pengaruh faktor-faktor luarlah yang membuatnya mengadopsi kebiasaan berbohong. Seorang anak sesungguhnya tak mampu berbohong. Namun, ketika dihadapkan dengan lingkungan yang memaksanya untuk berbohong, ia berangsur-angsur terbiasa dengan kebiasaan buruk tersebut. Bila keadaannya sudah sedemikian rupa, pelbagai nasihat yang bersumber dari Alquran serta riwayat Nabi saw dan para imam maksum niscaya tak akan berpengaruh baginya.

Ciptakan Suasana Kejujuran dalam Rumah

Karenanya, sudah menjadi kewajiban para orang tua untuk memastikan anak-anak mereka bersikap jujur sejak masa kanak-kanak. Namun, seyogianya mereka berhati-hati dalam mengenyahkan sebab-sebab perbuatan bohong seraya menanamkan kejujuran pada kepribadian si anak. Mereka semestinya tidak melalaikan kewajibannya untuk meningkatkan kejujuran sang anak. Orang tua yang bertanggung jawab dan memiliki perhatian terhadap bagaimana mengasuh anak dengan baik, harus mempertimbangkan fakta-fakta berikut:

Pertama, satu hal yang akan membuahkan pengaruh bermanfaat bagi pengasuhan anak adalah suasana dalam keluarga. Anak tumbuh dalam lingkungan tersebut. Ia mempelajari kebiasaan baik dari kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya. Bila suasana rumah dipenuhi kejujuran dan kebenaran, di mana orang tua dan anggota keluarga lainnya memperlakukan satu sama lain dengan adil dan jujur, niscaya anak akan menirunya.

Sebaliknya, bila suasana rumah dipenuhi kebohongan, di mana kedua orang tua saling berbohong satu sama lain, niscaya anak yang jiwanya masih polos akan mengambil kebiasaan yang sama. Anak-anak yang telinganya sudah terbiasa mendengar ungkapan-ungkapan bohong di sekelilingnya, tak pernah dapat diharapkan untuk berpikir dalam cara lain.

Beberapa orang tua yang bodoh tak hanya berkata bohong tapi juga mendorong anak-anaknya berbohong demi meraih sejumlah keuntungan sesaat. Misal, seorang ayah yang ada di rumah menyuruh anaknya untuk mengatakan pada tamu yang datang bahwa dirinya sedang pergi. Atau, orang tua menyuruh anaknya yang tidak masuk sekolah untuk mengatakan kepada gurunya bahwa dirinya (anak) sedang sakit. Dengan begitu, orang tua sedang menanamkan kebiasaan pura-pura sakit dalam diri si anak.

Alhasil, terdapat ratusan kebohongan yang berseliweran dalam rumah setiap hari. Orang tua semacam itu sedang menanamkan ketidakadilan dalam jiwa anak-anak yang masih polos dan mudah dipengaruhi. Berbohong merupakan sebuah dosa, dan mengajarkan anak berbohong adalah dosa yang paling besar.

Karena itu, orang tua yang menginginkan anak-anaknya jujur tak punya cara lain kecuali lebih dulu menjadikan dirinya jujur. Inilah pengajaran lewat keteladanan.

Bertrand Russel menulis, “Bila Anda menginginkan anak-anak Anda tidak menyandang kebiasaan berbohong, maka satu-satunya metode untuk itu adalah dengan selalu bersikap jujur di hadapan mereka.”

Saya berharap Russel mengatakan, “Bersikaplah jujur di hadapan anak-anak sebagaimana juga di hadapan orang lain!” Ini mengingat kebohongan atau ketidakjujuran akan mempengaruhi watak anak sekalipun dilakukan secara diam-diam (tidak di hadapan anak).

Imam Ja`far Shadiq mengatakan, “Serulah orang-orang pada kebaikan tanpa menggunakan kata-katamu. Orang-orang seyogianya melihat kesalehan, ketekunan, ibadah, dan perbuatan baikmu yang menjadi teladan bagi mereka.”

Kedua, pada dasarnya, seorang anak tidak suka berbohong. Naluri fitrahnya mendorongnya untuk menjunjung kebenaran. Ia butuh alasan yang sangat kuat untuk berbohong. Bila orang tua mampu melacak alasan paling mendasar bagi dilakukannya kebohongan, lalu berupaya mengenyahkannya dengan cara bijak, niscaya si anak akan menjadi sosok yang jujur.

Salah satu alasan yang mendorong anak berbohong adalah rasa takut terhadap teguran orang tuanya. Ketika Anda menanyakan padanya tentang apakah ia telah memecahkan kaca jendela, ia akan menjawab, “Bukan!” Camkan bahwa alasan si anak berbohong adalah ketakutannya pada orang tuanya. Lalu, ia akan melemparkan tanggung jawab memecahkan kaca jendela kepada orang lain.

Bila orang tua tergolong cerdik dan bijaksana, alasan si anak untuk berbohong tak akan pernah muncul. Mungkin saja kaca jendela itu pecah secara tidak disengaja. Karenanya, tak ada alasan untuk memarahi si anak. Dalam hal ini, kedua orang tua harus mengatakan pada si anak dengan lembut agar lebih berhati-hati lagi pada masa mendatang.

Kekerasan Hukuman bukan Jalan Keluar

Dalam situasi seperti itu, si anak tak layak dimarahi atau dipukul (yang justru akan mendorongnya berlindung di balik kebohongan). Bahkan sekalipun ia memang memecahkan kaca jendela dan secara terang-terangan mengingkari perbuatannya itu, hukuman keras bukanlah jalan keluar bagi masalah tersebut. Anak tak dapat dibenahi hanya dengan pukulan atau hukuman.

Juga tak ada jaminan bahwa si anak tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama. Dalam situasi semacam ini, orang tua seyogianya mencamkan bahwa pada dasarnya si anak tidaklah agresif. Dengan kata lain, selalu terdapat alasan-alasan eksternal bagi perilaku semacam itu.

Karenanya, orang tua harus melakukan penyelidikan dengan cermat demi menemukan alasan dan penyebab yang sebenarnya bagi tindakan pengrusakan tersebut. Tatkala penyebab pecahnya kaca jendela ditemukan, maka tak akan ada lagi alasan bagi anak untuk mengulangi kembali perbuatannya itu.

Barangkali, tindakan merusak (vandalisme) merupakan akibat langsung dari berbagai cercaan yang ditimpakan pada si anak oleh orang lain. Atau, si anak tidak mendapat perhatian yang layak, lalu melampiaskan kemarahannya dengan cara merusak kaca jendela.

Boleh jadi pula itu merupakan reaksi terhadap hukuman orang tua yang tidak semestinya diterima si anak. Bila orang tua berupaya mengenyahkan kebencian psikologis dari benak si anak, niscaya akan terbuka kemungkinan untuk membenahinya. Bila pemecahan semacam itu terwujud, maka tak lagi dibutuhkan tindakan penghukuman. Si anak lantas akan menahan diri dari tindakan-tindakan destruktif sehingga tak lagi diperlukan teriakan atau pukulan baginya.

Pertama, bila Anda mengetahui bahwa anak Anda telah melakukan sesuatu yang keliru, dan Anda bermaksud membimbing dan membenahinya, maka janganlah menanyainya seperti seorang polisi. Sebab, mungkin saja demi melindungi dirinya, si anak kemudian berbohong.

Dalam keadaan semacam itu, lebih baik Anda tidak menanyainya. Katakan saja padanya, umpama, bahwa ia harus mengembalikan buku yang dipinjam dari temannya itu. Katakan pula padanya bahwa tidaklah dibenarkan menahan barang-barang milik orang lain untuk waktu lama. Lalu, suruhlah ia segera mengembalikan buku temannya itu seraya meminta maaf.

Kedua, janganlah mengancam si anak dengan hukuman yang sebenarnya Anda sendiri tidak bersungguh-sungguh untuk menjatuhkannya. Sebagai contoh, jangan katakan padanya bahwa bila ia melakukan ini dan itu, Anda akan memukulnya, menyerahkannya kepada polisi, atau mengusirnya dari rumah. Juga, dalam keadaan marah, jangan katakan padanya bahwa Anda tak akan mengajaknya ke jamuan makan malam esok hari yang justru amat dinanti-nantikannya itu.

Dengan perlakuan keliru semacam itu, Anda sedang mengajarkan anak berbohong. Karena itu, Anda harus menyampaikan pada si anak hal-hal yang benar-benar akan Anda lakukan, yang tentunya memang layak baginya.

Ketiga, orang tua yang suka bersikap keras terhadap anak-anaknya dan mengharapkan dari mereka lebih dari kemampuan mereka, kemungkinan besar akan lebih mendorong mereka berbohong. Sebagai contoh, ketika si anak tidak mendapatkan hasil yang baik dalam ujiannya, lalu tanpa menghiraukannya, orang tua malah memaksakannya pada hari pertamanya masuk sekolah, terus mengomelinya setiap hari tentang pelajarannya, dan membentaknya.

Padahal, kemampuan yang dimilikinya memang terbatas, sehingga ia tetap tak akan mampu meraih nilai yang lebih baik sekalipun mengupayakannya dengan sebaik-baiknya. Disebabkan menginginkan orang tuanya bersikap baik terhadapnya, ia pun lantas berlindung di balik kebohongan. Misal, ia akan membuat alasan bahwa dalam ujian waktu itu, dirinya sedang sakit kepala. Atau, ia mengatakan bahwa gurunya tidak menyukainya sehingga memberinya nilai (ujian) yang rendah.

Bila membebani anak sesuai kemampuannya, orang tua tak akan menempatkannya dalam situasi yang mendorongnya untuk membuat-buat alasan bagi kesalahannya.

Keempat, terdapat orang tua yang menghubungkan tindakan keliru tertentu yang dilakukan anak-anaknya kepada teman-temannya di sekolah atau di tempat bermain. Bahkan mereka terkadang menyalahkan binatang atau tumbuhan untuk hal-hal semacam itu. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa seekor kucing atau tikuslah penyebabnya.

Orang tua yang bodoh tersebut menganggap bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang baik terhadap anaknya dengan tidak menghubungkannya dengan tindakan yang pada dasarnya benar-benar telah dilakukan si anak. Padahal dengan cara ini, terjadi dua hal yang sangat merugikan: pertama, mereka tengah mengajarkan si anak berbohong; dan kedua, si anak akan belajar melemparkan kesalahan tindakannya pada selainnya.

Kelima, bila suatu ketika si anak berbohong tanpa sengaja, selidikilah penyebabnya dan carilah cara pengobatannya. Namun, penyelidikan ini seyogianya dilakukan dengan cara halus agar anak-anak tidak merasa bahwa dirinya sedang diselidiki. (*Tokoh Pendidikan Islam)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA